Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Etnis Cina di Zaman yang Berubah

16 Agustus 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KITA tak tahu persis kapan generasi pertama mereka sampai di kepulauan ini. Yang kita tahu, berbeda dengan bangsa Barat yang datang ke sini untuk merampok dan memperdagangkan hasil bumi Nusantara, mereka datang mencari bumi dan langit yang lain, ketika kampung halaman diharu-biru bencana alam dan pertarungan kekuasaan.

Dari bagian selatan daratan yang luas itu mereka mengalir makin ke selatan, transit sejenak di Hong Kong dan Makao, kemudian berpencaran mengikuti arus transportasi laut ke negeri-negeri "perawan". Sebagian diangkut ke Hawaii oleh para makelar kuli yang memasok perkebunan nanas yang baru dibuka. Sebagian besar lainnya mengalir ke Temasik, Semenanjung Malaya, dan Indonesia.

Di negeri ini pun, tak serta-merta nasib baik menyambut mereka, akibat hukum kumpeni dan Hindia Belanda yang diberlakukan pada masa itu pun tak jauh berbeda dengan nasib yang mereka tanggungkan di tanah asal. Tapi mereka memutuskan bertahan. Tak ada lagi bumi lain dan langit lain yang mereka harapkan jadi tempat berpijak dan bernaung.

Jauh sebelum Perang Jawa dan Perang Batak, pada 1740 mereka mengobarkan pemberontakan besar di Batavia—dan tentu saja ditumpas habis. Darah mereka yang bersimbah di sebuah sungai di Batavia Utara hingga kini meninggalkan sebuah nama yang sering kali tak kita pahami maksudnya: Angke—alias "Sungai Merah". Pada 1777 mereka bahkan sempat mendirikan sebuah kerajaan kecil di Borneo, Lan-fang Kung-ho-kuo namanya.

Pada hari-hari pertama negeri ini dinyatakan merdeka, 17 Agustus 1945, tidak banyak sebetulnya yang mempersoalkan apakah "mereka" berbeda dari "kita". Atau apakah mereka harus diperlakukan lain, seperti ketika pemerintah kolonial memasung mereka—bersama keturunan Arab dan India—di dalam sebuah "kandang" yang disebut Timur Asing. (Sehari sebelum Proklamasi, Sukarno bahkan "disimpan" para pemuda di rumah seorang Cina di Rengasdengklok, Karawang.)

Sejarah bergulir. Nasib para warga keturunan Tionghoa ini pun menjalani pasang-surutnya karena terseret berbagai kepentingan. Keuletan mempertahankan—dan mengangkat kualitas—hidup membuat "kelompok" mereka akhirnya muncul sebagai bagian yang ikut menentukan corak perekonomian. Lagi pula, bukankah justru di bidang itu mereka harus berkutat karena pembatasan yang dikenakan kekuasaan tak memberi mereka ruang yang cukup untuk, misalnya, berkhidmat di bidang politik, pemerintahan, dan keamanan negara?

Kecemburuan sosial, istilah yang belum dikenal pada masa awal pemerintahan Sukarno, toh akhirnya melahirkan PP-10/1959, yang tidak mengizinkan warga keturunan Tionghoa berdagang di tingkat kecamatan. Akibatnya, lebih dari seratus ribu orang Tionghoa meninggalkan Indonesia untuk kembali ke negeri leluhur, yang untuk sebagian generasi muda mereka sudah menjadi ranah yang asing.

Rezim Orde Baru mempertegas "alienasi" itu melalui semacam "feodalisme dagang", yang pada hakikatnya kembali ke zaman Mataram, ketika setiap bupati, bahkan setiap lurah, punya "cina"-nya masing-masing. Seraya hidup dari kocek mereka, para penguasa rezim ini juga menciptakan ketakutan dan ketergantungan melalui sejumlah represi kultural yang nyaris tak masuk akal: memberangus aksara Cina, barongsai, Imlek, bahkan nama Cina.

Peristiwa 30 September 1965 menjadi godam mematikan yang mensahihkan semua pembatasan itu, seolah-olah semua Cina di kolong langit ini umat setia Mao Zedong dan Kunchantang. Represi dalam bentuk yang lebih konkret adalah sejenis berkas yang disebut surat bukti kewarganegaraan Republik Indonesia alias SBKRI. Semua keturunan Cina harus memiliki surat sakti berbentuk paspor ini, seolah-olah semua orang yang bukan keturunan Tionghoa otomatis sudah terbukti kewarganegaraannya.

Kemudian tibalah "reformasi". Barongsai boleh main, Imlek bebas dirayakan secara terbuka, bahkan beberapa perusahaan properti dengan bangga mempromosikan "Kampung Cina" atawa "China Town" di lahan permukiman yang dijual mahal di kawasan terpilih. Tapi cukupkah ini menebus lembaran hitam Mei 1998 yang memalukan itu? Salahkah bila mereka tetap menyimpan rasa khawatir, misalnya, ketika mendapati kenyataan bahkan seorang warga negeri ini yang beroleh kehormatan mengusung obor Olimpiade 2004 masih dipertanyakan SBKRI-nya?

SBKRI itu hanya satu contoh. Hingga sekarang, masih terdapat sekitar 60 undang-undang dan peraturan yang—istilah yang sangat menyakitkan—berbau diskriminasi. Artinya, sampai sekarang, masih menggantung sejumlah persoalan yang berputar di sekitar pembauran, asimilasi, integrasi, atau whatever, yang ujung-ujungnya adalah kesetaraan keadilan di dalam sebuah bangsa yang mencita-citakan demokrasi dan pembaruan. Mungkin kita tak tahu dari mana harus mulai. Tapi, bagaimana kalau kita mulai dari hal-hal sederhana, seperti menjebol tembok administrasi dan prosedural yang melelahkan itu—semacam SBKRI itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus