Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Film malaysia & dua raksasa

Th 50-an film malaysia merajai pasaran, kini telah dilupakan. menurut jins shamsuddin ada 2 raksasa yang memonopoli kegiatan perfilman. para pemilik bioskop menjadi importir atau produser sebaiknya dilarang.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM tahun-tahun lima puluhan seorang isteri pernah minta cerai dari suaminya, gara-gara tidak diajak nonton film Malaya yang dibintangi almarhum P. Ramlee. Memang, pada tahun-tahun lima puluhan film Malaya merajai pusaran. Sekarang, boleh dikatakan telah dilupakan sama sekali. Bintang-bintangnya tidak dikenal lagi, dan siul lagu Melayu telah digantikan oleh lagu pop. Apakah orang Melayu tidak membuat film lagi? BUKA TABIR Menurut sutradara dan aktor Jins Shamsuddin, melalui wawancara televisinya baru-baru ini, setelah bergerak selama lebih kurang 30 tahun ia ada melihat kemajuan dalam film-film Melayu sekarang. Kalau dulu film-film "Malaya" sampai perlu mengundang para sutradara dia dan para produser dari Hongkong, sekarang sudah banyak produser pribumi, begitu juga sutradaranya. Kalau dulu para produser hanya menjiplak cerita India, sekarang anak-anak pribumi sudah mulai menulis cerita yang baik. Sesuai dengan perkembangan zaman, penonton telah menjadi kritis dan mereka tidak suka lagi cerita-cerita khayal yang tak tentu ujung pangkal. Selain itu cerita yang dijiplak dengan menggunakan carbon copy itu benar-benar tidak ada mutunya. Lalu merosotlah produksi film-film yang demikian. Namun kalau orientasi ke India ini mulai kehilangan pamor, jangan pula dianggap para produser akan menonjolkan identitas sendiri. Jauh panggang dari api. Orientasi lantas dipindahkan ke tempat lain: ke Hongkong. Beberapa film Hongkong telah dicoba dijiplak begitu saja, karena ceritanya sedang laris. Para produser kiranya tidak sabar menanti munculnya karya pengarang pribumi, karena film harus terus dibuat. Orientasi kedua ini ternyata juga tidak mencapai hasil menggembirakan. Mungkin inilah yang menjadi penyebab munculnya produser-produser pribumi yang ingin menampilkan sesuatu tentang kehidupan bangsanya. Tetapi kehadiran mereka tidak obahnya sebagai anak tiri dalam rumah sendiri. Berpedoman pada keterangan Jins Shamsuddin, di Malaysia pada waktu ini terdapat kira-kira 500 bioskop. Dua ratus buah di antaranya milik Shaw Brothers, 80 milik Cathay. Sisanya milik perorangan. 45 sampai 55% dari film yang diputar di 500 bioskop tersebut terdiri dari film Hongkong dan Taiwan, 407O film Eropa + Amerika sedang yang 10% adalah gabungan film-film India, Jepang dan Melayu. Dan dari jumlah yang 10% itu sebenarnya hanya 1% saja film Melayu. Kalau anak tiri meratap tentulah ada sebabnya. Menurut aturan permainan, hasil pemutaran film hanya 40% yang menjadi hak pemilik film. Sedang yang 60% menjadi milik pengusaha bioskop. Yang 40% itu dipotong lagi sekitar 15 sampai 20% untuk biaya pengedaran. Sisa yang ada, harus dipotong lagi 50% (setengahnya) untuk biaya publikasi. Nah, cobalah anda hitung sendiri berapa sebenarnya yang diterima pengusha film dari sebuah filmnya yang diputar. Ketika membuka tabir belakang film-film Melayu ini, Jins tak lupa menyinggung adanya dua raksasa yang memonopoli kegiatan perfilman. Mereka menjadi pemilik gedung bioskop, importir, produser dan distributor sekaligus. Karena yang namanya monopoli selalu merugikan pihak lain, demikian juga halnya dengan film Melayu. Kalaupun film-film Melayu terus dibuat oleh para produser pribumi, film-film itu diputar di gedung bioskop kelas tiga misalnya. Yang diutar di bioskop kelas satu adalah film luar, terutama sekali Hongkong dan Taiwan, termasuk film-film yang dibuat oleh dua raksasa pemilik gedung bioskop. Ini barangkali yang menimbulkan ide Jins. Menurutnya, alangkah baiknya di Malaysia berlaku hukum anti monopoli yang melarang para pemilik bioskop menjadi importir atau produser. Dengan begitu mereka terpaksa memutar film yang dimasukkan importir atau yang dibuat orang lain. Apa yang ingin ditandaskan Jins Shamsuddin ialah: para produser film pribumi sebenarnya bisa membuat film dari karya pengarang pribumi, yang mencerminkan kepribadian negara yang sedang membangun. Berilah kesempatan dan hapuskanlah monopoli. Mungkin saja ia benar. Siapa tahu kalau yang dimintanya dikabulkan, masa jaya film-film Melayu tidak tinggal jadi nostalgia. Kuala Lumpur, 28 Januari 1977.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus