SANGAT beralasan kalau dua pasang kandidat Presiden RI berebut "meminang" Partai Golkar menjelang utaran kedua pemilihan presiden. Kandidat presiden-wakil presiden dari partai pemenang pemilu legislatif itu, Wiranto-Salahuddin Wahid, sudah tersisih di putaran pertama. Upaya hukum pasangan ini untuk mengoreksi jumlah perolehan suara, pekan lalu, ditolak Mahkamah Konstitusi. Maka, suara pemilih Partai Golkar yang jumlahnya 24,5 juta seakan "tak bertuan" dan terlalu menggiurkan untuk dibiarkan gentayangan.
Soal kandidat yang akan dipilih Partai Golkar, sedikitnya partai itu mempunyai tiga pilihan.
Pilihan pertama, memilih salah satu kandidat presiden pekan ini, dalam forum rapat pimpinan nasional. Jika mengikuti pilihan ketua umumnya, partai itu akan memilih Megawati-Hasyim. Tentu ada sejumlah keuntungan. Yang sudah jelas adalah tujuh atau delapan kursi kabinet yang kabarnya sudah dijanjikan untuk Partai Golkar. Tapi terlalu naif jika partai yang sudah kenyang pengalaman itu kita bayangkan hanya berpikir jangka pendek. Apabila koalisi dengan PDI Perjuangan ini berhasil dan Megawati menang, sangat mungkin koalisi bisa "membantu" ketua umum partai itu untuk memenangi ajang pemilihan Ketua Umum Golkar akhir tahun ini. Lebih jauh lagi, bila koalisi berjalan efektif dan mesra, pada tahun 2009, pada saat Megawati habis masa jabatan keduanya dan tak bisa dipilih kembali menurut undang-undang, siapa tahu kandidat presiden dari Golkar bisa "membuka pintu" Istana—kalau Golkar menang dalam Pemilu 2009.
Tentu "hitung dagang" ini membutuhkan asumsi. Yang mutlak, harus diasumsikan bahwa Megawati-Hasyim sanggup memenangi putaran kedua pada 20 September nanti. Ini butuh perjuangan. Hasil putaran pertama menjelaskan bahwa pasangan ini mempunyai kans lebih kecil untuk menang. Fakta yang lain menunjukkan, dalam kasus kalahnya Wiranto-Wahid, tidak semua pemilih Partai Golkar bisa digiring memilih calon presiden yang ditetapkan pengurus pusat. Jajak pendapat beberapa lembaga juga "belum" berpihak kepada pasangan ini.
Artinya, tak ada jaminan suara Golkar mengalir ke kandidat yang dipilihkan pusat. Ini risikonya besar. Apabila Mega-Hasyim kalah, dan Partai Golkar sudah menetapkan mendukung pasangan ini, jelas kesempatannya untuk bergabung dengan pemenang putaran kedua tertutup. Kecuali, bila politik memang mengharuskan pelakunya membuang rasa malu di keranjang sampah.
Apabila Partai Golkar memilih pasangan SBY-JK, dan pasangan ini kalah di putaran kedua, semua hal buruk yang bisa terjadi dengan memilih Mega-Hasyim juga bisa menimpa Partai Golkar.
Maka pilihan kedua, yaitu bersikap netral, mungkin bisa membuat Partai Golkar terhindar dari kerugian yang besar. Partai Beringin bisa membebaskan setiap organ partai di daerah untuk memilih siapa saja. Dan siapa pun yang menang dalam putaran kedua pasti akan membutuhkan mitra yang kuat di parlemen agar program kerjanya disokong. Jelas Beringin akan menjadi pilihan pertama, mengingat jumlah kursinya di parlemen.
Pilihan ketiga, menetapkan koalisi setelah 20 September, adalah pilihan yang paling kecil risikonya. Partai itu bisa menawarkan bantuan pada pemenang putaran kedua, baik bantuan dukungan di parlemen maupun tenaga untuk mengisi kabinet. Bantuan yang pasti akan sulit dielakkan oleh kandidat mana pun yang menang dalam putaran kedua.
Bersikap netral, atau menetapkan pilihan setelah 20 September, akan menyelamatkan Dewan Pimpinan Pusat Partai Golkar dari tuduhan memobilisasi pemilihnya untuk kepentingan politik sebagian pengurusnya. Kalau mau jadi Partai Golkar baru, gerak langkah partai itu haruslah sesuai dengan aspirasi pendukung partai, dan bukan "disesuaikan" dengan kepentingan sekelompok elite partai.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini