Mestinya keempat mahasiswa Medan ini sudah bebas. Karena tetap ditahan, mereka pun mogok makan. MOGOK makan sebenarnya tak dikenal sebagai upaya hukum. Namun, tindakan berpantang makan dan minum itu dilakukan empat terdakwa di Rumah Tahanan (Rutan) Sukamulia, Medan, Minggu pagi pekan lalu. Maka, mereka memilih tidur-tiduran saja di dalam tahanan dan tak mau berbicara dengan siapa pun. Upaya unik itu didemonstrasikan Edward Sihombing, Manatap Sianipar, Oktamena Siahaan, dan Guntur Panjaitan -keempat terdakwa mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Nommensen Medan -sebagai protes atas penahanan mereka yang sewenang-wenang. Mereka mestinya harus bebas pada 22 Oktober lalu setelah berakhirnya masa penahanan sehari sebelumnya. Keempat mahasiswa itu pada 24 Juli lalu divonis hukuman masingmasing 1 tahun 2 bulan penjara di Pengadilan Negeri Medan. Majelis hakim yang diketuai Rustam Effendi menganggap mereka terbukti membakar laboratorium Universitas Nommensen pada 30 Juni tahun lalu. Sebagai akibatnya, perguruan tinggi milik HKBP (Huria Kristen Batak Protestan) itu menderita kerugian Rp 500 juta. Kebakaran laboratorium terjadi setelah aksi protes mahasiswa di kampus Universitas Nommensen selama sepekan. Para mahasiswa memprotes ditunjuknya Prof. Dr. D.P. Tampubolon sebagai rektor, menggantikan Prof. Dr. Amudi Pasaribu. Mereka menolak Tampubolon karena guru besar IKIP Negeri Medan itu mereka anggap "orang luar" Nommensen. Dalam aksi itu mahasiswa menampilkan poster-poster bertuliskan: "Kami Minta Rektor Definitif dari Dalam Kampus, Jangan Diimpor". Buntut "keramaian" itu bermuara ke pengadilan. Keempat mahasiswa itu dianggap bertanggung jawab atas terbakarnya laboratorium, tapi mereka menyatakan naik banding atas vonis hakim. Di sini timbul masalah karena vonis peradilan banding tak kunjung turun, sedangkan masa penahanan mereka telah habis. Majelis Pengadilan Tinggi Sumatera Utara -diketuai H. Kusairi -yang memeriksa perkara tersebut, mengakui bahwa batas masa penahanan mahasiswa itu sudah berakhir. Keempat terdakwa itu, katanya, semula ditahan sejak 24 Juli hingga 22 Agustus lalu. Masa penahanan itu kemudian diperpanjang Ketua Pengadilan Tinggi sejak 23 Agustus hingga 21 Oktober. Toh pemeriksaan berkas banding setebal seribu halaman itu belum juga selesai. "Kami kan harus membacanya dengan saksama," kata Kusairi. Maka, sebelum masa perpanjangan penahanan itu berakhir, majelis memohon perpanjangannya ke Mahkamah Agung. Celakanya, sebelum jawaban Mahkamah Agung turun, masa penahanan sudah berakhir. Kendati hukum acara (KUHAP) dalam keadaan demikian mewajibkan si tahanan lepas demi hukum, aparat hukum di sana tak hendak mematuhinya karena, seperti kata Kusairi, kejahatan yang dilakukan keempat mahasiswa itu bisa diancam dengan hukuman maksimal 12 tahun. Untuk kejahatan yang diancam dengan hukuman 9 tahun ke atas, menurut Kusairi, majelis peradilan banding bisa mengajukan perpanjangan penahanan ke Mahkamah Agung. "Hanya, untuk yang diancam di bawah hukuman 9 tahun, yang bersangkutan harus dikeluarkan dari tahanan demi hukum," katanya. Sikap hakim itu yang dijawab para mahasiswa tadi dengan mogok makan. Pengacara mereka, advokat beken Syarief Siregar, Rabu pekan lalu menyusul, melayangkan protes. "Masa, hanya karena kesalahan administrasi peradilan, klien saya jadi korban," katanya. Semua protes itu tak banyak artinya. Kakanwil Departemen Kehakiman Sumatera Utara, Umar Bangun, sejak Kamis pekan lalu malah memindahkan Guntur dan Oktamena ke LP Tanjunggusta, Medan. Dua terdakwa lainnya dikirim pejabat itu ke LP Bandar Senembah, Binjai, 25 kilometer dari Medan. Dengan cara itu, protes mereka mungkin bisa dibungkam. Tapi, bagaimana dengan perampasan kemerdekaan para terdakwa tersebut? Bersihar Lubis dan Affan Bey Hutasuhut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini