DALAM tahun-tahun lima puluhan seorang isteri pernah minta cerai
dari suaminya, gara-gara tidak diajak nonton film Malaya yang
dibintangi almarhum P. Ramlee. Memang, pada tahun-tahun lima
puluhan film Malaya merajai pusaran. Sekarang, boleh dikatakan
telah dilupakan sama sekali. Bintang-bintangnya tidak dikenal
lagi, dan siul lagu Melayu telah digantikan oleh lagu pop.
Apakah orang Melayu tidak membuat film lagi?
BUKA TABIR
Menurut sutradara dan aktor Jins Shamsuddin, melalui wawancara
televisinya baru-baru ini, setelah bergerak selama lebih kurang
30 tahun ia ada melihat kemajuan dalam film-film Melayu
sekarang. Kalau dulu film-film "Malaya" sampai perlu mengundang
para sutradara dia dan para produser dari Hongkong, sekarang
sudah banyak produser pribumi, begitu juga sutradaranya. Kalau
dulu para produser hanya menjiplak cerita India, sekarang
anak-anak pribumi sudah mulai menulis cerita yang baik. Sesuai
dengan perkembangan zaman, penonton telah menjadi kritis dan
mereka tidak suka lagi cerita-cerita khayal yang tak tentu ujung
pangkal. Selain itu cerita yang dijiplak dengan menggunakan
carbon copy itu benar-benar tidak ada mutunya. Lalu merosotlah
produksi film-film yang demikian. Namun kalau orientasi ke India
ini mulai kehilangan pamor, jangan pula dianggap para produser
akan menonjolkan identitas sendiri. Jauh panggang dari api.
Orientasi lantas dipindahkan ke tempat lain: ke Hongkong.
Beberapa film Hongkong telah dicoba dijiplak begitu saja, karena
ceritanya sedang laris. Para produser kiranya tidak sabar
menanti munculnya karya pengarang pribumi, karena film harus
terus dibuat. Orientasi kedua ini ternyata juga tidak mencapai
hasil menggembirakan. Mungkin inilah yang menjadi penyebab
munculnya produser-produser pribumi yang ingin menampilkan
sesuatu tentang kehidupan bangsanya. Tetapi kehadiran mereka
tidak obahnya sebagai anak tiri dalam rumah sendiri.
Berpedoman pada keterangan Jins Shamsuddin, di Malaysia pada
waktu ini terdapat kira-kira 500 bioskop. Dua ratus buah di
antaranya milik Shaw Brothers, 80 milik Cathay. Sisanya milik
perorangan. 45 sampai 55% dari film yang diputar di 500 bioskop
tersebut terdiri dari film Hongkong dan Taiwan, 407O film Eropa
+ Amerika sedang yang 10% adalah gabungan film-film India,
Jepang dan Melayu. Dan dari jumlah yang 10% itu sebenarnya hanya
1% saja film Melayu.
Kalau anak tiri meratap tentulah ada sebabnya. Menurut aturan
permainan, hasil pemutaran film hanya 40% yang menjadi hak
pemilik film. Sedang yang 60% menjadi milik pengusaha bioskop.
Yang 40% itu dipotong lagi sekitar 15 sampai 20% untuk biaya
pengedaran. Sisa yang ada, harus dipotong lagi 50% (setengahnya)
untuk biaya publikasi. Nah, cobalah anda hitung sendiri berapa
sebenarnya yang diterima pengusha film dari sebuah filmnya yang
diputar.
Ketika membuka tabir belakang film-film Melayu ini, Jins tak
lupa menyinggung adanya dua raksasa yang memonopoli kegiatan
perfilman. Mereka menjadi pemilik gedung bioskop, importir,
produser dan distributor sekaligus. Karena yang namanya monopoli
selalu merugikan pihak lain, demikian juga halnya dengan film
Melayu. Kalaupun film-film Melayu terus dibuat oleh para
produser pribumi, film-film itu diputar di gedung bioskop kelas
tiga misalnya. Yang diutar di bioskop kelas satu adalah film
luar, terutama sekali Hongkong dan Taiwan, termasuk film-film
yang dibuat oleh dua raksasa pemilik gedung bioskop.
Ini barangkali yang menimbulkan ide Jins. Menurutnya, alangkah
baiknya di Malaysia berlaku hukum anti monopoli yang melarang
para pemilik bioskop menjadi importir atau produser. Dengan
begitu mereka terpaksa memutar film yang dimasukkan importir
atau yang dibuat orang lain.
Apa yang ingin ditandaskan Jins Shamsuddin ialah: para produser
film pribumi sebenarnya bisa membuat film dari karya pengarang
pribumi, yang mencerminkan kepribadian negara yang sedang
membangun. Berilah kesempatan dan hapuskanlah monopoli. Mungkin
saja ia benar. Siapa tahu kalau yang dimintanya dikabulkan, masa
jaya film-film Melayu tidak tinggal jadi nostalgia.
Kuala Lumpur, 28 Januari 1977.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini