Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Islam Damai di Akar Rumput

Jauh dari ingar-bingar, para ustad dan ustazah kampung tidak hanya mengajarkan agama, tapi juga menyediakan solusi atas masalah sehari-hari. Mereka mempraktikkan teologi pembebasan.

25 Juli 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Islam Damai di Akar Rumput

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AGAMA semestinya memang membebaskan manusia.

Nun di Meunasah Mancang, sebuah desa di Aceh Barat, sepuluh tahun lalu, Umi Hanisah diusir penduduk setempat dari pesantren yang dia bangun sendiri. Dia dinista karena menampung seorang bocah perempuan yang tengah hamil. Padahal Hanisah hanya ingin melindungi anak yang menjadi korban pemerkosaan ayahnya itu. Terdesak warga, ulama perempuan itu terpaksa mengungsi ke desa sebelah bersama 35 santrinya. Di sana, sang ustazah membangun lagi pesantrennya, di sebuah bangunan berdinding kayu beratap rumbia yang dipinjamkan bekas muridnya.

Persekusi semacam itu tak menggoyahkan Hanisah. Pelecehan, perisakan, sampai pengusiran sudah diakrabinya sejak awal menjadi pedakwah. Hanisah salah satu perempuan Aceh pertama yang mendirikan dan memimpin pesantren. Di tempat barunya, ia tetap menyediakan tempat berlindung bagi penyintas kekerasan, terutama perempuan dan anak korban pemerkosaan—sesuatu yang kala itu bahkan belum dilakukan pemerintah daerah di sana.

Hal serupa dilakukan Irwan Masduqi di Yogyakarta. Tak hanya kepada santrinya di Pesantren Assalafiyah Mlangi, Sleman, Irwan pun mengajarkan toleransi kepada warga kampung di sekitar pesantren. Metodenya dalam menyampaikan pesan-pesan kerukunan dalam perbedaan pernah dicemooh hingga pesantrennya nyaris dibakar. Tapi itu tak membuat Irwan surut. Kini pesantrennya malah kerap menjadi tempat berdialog antar-agama.

Jauh dari ingar-bingar, sosok seperti Hanisah dan Irwan Masduqi bisa ditemukan di banyak pelosok negeri ini. Mereka perlu diberi panggung dan diulas agar kita semua bisa belajar. Di Purworejo, Jawa Tengah, misalnya, ada Ratna Ulfatul Fuadiyah. Selain berdakwah, ia membantu jemaah pengajiannya di Desa Borokulon bebas dari jeratan rentenir. Caranya sederhana: Ratna menginisiasi program simpan-pinjam bergulir yang bersumber dari infak.

Pada orang-orang seperti merekalah kita seyogianya becermin. Para dai kampung ini tidak hanya menyampaikan agama, tapi juga bertindak nyata membantu masyarakat. Agama disiarkan sebagai sarana untuk mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik, bukan untuk memecah belah atau menyulut pertikaian.

Ikhtiar menjadikan agama sebagai pendorong perubahan tentu bukan hal baru. Semasa hidupnya, Abdurrahman Wahid, tokoh Nahdlatul Ulama yang kemudian menjadi presiden, kerap memperkenalkan konsep teologi pembebasan dalam Islam di Indonesia, sesuatu yang dia serap dari gagasan yang dipraktikkan sejumlah pastor Katolik di Amerika Latin. Gus Dur meyakini Islam membawa nilai-nilai kesetaraan, keadilan, toleransi, dan musyawarah. Hanya jika nilai-nilai itu diwujudkan sepenuhnya, barulah Islam bisa menjadi pembebas dan pembawa kemajuan untuk seluruh alam.

Sayangnya, kesadaran semacam itu belum dimiliki semua pedakwah. Banyak ustad dan ustazah di negeri ini masih mengajarkan Islam secara normatif, bahkan dengan menyalahkan keyakinan dan agama lain. Alih-alih membuat umat cerdas, mereka justru menjadi pemecah belah. Umat yang termakan dakwah radikal semacam ini cenderung menjadi intoleran, rasis, dan rawan melakukan tindak kekerasan.

Ke depan, para ustad kampung seperti Hanisah, Irwan, dan Ratna harus naik kelas dan menjangkau komunitas yang lebih luas. Mereka mesti piawai berdakwah di arena digital, terutama melalui media sosial. Di era Internet seperti sekarang, keterampilan semacam itu sungguh berguna. Pada 2017, sebuah riset Wahid Foundation menemukan sebagian besar kaum muda lebih suka belajar agama dari media sosial, bukan dengan mendengarkan ceramah para kiai berilmu jembar.

Selain memperbaiki kemasan, metode, dan bahasa yang digunakan, ustad zaman sekarang perlu mengkaji terus berbagai substansi gagasan Islam sebagai rahmat bagi semesta alam. Kajian mengenai fikih yang berpihak pada kemanusiaan, misalnya, perlu terus digelorakan. Pergulatan intelektual tentang Islam harus dibuka dan disebarluaskan agar pemahaman umat tidak didominasi paham yang jumud dan ketinggalan zaman.

Upaya itu penting karena selama ini ruang-ruang publik kita cenderung memberikan tempat kepada agama yang dikemas secara komersial. Substansi teologis dan tafsir para ustad yang diberi panggung di media massa, misalnya, tak pernah benar-benar diperiksa secara saksama. Kondisi ini rawan dimanfaatkan kelompok yang ingin menyebarkan gagasan kekerasan atas nama agama. Karena itu, para kiai moderat tak boleh lagi hanya berdakwah di komunitasnya sendiri.

Para pedakwah kampung yang diangkat sebagai laporan utama pekan ini pantas menjadi teladan dalam membangun masyarakat yang toleran. Dengan dakwah yang mengakar dan tawaran solusi nyata, pelan tapi pasti, mereka mengubah Indonesia menjadi lebih baik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus