MUSIM proyeksi sudah tiba. Rabu pekan lalu dua seminar diselenggarakan dengan topik "Prospek Ekonomi 1992" yang, tanpa diatur, sama-sama didomiasi oleh nada pesimistis. Berbagai kata dipakai untuk memesankan bahwa 1992 bagi ekonomi Indonesia akan menjadi tahun gawat dengan alasan yang berlainan. Ada yang mengantisipasi kegawatan tersebut sebagai kelanjutan gelombang turun-naik kegiatan ekonomi yang sedang menurun dan, katanya, akan mencapai titik terbawah tahun depan. Belum lagi kemarau panjang yang mengancam panen raya 1992 dan membuat PLN seolah kehabisan akal. Yang lain mengkhawatirkan bahwa praktek seperti yang sudah menimpa cengkeh akan merajalela. Jika ini benar, yang akan terjadi bukan hanya perburukan yang tercermin dalam angka-angka. Kredibilitas kebijakan akan terkikis dan putar balik akan melanda ekonomi. Yang lain lagi menunjuk uang ketat dengan bunga ultratinggi sebagai biang keladi. Dalam versi ini, sekarang pun sudah banyak perusahaan megap-megap yang sedang menumpuk kerugian dan tak sanggup lagi membayar pokok atau bahkan bunga utang dan akan memuncak dalam 1992. Apa yang dilakukan bank-bank yang sudah ditawan nasabahnya? Plafondering, roll-over, evergreening atau apa pun istilah bagi tindakan penyembunyian kredit macet dari mata Bank Indonesia dan pihak lain yang berkepentingan. Menyusul Konsensus Hilton, diam-diam "gencatan kredit" menghinggapi bank-bank. Yang satu berbuat begitu demi persyaratan kecukupan modal (CAR), yang lain karena takut bahwa perusahaan yang berani mengambil kredit berbunga yang dekat ke 30% pastilah penipu. Daripada menurunkan spread (bunga kredit dikurangi bunga deposito) atau terjun ke bisnis yang sangat riskan, lebih baik ongkang-ongkang menikmati bunga SBI. Kini, di samping komodo, dinausur kota pun banyak di Indonesia. Celakanya, demikian pendapat lain, pemerintah tidak tahu apa yang hendak dia perbuat. Jika pun ada yang tahu, toh tidak konsisten. Akan separah itukah "tahun Pemilu kelima Orde Baru"? Koor pesimistis di atas masih dapat merujuk pada penurunan indeks saham sebagai tanda buruk. Ia tidak boleh diremehkan. Tetapi tanda-tanda juga ada bahwa 1992 tidak perlu menjadi tahun gawat bagi ekonomi Indonesia. Pertama, dalam tahun-tahun terakhir Indonesia mencatat kenaikan investasi yang sangat kuat. Tahun 1991 ini pun, impor mesin, bahan semi-terolah, dan bahan mentah masih melonjak. Setidak-tidaknya, dalam kuartal pertama tahun ini, produksi bahan-bahan bangunan masih naik. Biarpun banyak keluhan tentang infrastruktur, terutama listrik, persetujuan penanaman modal 1991 masih tetap besar dalam hal PMDN dan sangat besar dalam hal PMA. Dengan kata lain, tahun 1992 akan mewarisi kenaikan kapasitas atau potensi pertumbuhan yang besar. Uang ketat memang akan tetap menjadi ciri pokok kebijakan makro sepanjang 1992, demi stabilitas moneter dan pengendalian defisit transaksi berjalan. Tetapi itu tidak harus berarti tetap seketat seperti dalam enam bulan pertama purna-Gebrakan Dua. Ruang penurunan bunga SBI dan SBPU masih ada, walaupun tidak besar. Dengan bunga SBI dan deposito sekarang, bunga kredit masih bisa diturunkan, apalagi kalau bunga deposito juga diturunkan. Yang jadi masalah di sini adalah ketakutan berlebihan dari tiap-tiap bank tentang eksodus deposito jika penurunan bunga terjadi tidak serentak. Tetapi bagi bank secara keseluruhan, perubahan ini adalah keperluan. Ekspor total selama enam bulan pertama 1991 masih naik 26% dibanding periode sama dalam 1991, terdiri dari kenaikan ekspor migas 30% dan kenaikan ekspor nonmigas 24%. Tetapi impor naik lebih cepat lagi, yaitu 43% dalam masa yang sama. Kenaikan 94% dicatat dalam kelompok bahan bakar, 63% dalam mesin-mesin, 38% dalam bahan semi-terolah, dan 27% dalam bahan mentah. Surplus perdagangan yang mengecil ini, dan defisit jasa yang membesar, akan bermuara pada defisit transaksi berjalan yang jauh lebih besar dibanding 1990. Bersama cicilan utang luar negeri itu, berarti kebutuhan pendanaan sekitar US$ 10 milyar, yang tampaknya masih akan dapat ditutup dengan pinjaman pemerintah, investasi asing langsung, dan impor modal lain. Untuk 1992 kenaikan ekspor dapat diharapkan lebih cepat daripada kenaikan impor karena uang ketat dan penjatahan kredit luar negeri, lebih-lebih kalau depresiasi rupiah tidak tertinggal dari selisih inflasi dengan luar negeri. Antisipasi kebangkrutan besar-besaran dalam 1992 karena bunga tinggi selama 1991 kiranya juga berlebihan. Kebanyakan perusahaan di Indonesia sudah berdiri sebelum 1989 dalam arti mungkin sudah melewati payback period. Dalam banyak hal, kredit investasi sudah lunas atau tinggal sedikit. Jalur pengaruh bunga tinggi bagi mereka ini adalah kredit modal kerja. Pada ekstrem lain, ada perusahaan yang baru mulai atau tidak dapat berproduksi karena tidak ada listrik. Kelompok inilah yang akan paling dipukul oleh bunga tinggi. Tentu saja di antara dua ekstrem ini ada kelompok lain. Semakin lama mereka sudah beroperasi, semakin kurang peka terhadap bunga tinggi. Lingkungan global tampaknya akan membaik dibanding 1991. Suasana permusuhan yang semakin hilang akan dapat membebaskan sumber-sumber dari "meriam" untuk dipakai dalam peningkatan "mentega", terutama di AS. Perundingan perdagangan multilateral akan menempati urutan yang lebih tinggi dalam politik luar negeri, begitu juga program-program ekonomi lain. Tahun 1992 yang diproyeksi ekonom-ekonom IMF, misalnya, akan lebih baik dari 1991. Pertumbuhan AS dan Jepang dan negara industri sebagai kelompok akan membaik. Impor mereka akan naik lebih cepat. Harga minyak akan menguat sedikit, begitu juga harga bahan mentah non-minyak. "Perebutan" dalam pasar modal dunia akan menyeru. Kalau lingkungan kebijakan dalam negeri dipelihara dalam arti tidak ada kejutan-kejutan negatif seperti monopoli baru, tahun 1992 tidak perlu menjadi tahun gawat. Sebaliknya, berbagai perkiraan kuantitatif masih mufakat dalam satu hal, yaitu bahwa tingkat pertumbuhan ekonomi 1992 akan masih di atas 5% (sudah dipotong inflasi). Per kepala, itu berarti kenaikan sekitar 3%. Dalam konteks yang berlaku, ini adalah pertumbuhan yang baik, walaupun banyak persoalan lain di luar keseimbangan makro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini