Pengadilan Ambon meralat sita eksekusinya. Mengapa hanya hotel milik pemda yang "diselamatkan"? PENETAPAN pengadilan ternyata bisa diubah-ubah. Pengadilan Negeri Ambon, misalnya, belum lama ini "meralat" penetapan sita eksekusi yang dikeluarkannya tiga bulan lalu atas tanah seluas 40 ha di Jalan Ahmad Yani, Ambon. Berkat ralat itu, kini Hotel Anggrek, milik Pemda Maluku, tak lagi termasuk dalam obyek sitaan. Ralat yang "tiba-tiba" dan hanya menyangkut Hotel Anggrek itu keruan saja melahirkan suara-suara sumbang dari masyarakat. Reaksi lebih keras datang dari beberapa instansi pemerintah yang tanah dan bangunannya masih tetap tercantum dalam sita eksekusi tadi. Instansi itu antara lain Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan, Stasiun RRI, serta Korem 174 Pattimura. Semula, tanah sengketa tersebut milik Petrus Latumalea. Setelah Petrus meninggal, pada 1926, istri Petrus, Metjie Gasparez, menjual tanaman di tanah itu kepada Junus Soplanit. Belakangan, pada 1949 ahli waris Junus Soplanit, Ferdinand dan Ezert Soplanit menguasai tanah itu secara tidak sah. Itulah yang membuat Simon, ahli waris Metjie, menggugat kedua Soplanit itu. Pada 21 Maret 1950, dalam keputusan berbahasa Belanda dan Indonesia, pengadilan memenangkan Simon. Herannya, baru pada awal 1991, dimintakan sita eksekusi terhadap obyek perkara itu. Permohonan itu diajukan John Tamtalahitu, yang mengaku menerima hibah atas tanah tersebut dari Simon -meninggal pada 1970-an. Rupanya, sewaktu beperkara dulu, orangtua Johnlah yang membiayai Simon. Berdasarkan permohonan John itulah, pada 25 Mei 1991 Pengadilan Negeri Ambon menetapkan sita eksekusi. Persoalan pun muncul karena di atas tanah itu telanjur berdiri beberapa bangunan pemerintah, antara lain Hotel Anggrek milik pemda setempat. Di lokasi itu juga berdiri banyak rumah penduduk, sekitar 500 keluarga. Maka, Pemda Maluku mengajukan perlawanan dan mempertanyakan soal sita eksekusi tersebut ke Mahkamah Agung (MA). Pemda sendiri, pada Februari lalu, sudah meratakan hotel yang dibangun pada 1946 itu. Pemda ingin membangun hotel berbintang empat di atas tanah itu. Belakangan, MA menyatakan bahwa Hotel Anggrek tidak termasuk obyek perkara yang dikenai sita eksekusi. Berdasarkan itu, pada 23 Agustus 1991, Pengadilan Negeri Ambon membuat penetapan sita eksekusi lagi. Isinya, mencabut Hotel Anggrek dari sita eksekusi sebelumnya. Sementara itu, pada 7 Oktober 1991, pengadilan juga mengabulkan perlawanan yang diajukan pemda. Tentu saja kemenangan mulus Pemda yang terhitung cepat itu diwarnai tanda tanya. Beberapa instansi pemerintah yang tanah bangunannya terkena sita eksekusi menganggap bahwa penetapan terbaru tadi tidak adil. Menurut pihak RRI, Stasiun RRI -dibangun pada 1980 -sebenarnya juga tak termasuk dalam obyek sengketa. Toh Ketua Pengadilan Negeri Ambon I.K.S. Arnaya, menandaskan bahwa penetapan sita eksekusi terbaru tadi sudah berdasarkan hukum. "Tak ada permainan di balik sita eksekusi itu," ujar Arnaya. Namun, John Tamtalahitu, 55 tahun, yang mengaku bahwa dua bulan setelah penetapan sita eksekusi pertama keluar, dijemput tiga orang militer dan seorang pengacara. Di Hotel Manise dan Rumah Makan Roda Baru, tuturnya, ia dipaksa menandatangani surat pernyataan yang isinya menerangkan bahwa surat hibah dari Simon itu palsu. Karena John tak memenuhi permintaan mereka, akhirnya ayah lima anak itu disekap di sel Polres Ambon. Bahkan sempat digebuki. Wakapolres Ambon, Mayor Polisi Ferrial Manaf, menyatakan bahwa ia sama sekali tak tahu-menahu soal penganiayaan terhadap John. Namun, "Saya akan mengecek masalah ini," kata Ferrial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini