LANGIT-langit yang rendah dengan struktur yang rnenarik mat Lantai ditutup dengan hamparan lorek berwarna-warni mencolok. Dan dinding, yang dapat dibuka, mengundang pandangan singgah pada petak dan jalur pada panel-panelnya. Dalam ruangan yang akrat ini, diperlukan upaya khusus untuk memusatkan perhatian pada kuran lebih 70 hasil kerja 19 orang perupa (senirupawan). Inilah pameran seni rupa dari staf pengajar Seni Rupa ITB, yang terselenggarakan berkat kerja sama dengan Horel Panghegar, 11-25 Mei ini. Sebuah pameran dari ITB yang sudah jauh berbeda dengan karyakarya ITB tahun 1960, yakni ketika Seni Rupa ITB boleh dikata selalu tampil dengan satu cap. Sekarang lubuk itu berisi ikan berbagai ragam. Dalam pameran ini bisa ditemukan sejumlah karya yang menggambarkan obyek seperti yang bisa dilihat dalam kenyataannya (pantal, manusia, perahu). Pada satu kelompok, bisa dilihat karya-karya alih ragam (dari kenyataan ke gambaran). Bisa merupakan gubahan dari kenyataan. Atau, merupakan karya yang menekankan penggarapan unsur-unsur rupa (bentuk, garis, bidang, volume, warna). Mungkin juga itu upaya efisiensi kerja. Dan semua itu boleh jadi memang memberikan keindahan, atau perasaan, atau suasana tertentu. Atau, timbul rasa heran karena tiba-tiba kenyataan itu disajikan hingga orang seolah memandangnya dengan "mata baru". Ini bisa dilihat pada karya-karya Srihadi, Kaboel. Priyanto. Pada kelompok lain, Anda berhadapan dengan gambaran obyek-obyek (wanita, bentuk-bentuk tumbuhan dan iramanya, atau alam). Obyek-obyek itu dibaurkan, atau dipadukan sehingga dekat dengan semacam kias atau metafora. Misalnya karyakarya G. Sidharta Soegiyo. Atau, Anda melihat kontras dan penggabungan yang "tidak alamiah". Boleh jadi karya macam ini mengganggu selama dilihat sebagai gambaran langsung obyek dalam kenyataan. Tetapi jika Anda "melompat" kepada gagasan-gagasan, gangguan itu akan terselesaikan. Contohnya adalah Lingkungan I dan Lingkungan II Setiawan Sabana. Masih ada jenis karya yang lain, yakni "pemandangan" yang sedikit sekali menyuguhkan kemiripan dengan rupa alam. Misalnya bisa dilihat pada hasil karya Jusuf Affendi dan Umi Dachlan. Alam, pada tingkat yang lebih mikro dan lebih makro dari pemandangan, tidaklah mudah dihindari oleh pelukis. Kecuali bila pelukis itu mengambil bentuk-bentuk dari dunia matematika atau dunia teknologi (tetapi bagaimana kalau dunia teknik telah menjadi "alam kedua"?). Karena itu, asosiasi kepada alam beserta perasaan yang mengiringinya, meskipun mungkin tidak amat disadari, sulit dihindarkan. Semua itu menyatu dengan cerapan fisionomi atau wanda, yaitu kualitas rasa yang tertangkap tatkala orang mencerap suatu bentuk. Bercak dan telau keemasan (emas mempunyai makna yang kaya, diberlkan oleh kebudayaan, termasuk kebudayaan kita) dapat memperkaya pencerapan kita pada lukisan-lukisan Ahmad Sadali dan A.D. Pirous . Lalu harus disebutkan di sini sekelompok karya seni rupa yang menggambarkan karya seni rupa yang lain. Yang menarik tentunya apabila terjadi pengolahan atas bahan yang diambil dari senitradisional atau seni rakyat, misalnya pada Citra Irian XVI dan XVII karya Sunaryo. Atau, merupakan pengubahan dan penggabungan, menjadi semacam expose-dan komentar tentang kebudayaan tradisional dan kebudayaan rakyat. Contoh, karya Haryadi Suadi. Ada juga karya yang tidak amat langsung mengambil ikonografi tradisional, tetapi dekat dengan angan-angan dan fantasi kerakyatan (dongeng, duma kepercayaan, misalnya). Jenis ini ada pada karya-karya T. Sutanto. Dan bagaimana Anda akan berhadapan dengan gambar (lukisan dan grafis) dengan kaligrafi di dalamnya? Ahmad Sadali dan A.D. Pirous tampaknya mencoba menyatukan unkapan rupa dan ungkapan kata mengizinkan keduanya berinteraksi dalam pencerapan total Anda. Akhirnya, terdapat karya yang menyodorkan bentuk-bentuk geometri dan warna-warna yang berteriak, kontras antara bidang datar dan ruang trimatra yang berubah arah bersama perubahan perhatian Anda. Lihat misalnya karya Mochtar Apin. Atau, tataan yang meminta kemampuan Anda untuk merasakan dinamika, keseimbangan, dan keselarasan pada karya Lengganu . Orang boleh puas dengan aneka raam modus ungkapan dan pengalaman yang ditawarkan oleh pameran ini. Mungkin dengan memuji beberapa karya yang dinilainya baik, dan mencela beberapa yang dipandangnya jelek. Tetapi terdapat kelompok penonton yang keakrabannya dengan dunia seni rupa menyebabkan mereka kecewa. Sejumlah pekerjaan dalam pameran ini pernah dipamerkan sebelumnya di tempat lain. Terdapat pekerjaan, dari satu orang, yang sangat berbeda dalam asas (Lengganu, Setiawan): untuk apa dalam pameran bersama menampilkan karya demikian? Dalam pameran karya "seniman yang sekaligus staf pengajar Jurusan Seni Rupa ITB" ini tidak tersua karya Rita Widagdo, But Muchtar, dan Angkama Setjadipradja. Lalu orang boleh menyesalkan mengapa "Pameran Seni Rupa" ini penuh dengan gambar (lukisan dan grafis). Maka, segelintir keramik dan patung kecil di situ. Perkembangan lembaga pendidikan seni rupa, selama lebih dari seperempat abad, telah berhasil memperluas pengertian seni rupa. Pameran ini mempersempitnya lagi -satu hal yang mengherankan, mengingat para pemamer adalah anggota staf akademis. Nah, kelompok penonton yang tidak puas itu akan berkata, "Pameran ini kelihatannya kurang terkonsepsi, kurang terencana, dan agaknya tidak terkoordinasi dengan baik." Sanento Yuliman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini