KEKUATAN dan kewibawaan Gereja di Filipina kelihatan menonjol sekali selama Pemilu lalu, dan lebih-lebih sesudahnya. Tak heran, karena hampir 85% penduduk Filipina beragama Katolik. Dan, selain itu, Gereja memiliki 1.662 sekolah dasar, 959 sekolah menengah, 171 colleges, 17 universitas -- yang menampung lebih dari satu juta pelajar dan mahasiswa -- 21 stasiun radio dan TV 126 rumah sakit dan poliklinik, serta berbagai penerbitan. Tetapi, itu bukan satu-satunya faktor yang menentukan pengaruh Gereja. Faktor terutama adalah perubahan sikap dan citra Gereja itu sendiri: dari sikap akomodatif kepada sikap profetik, dan dari Gereja institusional kepada Gereja umat. Tentang agama itu sendiri ada dua macam tipe: agama profetik dan agama mistik. Agama profetik mempunyai ciri-ciri: penegasan atas transendensi Allah wahyu disampaikan melalui seorang utusan yang berbicara atas nama Allah, yang menyampaikan kehendak-Nya. Ia menilai situasi, membela kebenaran dan keadilan, dan biasanya menderita karena kesaksiannya. Manusia menjadi sempurna karena menaati kehendak Allah dengan melibatkan diri dalam sejarah. Sedangkan agama mistik menekankan kesadaran akan imanensi Allah. Manusia menjadi sempurna dengan memperoleh pencerahan lewat pengalaman mistik. Mereka harus membebaskan diri dari realitas fenomenal. Dan, pada agama mistik tidak ada dogma dan institusi yang berwewenang dalam pengajaran, sebagaimana agama profetik. Agama Katolik tergolong agama profetik, meskipun di dalamnya terdapat unsur-unsur mistik. Kalau agama mistik cenderung mengabaikan kontradiksi-kontradiksi, dan suka mempertahankan status quo, maka agama profetik condong bersikap kritis, dan menilai situasi sejarah, termasuk kondisi sosial-ekonomi-politik, dengan mengacu kepada nilai-nilai yang telah dilembagakan agama. Kematian bekas Senator Benigno (Ninoy) Aquino merupakan momen munculnya dimensi profetik dari Gereja Filipina. Dimensi ini selama beberapa abad terselubung dimensi institusional, seperti organisasi, hirarki, dan kepentingan Gereja sendiri. Mengenai kematian Aquino ini, J. Blanco, biarawan Yesuit yang berperanan besar dalam gerakan-gerakan tanpa kekerasan, mencatat, "Kematian Aquino merupakan teladan yang indah mengenai komitmen pada Injil, iman, dan keadilan. Ia adalah seorang Kristen yang mengorbankan hidupnya untuk hak-hak asasi dan kebebasan rakyat Filipina yang dirampas. Ia seorang awam Katolik yang menunjukkan apa itu komitmen pada keadilan." Rakyat kemudian menjadi sadar akan nilai kehidupan, keadilan, kebenaran, dan mereka merasa harus bertindak. Tanggapan Gereja dan umat terhadap pembunuhan Aquino, yang diikuti dengan rentetan usaha mengubah masyarakat, bukanlah sesuatu yang muncul secara tiba-tiba. Tetapi, merupakan hasil proses yang panjang. Ia merupakan hasil Konsili Vatikan II (1962-1965) awal dari reformasi agama Katolik, termasuk agama Katolik di Filipina. Perubahan terpenting dari situ adalah perubahan citra Gereja. Agama Katolik masuk ke Filipina pada abad ke-16 bersama dengan conquistador Spanyol. Corak Gereja yang dibawa adalah tradisi abad tengak Eropa: hirarkis, feodal, dan konservatif. Hampir empat abad kemudian, baru Konsili Vatikan II menampilkan citra lain: Gereja merupakan umat Allah. Gereja tidak identik dengan pemimpin Gereja (uskup, imam, dan biarawan), tetapi dengan jemaat. Para uskup dan rohaniwan adalah pelaksana fungsi khusus dalam jemaat. Karena itu, tanggung jawab Gereja menjadi tanggung jawab seluruh umat. Pembaruan lain adalah ajaran tentang kesatuan penghayatan iman dan tugas penegakan keadilan. Iman yang sejati adalah iman yang melaksanakan keadilan. Pewahyuan mengejawantahkan Allah sebagai Keadilan untuk mengakhiri perbudakan, menghapus dominasi, dan membebaskan yang tertindas. Ajaran mengenai kesatuan iman dan keadilan ini dikembangkan dalam apa yang disebut "teologi pembebasan". Teologi pembebasan menekankan tugas teologi sebagai penalaran atas pengalaman kongkret iman sebagaimana dihayati jemaat Kristen saat ini. Teologi pembebasan di Filipina tentu saja sangat dipengaruhi oleh teologi pembebasan Amerika Latin. Persamaan situasi di kedua tempat menjadikan teologi itu relevan untuk Filipina, terutama sejak diberlakukannya Undang-Undang Darurat pada 1972. Teologi pembebasan itu, menurut perintisnya, Gustavo Gutierrez, suatu refleksi dalam iman dan tentang iman sebagai praksis pembebasan. Teologi pembebasan, yang mulai dengan fakta dependensi dan opresi, dalam menganalisa situasi tidak terikat pada teori sosial tertentu, entah itu Marxis atau bukan. Teologi pembebasan mulai dengan "fakta" dan bukan "teori". Perubahan yang menyangkut struktur Gereja dimulai dari terbentuknya Basic Chriseian Community -- kelompok-kelompok kecil yang mewujudkan struktur bagi sosialisasi nilai-nilai baru, komunikasi, dan aksi. Dalam kelompok, mereka menginternalisir nilai-nilai, menganalisa permasalahan dan kebutuhan. Melalui kelompok-kelompok inilah terbentuk rasa percaya diri menghadapi kekuatan dari luar. Satu nilai baru yang dikembangkan Gereja Filipina adalah tindakan tanpa kekerasan (active nonviolence) -- upaya mengadakan perubahan sosial tanpa menggunakan kekerasan. Gerakan tanpa kekerasan ini, yang dilihat sebagai unsur esensial dari Injil, dengan cepat berkembang pesat, terutama sesudah kematian Aquino. Sikap ini tercermin dalam pernyataan yang dikeluarkan Konperensi Uskup Filipina mengenai pemilu. Sesudah mengutuk kecurangan dalam Pemilu, para uskup itu menyerukan, "Jalan yang ditunjukkan kepada kita sekarang adalah perjuangan keadilan tanpa kekerasan. Ini berarti perlawanan aktif terhadap kejahatan dengan upaya damai sebagaimana cara Kristus sendiri." Gene Sharp dalam buku The Politics of Non-Vtolent Action menunjukkan sekitar 200 cara melakukan tindakan tanpa kekerasan. Keberhasilan para uskup untuk mengeluarkan pernyataan itu bukannya tanpa perjuangan, mengingat di antara para uskup sendiri ada perbedaan pendapat yang tajam. Pernyataan memihak pada apa yang dianggap benar dan adil mencerminkan perubahan sikap Gereja. Sampai pemberlakuan Undang-Undang Darurat pada 1972, para uskup mengambil sikap akomodatif -- sikap netral. Kecuali untuk hal-hal yang langsung menyangkut ajaran Gereja (perceraian, aborsi) dan soal keuangan, seperti pajak hak milik Gereja. Tapi, sejak Februari 1981, Gereja mengambil sikap kolaborasi kritis. Gereja memandang diri sebagai hati nurani rakyat, dan harus berbicara apabila tak ada orang lain berani berbicara. Tentu saja ada batas Gereja harus berhenti, karena Gereja tidak bisa menganjurkan kekerasan. Sejak kematian Aquino, Gereja semakin mengambil sikap profetik, dan sikap ini tercermin dalam pernyataan para uskup mengenai pemilu dan pernyataan Kardinal Sin. Peranan agama dalam suatu perubahan sosial politik tergantung banyak faktor. Di antaranya: Pertama, interpretasi diri agama itu sendiri, dan cara menafsirkan dunianya yang terus-menerus dapat diperbarui dengan mengacu kepada sumber asli dan konteks masa kini. Kedua, munculnya tokoh religius yang pengorbanan hidupnya membadankan nilai-nilai yang menjadi aspirasi masyarakat, seperti keadilan, kejujuran, kebenaran, dan kemerdekaan. Di Filipina, tokoh itu adalah Benigno Aquino, kemudian diikuti oleh Gubernur Antique Evelio Javier, dan mereka yang menjadi korban ketidakadilan. Faktor ketiga dalam masa krisis, masyarakat akan selalu berpaling pada simbol-simbol religius, yang dihidupkan kembali oleh "nabi-nabi baru". Dan faktor keempat, pemisahan institusi-institusi politik dari agama, memungkinkan agama menjalankan fungsi kritisnya. *) Rektor Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini