LEPAS isa bekas bhayangkara satu Mochamad Djarot Taftoyani, 31, diketahui masih mengaji dalam sel Denpom VII/2 Jalan Magelang, Yogyakarta. Ia tampak cukup khusyuk. Mendadak, pada sekitar pukul 21.30 Selasa 15 Mei lalu, ia ditemukan petugas jaga sudah meninggal. "Dia nekat menggantung diri mcnggunakan kain sarung yang biasa ia pakai bersembahyang," kata Danrem Pamungkas, Yogya, Kolonel Roni Sikap Sinuraya. Sarung itu, menurut sumber TEMPO, digunakan secara utuh - tidak disobek-sobek dulu atau dijadikan tali - hanya diikatkan ke terali besi setinggi dua meter. Kematian Djarot itu terjadi delapan hari setelah ia divonis 4 tahun 6 bulan oleh Mahkamah Militer Yogyakarta-Surakarta. Majelis Hakim Militer pimpinan Letnan Kolonel (L) Kaslar dalam sidang, 7 Mei lalu berkeyakinan, Djarot terbukti telah membunuh Wahyu Basuki, mahasiswa Fakultas Psikologi UGM, dengan celurit. Pembunuhan terjadi di halaman Wisma Wisata Jalan Kaliurang, Yogya, setelah ia memergoki Wahyu berada dalam kamar Indri - wanita panggilan yang dikatakan intim dengan Djarot. Kepergian Djarot yang terlalu cepat itu menimbulkan kecurigaan bagi Kapten Polisi Khusyaeri, ayah kandung korban. Setelah menyaksikan sendiri keadaan jenazah beberapa jam setelah meninggal - Khusyaeri tak yakin anaknya bunuh diri. Ia melihat pakaian yang dikenakan korban masih rapi. Tak ada air mani atau air seni keluar dan lidah pun tidak terjulur keluar seperti umumnya keadaan korban yang mati akibat gantung diri. Lebih dari itu, di dada korban terdapat tulisan dengan spidol hitam berbunyi: Bp/Ibu, jaga Imung baik-baik. Imung adalah nama panggilan Timur Anoviantari, anak kandung Djarot, hasil perkawinannya denan Titik Sudarati. Tulisan itu, menurut Khusyaeri, agak berbeda dengan tulisan Djarot. Maka, ia lalu menyerahkan beberapa contoh tulisan tangan putranya itu kepada Kapolwil Yogyakarta, Kolonel Soeharso, untuk diidentifikasikan. Khusyaeri sekaligus juga memohon agar kasus kematian itu diusut secara tuntas. Perkara Djarot cukup menarik perhatian, karena setelah ditahan selama delapan bulan ia sempat melarikan diri dari Denpom ABRI VII/2 malam hari 20 Maret lalu. Sepuluh hari kemudian ia muncul di LBH Jakarta, meminta perlindungan hukum. Ia merasa diperlakukan tidak adil selama dalam tahanan, karena - sebelum ada vonis - terhitung sejak 1 September 1983 ia sudah diluardinaskan. Padahal, pemegang Dan II karate yang mengaku pernah masuk Tim Siluman yang sangat diandalkan dalam Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) di Yogya tempo hari, tampaknya, merasa telah cukup berjasa. Yang juga membuat dia masygul, karena ayahnya dimutasikan dari kepala keamanan Hotel Ambarrukmo, Yogya, menjadi Kepala Seksi Binmas di Polwil. Ia menduga, pemutasian itu ada hubungan dengan perkaranya itu. Namun, Kolonel Soeharso membantah. Pemutasian itu, katanya, karena Khusyaeri sudah hampir pensiun. Oleh LBH, Djarot ketika itu diserahkan ke Mabes Polri yang lalu mengurus pengembaliannya ke Yogya. Tak lama kemudian, perkaranya pun disidangkan. Tapi dalam sepucuk suratnya kepada LBH Jakarta, ia sempat mengeluh karena, secara tak langsung, merasa ditekan agar mencabut kuasanya kepada LBH. "Orangtua saya sendiri yang mendapat tugas untuk melunakkan hati saya, dengan janji akan diberi piagam hasil kerja saya dengan nilai baik." Begitu antara lain bunyi suratnya tertanggal 24 April 1984, beberapa hari sebelum ia disidangkan. Dalam suratnya yang lain, kepada Nus Syahbani, Wakil Direktur LBH Jakarta, Djarot juga mengaku menyesal telah menyerahkan diri. Sebab, katanya, "Keadaan yang saya alami ternyata tidak lebih baik." Pengakuannya itu berbeda dengan yang dikemukakan Kolonel Roni. "Setelah melarikan diri, ia justru diperlakukan dengan baik. Bahkan, menurut saya, terlalu baik," kata Roni pekan lalu kepada TEMPO. Roni tetap akin bahwa Djarot bunuh diri, setelah membaca surat yang ditujukan kepada Danrem Pamungkas itu. Menurut sumber TEPO, Djarot juga menulis surat yang ditujukan kepada orangtua dan bibinya. Surat lain ditujukan kepada adiknya, yang berisi pesan agar cicilan rumah Perumnas di Minomartani, Yogya, diteruskan. Sumber itu juga menyatakan bahwa sebelum ini Djarot pernah dua kali mencoba bunuh diri. Yang pertama terjadi tak lama setelah ia ditahan dan y ang kedua beberapa hari menjelang Oditur membacakan tuntutan. Indri Arumsari, wanita yang menyebabkan Djarot membunuh Wahyu, membenarkan percobaan bunuh diri yang pertama. Ketika itu ia merasa terhina karena seorang petugas Denpom meludahi wajahnya," kata Indri, yang juga sempat ditahan di situ karena diduga terlibat pembunuhan itu. Djarot kata wanita bertubuh sintal itu, meremas gelas aluminium dan pecahannya digunakan mengerat urat nadi tangan kiri. "Djarot dibawa ke rumah sakit karena banyak darah keluar," kata Indri pekan lalu kepada TEMPO. Hanya, Indri tak percaya bahwa kini Djarot bisa nekat bunuh diri, karena ia sudah semakin dekat kepada Tuhan. Menurut sumber di Denpom, Djarot memang rajin sekali bersembahyang malam dan tak hentinya mengaji. Kolonel Roni merasa tak keberatan bila ada yang berpendapat lain tentang kematian bekas anggota reserse itu. "Kami tak akan menghalangi bila ada sementara pihak yang meminta visum ulang. Silakan," katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini