Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Kinerja pemerintahan pada masa awal tidak terlihat meyakinkan.
Celios melakukan studi yang salah satu poinnya menyoroti para menteri yang mendapat nilai buruk.
Perlu ada standardisasi untuk mengukur kinerja menteri dan kementerian.
DI tengah gejolak kebijakan yang terus bergulir, Presiden Prabowo Subianto akhirnya menyatakan adanya kemungkinan reshuffle kabinet setelah 100 hari masa pemerintahannya. Dalam momen kritis ini, Prabowo menegaskan tidak akan segan menyingkirkan menteri yang dianggap tidak mampu menjalankan tugas dengan baik dan tak bekerja untuk kepentingan rakyat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pernyataan ini datang setelah terbitnya serangkaian kebijakan kontroversial yang memicu ketegangan, baik di dalam Kabinet Merah Putih maupun di masyarakat. Misalnya pembatalan penerapan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) 12 persen, tarik-menarik kasus pagar laut, masalah tata kelola elpiji 3 kilogram, serta ketidakpastian pemangkasan anggaran kementerian dan pembayaran tunjangan dosen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kinerja pemerintahan pada masa awal memang tidak terlihat meyakinkan. Melalui survei berbasis penilaian ahli, Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan, 74 persen ahli melihat hanya beberapa janji politik Prabowo yang berhasil, sementara sebagian lain tidak terlaksana. Sebanyak 52 persen responden juga menilai tata kelola anggaran masih buruk, 46 persen menilai kolaborasi antar-kementerian tak efektif, 39 persen menilai capaian program buruk dalam 100 hari pertama, dan 88 persen setuju adanya pergantian atau pergeseran menteri dalam tugas yang berbeda.
Hasil studi Celios yang menyajikan skor rentang dari negatif hingga positif memberikan gambaran alternatif yang seharusnya membuka jalan bagi evaluasi jujur dan tanpa tedeng aling-aling. Salah satu sorotan utama studi ini adalah para menteri yang mendapat nilai buruk, di antaranya Menteri Hak Asasi Manusia Natalius Pigai, Menteri Koperasi Budi Arie Setiadi, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bahlil Lahadalia, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni, serta Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal Yandri Susanto.
Masalah yang menjelaskan sengkarut pada evaluasi menteri saat ini ialah kurangnya standardisasi dalam penilaian kinerja. Standardisasi diperlukan untuk menjamin konsistensi dan penerapan metode. Tanpa indikator kinerja yang jelas dan konsisten, penilaian sering subyektif serta sulit dibandingkan antar-kementerian.
Sebagai contoh, satu kementerian mungkin mengukur kinerja berdasarkan output kuantitatif, sementara kementerian lain mengutamakan hasil kualitatif. Hal ini membuat perbandingan antar-kementerian tidak valid. Ada pula ketergantungan pada laporan internal. Ketergantungan ini menimbulkan beberapa masalah, antara lain kurangnya independensi dalam penilaian. Tanpa verifikasi eksternal, laporan internal tidak memberikan gambaran yang lengkap dan akurat tentang kinerja kementerian.
Di Indonesia, evaluasi kinerja kementerian sering dilakukan secara tertutup. Evaluasi lebih dipengaruhi oleh politik dan kepentingan presiden ketimbang didasarkan pada indikator yang jelas dan transparan. Meski Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik menjamin hak masyarakat mengakses informasi, pada kenyataannya akses terhadap kinerja kementerian masih sangat terbatas. Proses evaluasi kementerian, yang seharusnya memastikan akuntabilitas dan capaian target, sering terhambat oleh kepentingan presiden.
Kurangnya keterbukaan informasi memperburuk kualitas demokrasi pada komponen partisipasi aktif (participatory engagement) dan pengawasan (checks on government) karena membatasi peran aktif masyarakat. Padahal partisipasi publik sangat penting untuk memastikan pemerintah menjalankan tugasnya dengan benar. Tanpa akses yang jelas terhadap kinerja pemerintah, publik tidak bisa memberikan penilaian yang valid.
Evaluasi kinerja pemerintah dalam kerangka negara hukum wajib mengedepankan keterbukaan. Prinsip tersebut tidak hanya memastikan kebijakan yang berkelanjutan, tapi juga memperkuat legitimasi dan kepercayaan publik terhadap pemerintah sebagai pengemban amanat konstitusional. Maka menggagas penerapan indeks kinerja kementerian yang terintegrasi dengan prinsip keterbukaan informasi publik patut dipertimbangkan.
Indeks ini akan memberikan gambaran yang lebih komprehensif dan real time mengenai efektivitas program kementerian, juga memungkinkan partisipasi publik dalam pengawasan kinerja. Karena itu, pemerintah harus mempertimbangkan pembentukan ketentuan yang mengatur secara spesifik model penyelenggaraan, indikator penilaian, dan kelembagaan yang bertanggung jawab atas evaluasi kinerja.
Diperlukan suatu lembaga yang ditunjuk untuk mengelola dan mengkoordinasikan pengumpulan serta publikasi data yang terkait dengan evaluasi kinerja pemerintah. Selain itu, indikator penilaian harus mencakup rencana kerja pemerintah, hasil audit lembaga eksternal, serta umpan balik dari state auxiliary agency; seperti Ombudsman, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi; Dewan Perwakilan Rakyat; media massa; dan tentu saja masyarakat sipil. ●
Redaksi menerima artikel opini dengan ketentuan panjang sekitar 7.500 karakter (termasuk spasi) dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo