PERKARA kematian Sofyan Effendi, 19 kini mulai disidangkan Mahkamah Militer Jakarta Banten, di Jakarta. Oditur Letnan Kolonel Yudha Langkat mengajukan empat anggota Brimob ke hadapan Mahkamah dengan dakwaan telah menganiaya pelajar SMEA Negeri 22 itu sampai mati. Sidang ini sekaligus menghilangkan anggapan seolah perkara yang pada 1982 cukup menghebohkan itu akan dipetieskan. Dan ternyata pula, meski keempat terdakwa sempat naik pangkat satu tingkat, dari bhayangkara satu menjadi kopral dua, selama ini mereka tetap berada dalam tahanan. Tapi, memang, penyidangan perkara ini agak terlambat. Sihar, Dedi, Wiji, dan Bachrol - semuanya berpangkat kopral dua - baru diadili satu setengah tahun setelah peristiwa terjadi (22 Oktober 1982). Perbuatan para terdakwa, begitu dakwaan Oditur dalam sidang kelima Jumat pekan lalu, dilakukan sekitar lepas magrib di daerah Kalipasir, Jakarta Pusat. Ketika itu para terdakwa tetgabung dalam operasi antinarkotik dengan nama sandi Roda Delapan, pimpinan Letnan Satu Yuswono. Sofyan, menurut Oditur, tertangkap oleh Sihar dan Dedi dengan bukti satu amplop ganja. Karena melawan, setelah bisa dikuasai, korban lalu dianiaya oleh kedua anggota Brimob itu. Terdakwa Wiji dan Bachrol ikut menendang dan menganiaya korban, ketika Sofyan dibawa ke rumah Sanwani - seorang pengedar ganja yang ikut ditangkap. Pengamayaan itu sedemikian rupa sehingga korban sangat lemah dan tak berdaya hingga perlu dibawa ke Rumah Sakit Persahabatan. Namun, karena lukanya sangat parah, ia diboyong ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan ternyata tak tertolong. Esok harinya, 23 Oktober 1982, Sofyan meninggal. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo kini menteri tenaga kerja - ketika itu membantah seolah Sofyan mati akibat kekerasan petugas. "Ia menyerang ketika hendak ditangkap, sehingga petugas mengadakan self defence," kata Sudomo kepada para wartawan. Visum yang dikeluarkan LKUI menyebutkan bahwa korban mati akibat benturan benda tumpul pada kepala. Di pipi kiri korban juga ada bekas luka lecet berbentuk lingkaran. Di dada kanan ada luka memar memanjang dan di leher sebelah kiri terdapat resapan darah yang diakibatkan kekerasan benda tumpul atau tekanan. Bambang Permadi, ketua RT 06 RW 10 Kelurahan Kebon Sirih yang didengar kesaksiannya, menyatakan bahwa malam itu ia melihat korban-diseret dengan leher diikat menggunakan Ikat pinggang. Juga dikatakan, ia melihat korban dipukuli di pinggir gang dari Jalan Kalipasir sampai rumah Sanwani yang berjarak 50 meter. "Waktu itu korban berteriak minta tolong dan berteriak Allahu Akbar, Allahu Akbar .... Saya tidak bersalah, Pak," kata Bambang menirukan kata-kata Almarhum. Kesaksiannya dikuatkan oleh Abdul Munim, wartawan Barata Minggu, yang pertama-tama menyakslkan penaniayaan itu. Bersama ketua RW 10, Suwandi, yang segera dipanggil, Munim melihat korban dikeroyok dan kepalanya dibenturkan ke tiang gang yang terbuat dari besi. Suwandi sendiri, dalam kesaksiannya yang dibacakan Oditur, menyatakan mendengar salah seorang yang memukuli Sofyan berteriak "Kalau tidak mau diborgol, kamu saya tembak!" Suwandi lalu membujuk Sofyan--yang sempat menggigit tangan petugas - agar mau diborgol. "Sebelumnya, korban tak mau dan terus meronta-ronta," kata Suwandi. Kapten Soegito, atasan para terdakwa, tetap yakin bahwa Sofyan pengisap dan pengedar ganja. Dua hari sebelum operasi dilancarkan katanya kepada TEMPO, ia mengutus Sersan M. Enuch menyelidik di lapangan. Di Kalipasir itu, dijumpai banyak anak muda bergerombol dan melakukan transaksi jual beh ganja. Ketika petugas datang, Sofyan tahu-tahu melarikan diri. Hal itu, kata Soegito, jelas merupakan indikasi bahwa dia bersalah. Lagi pula, katanya, anak muda itu membawa pisau dan digunakan menyerang petugas. "Perkelahian sebenarnya berlangsung satu lawan satu. Tapi karena ia mengeluarkan pisau, petugas lain lalu membantu," kata Soegito. Tapi Rohili Efendi, ayah Sofyan, tak percaya anaknya yang ketujuh dan bertubuh kecil itu membawa pisau dan ganja. Sanwani sendiri memang mengaku tak kenal. Sofyan. Malam itu, kata Rohili, Sofyan hanya berbekal Rp 300 dan tas berisi pakaian karena hendak menginap di rumah salah seorang kakaknya. Tapi, kini, ia tak hendak berpikir apa-apa lagi tentang peristiwa itu. "Semuanya saya serahkan kepada Tuhan," kata ayah 12 anak dan kakek 24 cucu itu sambil terbatuk-batuk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini