Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Film indonesia: harus ekspor

Deppen dengan sk no.53 mewajibkan mengekspor sebuah film nasional setiap 10 film yang diimpor. menghadapi kesulitan tehnis, mutu film belum memenuhi standar.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

FILM Indonesia harus diekspor. Itu keputusan pemerintah lewat SK no.53 yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. "Bagi para importir setiap 10 film yang mereka masukkan, wajib baginya untuk juga mengekspor sebuah film nasional", begitu drs Sunaryo Direktur Bina Film Deppen, memberi keterangan. Melalui surat keputusan pelaksanaan, Direktur Jenderal Film, Radio dan Televisi Deppen menetapkan bahwa wajib ekspor itu mulai berlaku tahun ini juga. "Tidak benar toh jika cuma film luar negeri yang bisa masuk ke sini sedang film kita tidak keluar", kata Sunaryo pula. "Memang dari segi mutu barangkali kita ragu-ragu untuk melaksanakannya, tapi kenyataan menunjukkan bahwa untuk negara-negara Asia Tenggara film kita sudah bisa mereka terima", tambah direktur bina film itu. Bagi kalangan produser masalahnya bukan cuma soal mutu, tapi juga pelaksanaan teknis ekspor tersebut bukan soal mudah. Tien Samatha, produser dan isteri bintang film Ratno Timur berpendapat: "Lha, kita ini bukan eksportir, dan kalau harus ekspor ya, kita harus segera diberi izin ekspor". Nyonya yang sering juga muncul dalam film yang disutradarai oleh suaminya itu yakin sekali bahwa Indonesia punya kemampuan untuk mengekspor film. Tien seendapat dengan drs Sunaryo bahwa pasaran utama film kita adalah Asia Tenggara. Dengan bersemangat Tien Samatha malah berkata, "Bahkan ke seluruh dunia kita harus bisa". Terkejutlah Wim Wim Umboh agak terkejut mendengar suara bersemangat Tien itu. "Mutu film kita jauh di bawah standard. Dari 70 produksi per tahun, paling banter hanya 5 yang mungkin diekspor", begitu Wim Umboh menjelaskan kepada wartawan TEMPO, Said Muchsin. Dan untuk mendapatkan yang 5 film itu, sebuah badan penyeleksi harus dibentuk. "Tanpa seleksi ini kita cuma akan bunuh diri dengan menyuruh orang lain nonton film kita yang jelek-jelek itu", begitu jalan fikiran Wim. Berbeda dengan Tien Samatha, Wim mendukung ide penyensoran sebelum ekspor dilakukan. "Hingga kini film-film kita yang beredar di luar negeri sama sekali tidak kita sensor dulu. Itu lantaran pencetakannya memang masih dilakukan di luar negeri", kata Wim pula. Dan ini dianggap bisa memberikan gambaran jelek mengenai bangsa dan kebudayaan kita. Soal sensor ini, Wim bicara penuh semangat. "Ini menyangkut tata nilai kebudayaan kita", begitu ia berkata menjelang pukul 12 malam di Hotel Arya Duta. Menyebut sex dan sadisme dan politik sebagai bidang yang tidak mungkin diungguli dalam film-film kita, Wim menyarankan agar film-film yang akan diekspor itu terutama menonjolkan aspek "kebudayaan kita". Dan yang menentukan menonjol tidaknya aspek "kebudayaan" dalam sebuah film adalah sebuah badan yang hingga kini memang belum ada. Tapi apa sih itu "aspek kebudayaan", bisa perlu 100 seminar. Puntug Rokok Narto Erawan, pejabat perfilman Deppen yang juga terkenal sebagai penulis sekanario, setuju sekali dengan jalan fkiran Wim Umboh. Kata Narto: "Tipe film yang akan diekspor harus mengalami dua kali sensor. Pertama sensor untuk peredaran di dalam negeri, kemudian sensor khusus sebelum diekspor". Untuk dua kali penyensoran itu, Narto mempunyai alasan panjang lebar. "Sebagai misal", katanya, "film yang ada cerita adu ayam di Bali tak mungkin digunting sensor, karena adu ayam adalah kebudayaan setempat. Cuma bila ada film yang memperlihatkan seorang hidup dari pekerjaan memungut puntung rokok, wah ya, sulit lolos sensor. Di luar negeri merokok saja sudah dianggap berbahaya, apa lagi kalau yang diisap adalah puntungnya". Karena suda jadi keputusan pemerintah, nampaknya film-film kita memang bakal dibeli oleh para penjual film yang selama ini menerima banyak keuntungan dari penjualan film yang mereka lakukan di Indonesia. Cuma saja soalnya, apakah film-film Indonesia yang menurut Wim Umboh, "mutunya masih rendah" itu bakal dapat kesempatan diputar oleh bioskop-bioskop di luar negeri. Cerita mengenai film Indonesia yang dibeli oleh Singapura untuk hanya disimpan dan tidak dipertunjukkan, bukan rahasia bagi kalangan perfilman. Pengalaman pahit seperti itulah yang membuat orang seperti Kolonel Dadang Kadarisman dari PT Darma Putera Jaya Film berkesimpulan: "Peraturan pemerintah tentang ekspor film itu adalah sesuatu yang dipaksakan". A. Ganie Rahman, produser film yang antara lain membuat film Setulus Hatimu, juga berbicara senada dengan Kolonel Dadang. Kata Ganie Rahman: "Kecuali ke Singapura dan Malaysia, film kita sulit masuk. Mutu film kita sangat ketinggalan".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus