Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Evangelisme: Kita Toh Bukan Amerika

Para muda mudi Indonesia harap waspada terhadap bujukan pengikut aliran semacam COG. S.K. Menteri Agama yang mengatur tentang penyebaran agama harus diperketat. (kom)

27 Januari 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIM Jones di Jonestown tempo hari, tiba-tiba membukakan sebagian mata kita. Koq ya ada pikiran seperti itu di zaman yang katanya begini mutakhir. 3 juta dolar, yang dikeluarkan untuk mengangkut mayat mubazir itu, kan lebih dari cukup untuk mendirikan sebuah sekolah teknik yang modern sekali pun. Hanya People's Temple? Wow, jangan takut. Di Amerika saja minimal masih ada tiga perkumpulan yang derajat kegilaannya samasekali tidak di bawah Jones tadi. Semuanya memiliki ciri yang kira-kira sama. Mengaku berakar pada salah satu aliran agama. Mengaku sebagai pembaharu paling nomor satu. Tertutup dalam pandangan, dan sangat dogmatis-doktriner. Dan semuanya merasa perlu menciptakan'musuh' yang harus dibasmi di luar kelompok mereka. Tidak kurang dari Newsweek (4 Desember 1978) cerita tentang tingkahlaku Children of God COG) di Amerika sana. Cara mereka memperoleh pengikut sangat spesifik. Datangi kampus, dan talent scoutter mereka bukan main pandamya bersandiwara. Tunjukkan muka manis, gitaran sedikit bicara dengan 'bahasa' mahasiswa. Kaiau ada calon korban, biasanya mereka mencari di kantin-kantin dan memilih mahasiswa yang pandai tetapi tampak sedang labil. Kalau ditanya apa dari perkumpulan keagamaan, segera dijawab: 'Ooo . . . bukan . . . Kami tidak mengkhususkan diri pada salah satu agama . . . kita bertolak dari cinta kasih dan akal sehat semata .... ' Mereka tidak pernah berani terbuka -- tidak punya keberanian untuk itu. Kalau si calon korban sudah mulai tertarik, mulailah mereka mengajak diskuSi, mengundang makan dengan 'brother & sister' yang lain. Dan sekali si korban masuk dalam perkumpulan mereka, jangan harap dapat keluar dengan manis dan mudah. Bukan karena mereka menjadi yakin. Tapi karena mereka dipenuhi indoktrinasi yang bahkan jauh lebih jahat dari cara Empat Sekawan Cina sekalipun. Mereka yang mengslogankan kebebasan individu dan hak untuk eksist sepenuhnya bagi setiap manusia, justru orang yang paling pertama merebut kebebasan itu dari anggotanya. Menghalalkan cara untuk mencapai tujuan? Jelas. Charles Manson toh masih hidup untuk diminta pertanggungjawabannya atas pembunuhan yang luarbiasa sadis. Dan mereka tidak hanya di Amerika atau di Guyana COC mengaku, dan sangat boleh jadi benar, bahwa pengikutnya tersebar di seluruh dunia. Indonesia? Terus terang saya tidak tahu pasti apakah wabah ini sudah ada atau belum di tengah kita. Seorang teman bercerita bahwa kenalannya ada yang sudah terkena wabah impor ini. Dan saya, mungkin juga anda, rasanya- pernah ketemu orang dengan ciri Newsweek tadi. Tampang sok hippies, muka setengah fly setengah lugu, bawa-bawa gitar, dan mencoba mendiskusikan hal-hal yang mulanya terkesan seperti "kecintaan luar biasa pada kemanusiaan". Kalau kita netral saja mereka mulai menawarkan barang buatan mereka. Entah kalung, entah manik-manik yang kesannya ngepop. Pokoknya saya yakin pernah ketemu orang semacam ini. Kita sudah memiliki Lembaga Konsumen, yang bagaimanapun hasilnya dapat saya golongkan luar biasa. Kesadaran kita bangkit: bahwa apa yang datang dari luar negeri tidak selalu baik. Bahkan sering barang yang tidak boleh dipakai di Amerika dibuang rame-rame ke negeri 'berkembang' ini. Lalu mengapa kita juga tidak bertindak selektif terhadap barang-barang yang tidak jelas bungkusnya ini. Dan demi apa deh, penolakan ini tidak ada hubungannya sama sekali dengan toleransi. Sungguh! Kita kan tidak harus makan ulat yang nongkron di mangga, semata karena takut dianggap tidak suka mangga. Dan memang sebaiknya, anda yang punya perkebunan mangga menyingkirkan ulat-ulat tadi. Atau, kalau orang lain yang menjentik ulat tadi, kita semua jangan lalu bilang mangga makanan jelek. Dan di atas visi inilah saya melihat manfaat SK Menteri Agama (nomornya lupa) yang mengatur penyebaran agama di Indonesia. Kita toh bukan Amerika atau Guyana, dan kita tidak usah jadi mereka. SARTONO MUKADIS F. Psikologi UI Kompleks Rawamangun, Jakarta Timur.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus