FILM Indonesia harus diekspor. Itu keputusan pemerintah lewat SK
no.53 yang dikeluarkan oleh Departemen Penerangan. "Bagi para
importir setiap 10 film yang mereka masukkan, wajib baginya
untuk juga mengekspor sebuah film nasional", begitu drs Sunaryo
Direktur Bina Film Deppen, memberi keterangan.
Melalui surat keputusan pelaksanaan, Direktur Jenderal Film,
Radio dan Televisi Deppen menetapkan bahwa wajib ekspor itu
mulai berlaku tahun ini juga. "Tidak benar toh jika cuma film
luar negeri yang bisa masuk ke sini sedang film kita tidak
keluar", kata Sunaryo pula. "Memang dari segi mutu barangkali
kita ragu-ragu untuk melaksanakannya, tapi kenyataan menunjukkan
bahwa untuk negara-negara Asia Tenggara film kita sudah bisa
mereka terima", tambah direktur bina film itu.
Bagi kalangan produser masalahnya bukan cuma soal mutu, tapi
juga pelaksanaan teknis ekspor tersebut bukan soal mudah. Tien
Samatha, produser dan isteri bintang film Ratno Timur
berpendapat: "Lha, kita ini bukan eksportir, dan kalau harus
ekspor ya, kita harus segera diberi izin ekspor". Nyonya yang
sering juga muncul dalam film yang disutradarai oleh suaminya
itu yakin sekali bahwa Indonesia punya kemampuan untuk
mengekspor film. Tien seendapat dengan drs Sunaryo bahwa
pasaran utama film kita adalah Asia Tenggara. Dengan bersemangat
Tien Samatha malah berkata, "Bahkan ke seluruh dunia kita harus
bisa".
Terkejutlah Wim
Wim Umboh agak terkejut mendengar suara bersemangat Tien itu.
"Mutu film kita jauh di bawah standard. Dari 70 produksi per
tahun, paling banter hanya 5 yang mungkin diekspor", begitu Wim
Umboh menjelaskan kepada wartawan TEMPO, Said Muchsin. Dan untuk
mendapatkan yang 5 film itu, sebuah badan penyeleksi harus
dibentuk. "Tanpa seleksi ini kita cuma akan bunuh diri dengan
menyuruh orang lain nonton film kita yang jelek-jelek itu",
begitu jalan fikiran Wim.
Berbeda dengan Tien Samatha, Wim mendukung ide penyensoran
sebelum ekspor dilakukan. "Hingga kini film-film kita yang
beredar di luar negeri sama sekali tidak kita sensor dulu. Itu
lantaran pencetakannya memang masih dilakukan di luar negeri",
kata Wim pula. Dan ini dianggap bisa memberikan gambaran jelek
mengenai bangsa dan kebudayaan kita.
Soal sensor ini, Wim bicara penuh semangat. "Ini menyangkut tata
nilai kebudayaan kita", begitu ia berkata menjelang pukul 12
malam di Hotel Arya Duta. Menyebut sex dan sadisme dan politik
sebagai bidang yang tidak mungkin diungguli dalam film-film
kita, Wim menyarankan agar film-film yang akan diekspor itu
terutama menonjolkan aspek "kebudayaan kita". Dan yang
menentukan menonjol tidaknya aspek "kebudayaan" dalam sebuah
film adalah sebuah badan yang hingga kini memang belum ada. Tapi
apa sih itu "aspek kebudayaan", bisa perlu 100 seminar.
Puntug Rokok
Narto Erawan, pejabat perfilman Deppen yang juga terkenal
sebagai penulis sekanario, setuju sekali dengan jalan fkiran Wim
Umboh. Kata Narto: "Tipe film yang akan diekspor harus mengalami
dua kali sensor. Pertama sensor untuk peredaran di dalam negeri,
kemudian sensor khusus sebelum diekspor". Untuk dua kali
penyensoran itu, Narto mempunyai alasan panjang lebar. "Sebagai
misal", katanya, "film yang ada cerita adu ayam di Bali tak
mungkin digunting sensor, karena adu ayam adalah kebudayaan
setempat. Cuma bila ada film yang memperlihatkan seorang hidup
dari pekerjaan memungut puntung rokok, wah ya, sulit lolos
sensor. Di luar negeri merokok saja sudah dianggap berbahaya,
apa lagi kalau yang diisap adalah puntungnya".
Karena suda jadi keputusan pemerintah, nampaknya film-film kita
memang bakal dibeli oleh para penjual film yang selama ini
menerima banyak keuntungan dari penjualan film yang mereka
lakukan di Indonesia. Cuma saja soalnya, apakah film-film
Indonesia yang menurut Wim Umboh, "mutunya masih rendah" itu
bakal dapat kesempatan diputar oleh bioskop-bioskop di luar
negeri. Cerita mengenai film Indonesia yang dibeli oleh
Singapura untuk hanya disimpan dan tidak dipertunjukkan, bukan
rahasia bagi kalangan perfilman.
Pengalaman pahit seperti itulah yang membuat orang seperti
Kolonel Dadang Kadarisman dari PT Darma Putera Jaya Film
berkesimpulan: "Peraturan pemerintah tentang ekspor film itu
adalah sesuatu yang dipaksakan". A. Ganie Rahman, produser film
yang antara lain membuat film Setulus Hatimu, juga berbicara
senada dengan Kolonel Dadang. Kata Ganie Rahman: "Kecuali ke
Singapura dan Malaysia, film kita sulit masuk. Mutu film kita
sangat ketinggalan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini