Muslimah Indonesia tak lagi repot dengan jilbab dalam arti kerudung. Kini mereka mulai mencari jilbab untuk seluruh tubuh, yang estetis. Diskusi busana muslimah pekan lalu. "HAI, anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan." Pakaian yang menutupi aurat kini tak lagi menjadi masalah. Muslimin dan muslimah sudah memahaminya dengan baik. Namun, bagaimana pakaian yang indah dan menutupi aurat, syahdan para keturunan Hawa mencoba menemukannya sesuai dengan selera. Maka, di Hotel Borobudur, Selasa pekan lalu, sebuah peragaan busana plus diskusi soal pakaian muslimah diadakan. Ini merupakan satu mata rantai acara Festival Masjid Istiqlal. Ada sekelompok wanita muda mengenakan kulot panjang berwarna terang, dikombinasi dengan blus lengan panjang dan kerudung bunga-bunga. Kelompok lainnya memakai celana panjang dikombinasi dengan baju kurung dan kerudung. Ada seorang wanita memakai jubah berwarna gelap, kerudung hitamnya menjuntai hingga sebatas pinggang. Hanya matanya yang terlihat di balik cadar hitam yang menutupi wajahnya. Itulah model-model pakaian muslimah yang diperagakan. Lalu, lihat para pembicara dalam diskusi ini. Ida Royani, penyanyi yang kini lebih tekun merancang busana muslimah, berbaju panjang hingga sebatas lutut, celana gombrang, plus kerudung hitam. Farida Ubaya Achmadi dan Fadhila Bebasari, dua pembicara yang lain, berkerudung dan berbaju panjang berwarna cerah. Neno Warisman, penyanyi dan pemain film TV yang dalam acara ini bertindak sebagai moderator, tampil dengan kulot panjang dan kerudung hitam yang dilapisi kain tipis sebagai pemanis. Maka, jadi jelas, diskusi dan peragaan busana muslimah kali ini tak hanya membicarakan sebatas jilbab, yang biasanya diartikan sebagai kerudung yang menutupi kepala, termasuk kedua telinga dan rambut kepala, tetapi jilbab dalam pengertian busana yang menutupi seluruh tubuh, kecuali wajah dan telapak tangan. Lalu, Farida Ubaya Achmadi, ustazah dari Jakarta Selatan, menambahkan detailnya. Jilbab, kata dia, memiliki delapan syarat, antara lain, pakaian yang meliputi seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan, tidak menyerupai pakaian laki-laki, bukan dimaksudkan sebagai perhiasan, longgar, bentuknya tidak sama dengan busana wanita-wanita kafir. Namun, kata ustazah itu, dengan delapan syarat tak lalu berarti jilbab harus diterjemahkan dalam bentuk baju kurung warna gelap lengkap dengan kerudung dan cadarnya. Itu juga bukan berarti melarang wanita Islam berhias. "Model pakaian bebas. Perempuan juga boleh berhias, asal sesuai dengan tata cara Islam agar tidak mengundang fitnah," katanya pula. Begitu pula pendapat Fadhila Bebasari. Mengingat saat ini pakaian bukan sekadar penutup tubuh, alumnus ITB ini tidak mengharamkan desain pakaian Barat asal sesuai dengan aturanaturan Islam. Ia bahkan menganjurkan para perancang busana muslimah menggarap model pakaian sedemikian rupa sehingga tetap memenuhi persyaratan busana muslimah sekaligus memungkinkan si pemakai bebas melakukan berbagai kegiatan. Misalnya, pakaian olahraga atau pakaian kerja yang Islami. "Jangan sampai para muslimah terpaksa tak bisa bekerja karena memilih memakai baju kurung yang konvensional itu," katanya. Satu-satunya pembicara pria, Ahmad Mansur Suryanegara, dosen Universitas Padjadjaran, pun punya pendapat tak jauh berbeda. "Kita tidak perlu berprasangka bahwa busana dari luar tidak ada yang berformat busana muslimah. Ia menunjuk contoh baju Oshin, tokoh wanita dalam sebuah film seri Jepang yang pernah diputar di TVRI. Menurut Ahmad, baju Oshin, yang disebut kimono itu, dalam banyak hal memenuhi persyaratan busana muslimah. "Yang penting harus libasut taqwa. Baik, indah, dan menutupi aurat," tambahnya. Tampaknya, pendapat seperti yang terlontar dalam diskusi juga sudah menjadi pendapat kalangan muslimah umumnya. Ustazah kondang dan pemimpin Pondok Pesantren Assyafiiyah Jatiwaringin, Jakarta, Hajah Tutty Alawiyah, malah punya rumus tambahan. Yang penting busana muslimah harus mengikuti norma Islam dan etika umum, tanpa mengesampingkan segi estetikanya. Etika umum, ini tambahan rumusannya. Adapun maksudnya, dalam mengenakan jenis pakaian tertentu harus disesuaikan dengan waktu dan kebiasaan setempat. "Misalnya begini. Waktu berziarah kita terbiasa mengenakan pakaian hitam. Jangan berziarah dengan pakaian senam meskipun warnanya juga hitam," kata Tutty. Dalam suasana sehari-hari, Tutty tak memasalahkan apakah warna busana muslimah itu gelap, terang, atau setengah terang, polos, atau berkembang-kembang. "Modelnya juga terserah. Pakai celana panjang juga boleh, asal tidak ketat seperti laki-laki." Minat berbusana muslimah belakangan ini memang terkesan semakin meluas. Ini berarti lahan baru bagi para perancang busana seperti Ida Royani. "Tantangan bagi saya untuk merancang busana sesuai dengan norma Islam tetapi tidak ketinggalan zaman," kata Ida. Namun, kata seorang muslimah yang tak hadir dalam diskusi, janganlah lalu mereka yang mengenakan busana muslim lalu merasa paling saleh. Ia kemudian melanjutkan sepotong ayat Alquran yang belum selesai dikutip pada awal tulisan ini: "Dan pakaian taqwa itulah sebaik-baiknya pakaian. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, semoga mereka selalu ingat." Priyono B. Sumbogo & Siti Nurbaiti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini