BETAPA pesatnya sektor manufaktur di Indonesia tumbuh. Pada 1987, sektor ini tumbuh dengan 13,5%, padahal setahun sebelumnya hanya 5%. Karena permintaan dalam negeri masih lemah, pertumbuhan ini tentunya berasal dari meningkatnya ekspor nonmigas akhir-akhir ini. Jumlah kumulatif sektor hasil manufaktur selama 4 bulan pertama tahun ini 66% lebih tinggi dari 4 bulan pertama tahun lalu. Pada Juni kemarin, ekspor nonmigas untuk pertama kalinya melewati angka 1 milyar dolar, angka bulanan yang tertinggi yang pernah dicapai, setelah selama ini berkisar rata-rata 850 juta dolar tiap bulan. Ekspor hasil industri, yang pada 1987 baru merupakan 21% dari seluruh ekspor, selama 4 bulan tahun ini sudah merupakan 44% dari keseluruhan ekspor. Pemerintah bisa mengatakan bahwa berhasilnya ekspor nonmigas akhir-akhir ini adalah karena devaluasi September 1986 dan adanya serangkaian paket deregulasi. Tapi harus diingat, meningkatnya permintaan dunia terhadap ekspor Indonesia juga berasal dari pertumbuhan ekonomi di negara industri yang makin cepat, terutama Amerika dan Jepang. Di samping itu, dihapuskannya fasilitas GSP (Generalized Systems of Preferences) oleh Amerika terhadap beberapa negara serta dilakukannya revaluasi mata uang beberapa negara yang menjadi saingan Indonesia, seperti Taiwan dan Korea Selatan, telah memperbesar peluang Indonesia untuk meningkatkan ekspor manufakturnya. Dan peluang ini rupanya mendapat respons yang positif dari kalangan bisnis. Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya permohonan investasi yang diterima BKPM. Jumlah PMDN untuk sektor manufaktur yang disetujui BKPM selama 1987 mencapai Rp 4,9 trilyun, padahal setahun sebelumnya jumlah persetujuan baru Rp 1,8 trilyun. Untuk sektor pertanian (termasuk perikanan dan peternakan), dalam waktu yang sama jumlah persetujuan meningkat dari Rp 1,9 trilyun menjadi Rp 2,6 trilyun. Permintaan dari luar negeri untuk beberapa jenis industri ternyata masih terus mengalir, sehingga beberapa industri di sini sudah mulai mengalami kekurangan kapasitas. Bahkan beberapa industri mulai susah mencari bahan baku. Menurut perhitungan Bank Dunia, bila tingkat pertumbuhan ekspor nonmigas akan dipertahankan pada tingkat sekarang ini, industri manufaktur di sini harus meningkatkan kapasitasnya dua kali lipat dalam 5 tahun mendatang. Perluasan kapasitas sebesar ini menurut Bank Dunia, memerlukan modal 4 milyar dolar atau Rp 6,8 trilyun, atas dasar kurs dolar -- rupiah sekarang. Dari mana jumlah modal sebesar ini akan diperoleh? Karena modal tersebut adalah untuk investasi, dan sebab itu harus merupakan modal jangka panjang, sanggupkah bank-bank dan lembaga keuangan lainnya di sini menyediakan dana jangka panjang sebesar itu, dengan suku bunga yang tentunya memadai? Inilah kendala pertama yang akan dihadapi dalam mempertahankan momentum pertumbuhan ekspor nonmigas kita. Tetapi terlepas dari itu, kegiatan penanaman modal selama ini ternyata sangat responsif terhadap perubahan yang terjadi pada prosedur perizinan dan rangsangan yang diberikan. Tampaknya, kegairahan investasi masih bisa berlangsung dengan toleransi terhadap ketidaknormalan yang masih terjadi pada pasar uang di sini. Apabila sinyalemen ini bisa dikonsepkan (tanpa mempersoalkan kuantitasnya), agaknya incentive elasticity of investment di sini masih lebih besar dari interest elasticity of investment. Oleh karena normalisasi pasar uang dan modal di sini akan merupakan usaha jangka menengah atau jangka panjang, bila kita tahu bahwa incentive elasticity of investment di sini cukup tinggi, maka usaha penerusan deregulasi seharusnya merupakan tindakan jangka pendek yang layak. Penyederhanaan dalam bidang perizinan mungkin masih bisa diperluas, begitu pula Daftar Skala Prioritas (DSP) masih bisa ditinjau lagi. Yang harus diingat adalah bahwa peranan BKPM nantinya tidak lagi sebagai sekadar badan pengatur investasi (investment regulation agency) tapi harus berubah menjadi badan promotor investasi (investment promotion agency). Tanpa mengecilkan arti usaha peningkatan ekspor nonmigas, dalam jangka panjang kita harus memikirkan biaya dan kelemahan strategi export led growth ini. Kelemahan pokok strategi ini adalah masih adanya ketergantungan yang besar terhadap ekonomi dunia, hingga keberhasilannya sangat peka terhadap adanya resesi ekonomi dunia. Harus diingat, jenis hasil industri yang diekspor meliputi 21 buah produk. Tapi 70% devisa yang berasal dari ekspor industri manufaktur cuma berasal dari 4 komoditi saja, yaitu kayu, tekstil, karet olahan, dan minyak nabati. Bagaimanapun juga, ekspor manufaktur kita belum broad based. Dan jelas ketergantungan terhadap 4 komoditi ini akan berlangsung cukup lama, karena tak mudah membuat ke-21 jenis industri itu mempunyai sumbangan yang sama pada ekspor dalam waktu dekat. Harus diakui bahwa peningkatan ekspor yang terjadi selama ini sebagian besar berasal dan meningkatnya permintaan luar negeri (demand induced exports), dan baru sebagian kecil yang berasal dari usaha promosi yang secara sengaja dilakukan oleh pengusaha sendiri untuk merebut pasar di luar negeri (promotion induced exports). Kegiatan ekspor akan lebih langgeng bila pertumbuhannya merupakan hasil dari promotion induced exports. Usaha yang terlalu bersemangat untuk menggalakkan ekspor nonmigas mengandung risiko diabaikannya pertimbangan-pertimbangan sosial ekonomis yang terjadi akibat adanya pergeseran sumber-sumber dari sektor nonekspor ke sektor ekspor. Pelarangan ekspor beberapa bahan mentah, penghentian pemberian izin baru untuk suatu industri ekspor, bahkan pemberian suku bunga khusus untuk sebuah komoditi ekspor tertentu, akan merupakan hal yang terus menggoda para perumus kebijaksanaan. Ini bisa mendorong kebijaksanaan yang lebih intervensionistis, yang sebenarnya tidak sesuai dengan semangat deregulasi. Bergesernya alokasi sumber-sumber dari sektor nonekspor ke sektor ekspor bisa juga memberi implikasi pemberian subsidi dan bahkan proteksi. Sektor-sektor di luar ekspor dipaksa berkorban demi peningkatan ekspor nonmigas. Padahal, semua tahu, pemberian subsidi dan proteksi dalam jangka panjang akan merusakkan daya saing. Untuk jangka panjang, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak bisa semata-mata berdasar pada strategi export led growth, tapi landasan pertumbuhan harus diperluas dengan melibatkan strategi internal demand led growth. Kebijaksanaan ini memang memerlukan kebijaksanaan fiskal dan moneter yang agak ekspansif. Masalahnya, sekarang tak ada yang tahu kapan sebuah APBN yang longgar akan bisa dimulai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini