SEBELUM minyak dan gas bumi ditemukan, baik di tengah hutan maupun di lepas pantai, ekspor yang sangat murah dari jenis nonmigas sebenarnya sudah lama dikenal: tenaga kerja kasar. Ini dilakukan secara sukarela ataupun karena kebijaksanaan kolonial. Secara sukarela berarti tidak ada yang menyuruh-nyuruh para buruh kasar itu pindah negeri. Kemiskinan di negara asalnyalah yang membuat mereka berusaha memperoleh penghldupan yang lebih baik di negeri orang. Maka, terjadilah proses migrasi bergelombang dalam jumlah cukup besar. Orang-orang Cina bekerja sebagai buruh tambang dan perkebunan di Malaysia, atau bahkan sebagai buruh jalan kereta api di bagian barat Amerika Serikat. Orang Tamil juga bekerja di perkebunan karet dan kelapa sawit di Malaysia dan di perkebunan teh Sri Lanka. Kondisi kerja sangat buruk, banyak yang meninggal dalam tugas karena tidak ada perlindungan perburuhan. Tapi jumlahnya tambah terus. Rupanya di negeri sendiri sudah sesak benar napas mereka. Tapi, ada juga buruh-buruh kasar yang dipaksa kekuasaan kolonial untuk tukar tempat tinggal. Perkebunan di Amerika Latin dan Karibia - khususnya tebu - mengambil keuntungan dari buruh murah ini. Kebanyakan dari mereka orang Afrika, yang ditangkap di tempat aslinya dan dijual pedagang budak ke pemilik perkebunan. Mereka ini tentu tidak mau kembaii lagi ke Afrika, karena sudah mapan di tempat yang baru. Setelah dua atau tiga generasi, banyak yang berasimilasi, menjadi mulatto, latino atau mestizo dengan status sosial berbeda-beda. Di Kepulauan Karibia mereka sudah jadi penguasa di Amerika Tengah makin berbaur ke kelompok mayoritas, tapi di Brazil masih tetap di tangga sosial terbawah - kecuali, tentunya, "Pele, Pele, Pele". Sudah sejak sepuluh tahun lalu dunia ribut-ribut lagi soal buruh kasar yang sekarang dapat sebutan mentereng, "pekerja tamu", gastarbeiter. Mula-mula karena nasib orang Turki di Jerman Barat yang tanpa perlindungan sama sekali. Apalagi kalau mereka sudah jadi buruh ahli, buruh-buruh setempat menyerang mereka karena dianggap mengambil porsi mereka. Tapi kalau pekerjaan kasar sekali (pelayan restoran, pencuci mobil, jaga rnalam), buruh setempat tidak punya minat, dan dikerjakan buruh murah asing. Lebih baik kalau buruh murahan ini tamu tidak diundang, alias masuk secara gelap, atau "pendatang haram". Mereka bisa diperas habis-habisan, bekerja tanpa jam tetap, sering gaji pun ditahan supaya mereka Jangan lari. Mau melapor pada yang berwajib, sebagai migran gelap, tentu saja malah celaka. Gejala "pekerja tamu" - baik diundang maupun mengundang dirinya sendiri - bukan hanya terbatas di Jerman Barat ataupun di negara industri lainnya. Restoran-restoran New York, Houston, dan Chicago di Amerika Serikat tidak mungkin terus naik labanya tanpa bantuan buruh murahan itu. Di New York saja diperkirakan ada lebih dari satu juta migran gelap orang Chicanos, Amerika Latin berbahasa Spanyol. Kebanyakan dari Meksiko, Kuba, dan Puerto Rico, tapi juga dari negara-negara Amerika Tengah: Colombia Honduras, El Salvador. Mereka tidak mendapat perlindungan gaji minimum, tapi gaji gelap cukup tinggi untuk standar negeri sendiri. Biasanya bekerja di sektor jasa seperti juga di Jerman Barat. Dengan banyaknya wanita karier yang bekerja, dan kemakmuran golongan keras menengah atas, sekarang makin terbuka kesempatan buruh tamu jadi baby sitter atau pekerja domestik - membersihkan rumah dan semacamnya, biasanya digaji jam-jaman. Belum lagi yang bekerja di pelabuhan atau industri tekstil. Buruh murah semacam ini juga banyak di Califorma Selaan - biasanya jadi pemetik anggur. Untuk bisa menghasilkan anggur Burgundy, misalnya, mereka harus main kucing-kucingan dengan penjaga perbatasan Amerika-Meksiko. Sekarang, negara-negara nonindustri juga butuh buruh murah. Negara Timur Tengah mengekspor minyak, tapi perlu impor "nonminyak", khususnya buruh dan sektor jasa. Untuk buruh konstruksi, prospek cukup baik. Korea Selatan memagangkan buruhnya di Arab Saudi, sehingga cepat maju dan sudah bisa bikin jalan layang atau konstruksi berat. Ini sama dengan Vietnam yang sekarang mengirim buruh besar-besaran ke Jerman Timur untuk magang bidang industri mesin. Atau seperti orang-orang Meksiko yang magang dari industri Amerika di perbatasannya di Negara Bagian Texas, California, dan New Mexico. Buruh-buruh tamu ini belajar teknologi yang lebih maju, sehingga berguna buat dirinya dan negaranya setelah kontrak selesai. Tapi sektor jasa dan buruh kasar perkebunan, misalnya di Sabah, prospeknya memang kurang baik. Paling banter mienghindarkan diri dari kematian di negeri sendiri. Celakanya, bisa terjadi bedol deso atau bahkan bedol kecamatan, seperti baru-baru ini terjadi di Kalimantan Timur. Lebih celaka lagi kalau ekspor "nonmigas" ini direstui pemerintah. Sebab, kasarnya, seakan-akan pemerintah sudah lepas tangan dan tidak mampu lagi memberi makan dan kerja rakyatnya sendiri, sehingga perlu "diekspor". Padahal, yang dituju adalah meningkatkan kualitas tenaga kerja, sambil si buruh dininabobokkan oleh lagu Di Wajahmu Kulihat Dolar. Lalu, siapa yang salah? Mungkin Pemerintah juga belum tahu situasinya bakal begitu: masa bapak menjerumuskan anaknya sendiri Yang jelas, negara penerima "pekerja tamu" tidak bisa begitu saja disalahkan. Kita ingat bait lagu Minahasa yang sekarang populer: Siapa suruh datang Jakarta Sendiri suka, sendiri rasa Oh, Edo, Sayang (ada yang iseng menjawab, "Disuruh Pak Domo").
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini