HIDUP itu hanya sekali dan sifatnya hanya mampir minum." Kata-kata itu diucapkan oleh Letnan Jenderal (pur.) Ali Moertopo dalam suatu wawancara khusus TEMPO, Januari silam. "Masa hidup itu harus digunakan sebaik-baiknya, kita harus bekerja semaksimal mungkin, untuk bangsa dan negara." Ali Moertopo, tokoh yang tersohor itu, meninggal di ruang kerjanya, di Gedung Dewan Pers, Jl. Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Selasa Pahing, 15 Mei sekitar pukul 15.45 WIB. Lima belas menit sebelumnya, demikian tutur Sopini, salah seorang ajudannya, Ali Moertopo masih membaca sambil memegang pena. Tatkala Sopini kemudian kembali, ditemuinya Ali Moertopo telentang di sofa, dalam keadaan tidak sadar. Serangan Jantung, keempat sejak 1978, rupanya telah merenggut nyawanya. Toh, kemglnannya terkabul. Seperti kata Haris, 25, putra sulungnya, yang kembali dari Tokyo dua jam sebelum jenazah dikuburkan Rabu petang lalu, "Bapak pernah bilang ingin mati waktu bekerja. Sebab, itu seperti tentara mati waktu perang." Anak Pekalongan yang lahir di Blora, Jawa Tengah, 60 tahun lampau itu tak terdengar mempunyal hobi olah raga. Ia tak suka golf. Tokoh yang dikenal sebagai aktivis dan politikus ulung itu mempunyai kegemaran berceramah dan pidato. Ia orator yang pandai memukau publik, sekalipun tak sekaliber Bung Karno. Sikapnya yang tak bisa diam itu masih tecermin setelah ia tak lagi duduk dalam kabinet, dan terpilih sebagai wakil ketua Dewan Pertimbangan Agung, 1983. "DPA tidak ada gunanya kalau tidak blsa menyerap dan mengolah aspirasi rakyat secara tepat dan relevan," katanya selepas pertemuan DPA dengan Presiden. "DPA harus berfungsi dan tidak boleh hanya sebagai embel-embel saja." Merupakan tokoh yang kontroversial, Ali Moertopo - seperti ditulis dalam Apa Siapa Sejumlah Orang Indonesia, 1983-1984, yang diterbitkan majalah TEMPO - dijuluki sementara pengamat sebagai man of aaion. Itu memang dibuktikannya selama ini: Ia selalu berorientasi pada pencapaian tujuan, bisa cepat menjabarkan setiap tujuan yang dlanutnya ke dalam serangkaian tindakan. Tapi, kalau dianggap perlu, ia juga bisa mengerem diri, dan patuh pada atasan. Dalam menghadapi Pemilu 1971, misalnya, ia semula berpendirian bahwa pemilu belum saatnya dilaksanakan. Tetapi ketika Presiden Soeharto memutuskan lain, Ali tidak mutung. Ia segera bangkit membenahi Sekber Golkar. Dibentuknya Badan Pengendali Pemilu (Bapilu) Golkar. Ia merekrut tenaga baru, menerbitkan koran Siara Karya, dan mengambil berbagai tindakan lainnya. Dan ia berhasil. Kemenangan Golkar mendorongnya melangkah lebih lanjut. Beberapa kelengkapan kelembagaan Orde Baru, seperti KNPI, FBSI, dan HKTI, sedikit banyak hasil sentuhannya Tapi, Ali bukan sekadar operator yang lalu. Ia juga konseptor politik yang sarat gagasan, kendati tidak selalu komprehensif dan padu. Dalam kampanye Pemilu 1971, ia mencetuskan gagasan Akselerasi Modernisasi Pembangunan 25 Tahun, yang waktu itu sempat memikat dan diperdebatkan berbagai kalangan. Menjelang Sidang Umum MPR 1983, usulnya agar MPR memberikan gelar Bapak Pembangunan Nasional kepada Presiden Soeharto - walau semula banyak ditentang - akhirnya berhasil. Tak selesai MULO, setingkat SMP, sebelum Jepang masuk, 1941, putra ketiga di antara sembilan bersaudara, R. Kartoprawiro, seorang pedagang, pernah duduk sebentar di SMA Bagian C. Tapi kegemarannya membaca dan suka memmba pengetahuan dari orang yang ia pandang, membuat ia berani tampil dalam berbagai forum internasional. Misalnya dalam berbagai seminar yang diselenggarakan oleh CSIS - yang didirikannya, dan ia menjadi ketua kehormatan bersama Mayor Jenderal (pur.) Soedjono Humardani, kini Irjenbang, sejawatnya sejak dulu. Almarhum - yang meninggalkan seorang istri, Wastuti, dan dua putra - memulai kariernya sebagai prajurit. Tapi pada saat itu anak Pampung Krapyak Kidul, Pekalongan, itu sudah membuat ulah. Tuturnya dalam buku Apa Siapa, TEMPO: "Karena malu", setiap pulang dari markas ke rumahnya, diam-diam, pangkatnya dicopot dan diganti dengan pangkat sersan mayor "Sebab, pada masa itu, itulah pangkat yang paling hebat," ujarnya sambil tertawa. Sebagai bintara dalam laskar BIPRI Hisbullah - yang pada awal revolusi bermarkas di Jalan Dokrian (kini H.A. Salim), Pekalongan - Ali Moertopo ikut aktif menumpas aksi komunis, yang dikenal sebagai peristiwa Tiga Daerah, di antara Brebes dan Tegal. Lalu tampil sebagai komandan seksi gerilya, Komandan Kompi Batalyon 431 Banteng Raiders, kemudian Kepala Staf Resimen Tim Pertempuran II/Diponeoro. Dan pada tahun 1961, dialah yang memimpin Komando Operasi Khusus (Opsus) Irian Barat. Pada awal Orde Baru (1966), Kolonel Ali Moertopo aktif berperan dalarn upaya menyelesaikan konfrontasi dengan Malaysia, antara lain bersama Kepala Staf Kostrad Brigadir Jenderal Kemal Idris, dan Asisten I Kopur Kostrad Mayor L.B. Moerdani sebagai perwira penghubung. Semuanya di bawah Pangkostrad Mayor Jenderal Soeharto, kini presiden RI. Nama Opsus kemudian melembaga dan seakan menjadi cap dari scgala kegiatan operasi inteligen, tak saja di bidang militer, tapi juga di bidang politik dalam dan luar negeri. Nama ItU begltu disegani tapi juga dibenci, tak disenangi karena dianggap sebagai "suatu kekuatan yang ingin memaksakan kehendaknya". Itu sebabnya, sementara pihak berpendapat, keberhasilan Ali Moertopo terutama disebabkan faktor kekuasaan yang dipegangnya, dan kedudukannya sebagai pembantu utama Presiden di bidang politik, di samping sebagai perwira tinggi inteligen yang amat berpengaruh. Tapi, Ali Moertopo, yang sejak tahun 1961 mulai berperanan di dunia inteligen, menolak anggapan begitu. "Kalau saya ikut main, itu saya akui. Tapi itu dalam artian itikad baik, untuk mewujudkan sistem kehidupan politik yang mendukung stabilitas nasional," katanya kepada TEMPO. Ia juga dituding sebagai "manipulator politik", khususnya dalam mencampuri urusan PDI dan PPP. Tapi untuk itu ia punya alasan: "Orang yang rasional, mengabdi sepenuhnya kepada bangsa dan negara, harus mengerti pentingnya PPP dan PDI, selain Golkar. Bila PPP dan PDI mendapat kesulitan, seharusnya semua orang membantu," katanya. Ali Moertopo, tokoh yang dipuja tapi juga dibenci oleh lawan politiknya, betapapun, merupakan suatu bab penting dalam riwayat Orde Baru. Bekas pimpinan mahasiswa yang dulu tergabung dalam KAMI - yang kini menjadi menteri seperti Cosmas Batubara, orang partai seperti amroni, atau Nono Makarim yang kini konsultan hukum tentu masih ingat saat-saat yang tegang, bermalam di markas Kostrad di Kebon Sirih, Jakarta, bersama Ali Moertopo, sebelum 11 Maret yang melahirkan Supersemar itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini