KALAU di Ruang Pameran LPKJ ada barang kerajinan tangan Amerika,
di pendapa hotel Sahid Jaya ada barang seni dari Australia (28
Januari- 1 Pebruari). Dalam penataan yang lebih terasa sebagai
propaganda pariwisata, terlihat 3 buah patung, sejumlah lukisan,
selembar batik sutera dan sejumlah alat pribumi yang berisi
ornamen-ornamen sederhana, dan akhirnya sebuah senjata yang
sangat tersohor: bumerang.
Negara kangguru yang belakangan ini terasa dekat - antara lain
oleh paket-paketnya berupa rombongan musik atau penyair -
rupanya memang punya keinginan lebih memperketat hubungan.
Terasa juga arus tersebut dalam pameran kecil ini dengan ikut
sertanya 2 buah lukisan dari Donald Friend yang lama bercokol di
Bali. Dengan warna-warna yang lebih meriah dari rekan-rekannya,
Friend telah melangkah cukup jauh dari hanya sekedar turis.
Kendatipun ia belum sempat menggali keintiman dengan Bali
sebagai pernah dilakukan dengan baik sekali oleh orang semacam
Bonnet. Ia masih mencoba masuk lebih jauh, dan kini sedang dalam
taraf mengorek lubang mana yang hendak dilaluinya.
Elaine Haxton adalah orang kedua yang juga mencoba menampilkan
Indonesia melalui ilustrasi-ilustrasinya yang sebenarnya
dimaksudkan sebagai isi buku Tentang Indonesia yang ditulis oleh
Maslyn Williams. Tak kurang 8 buah ilustrasi merekam ulah para
penabuh, baik tatkala meniup suling atau memukul gong.
Garis-garisnya lentik, sederhana, tetapi lebih menonjolkan kesan
Mongolia daripada Jawa atau Bali.
Lukisan-lukisan lain, di samping memang terlalu sedikit dan
kurang petunjuk, belum sempat membayangkan peta seni lukis
Australia masa ini. Memang kita tertarik juga melihat
kesederhanaan dan pulasan-pulasan bidang Michael Taylor yang
trampil dan memancing banyak asosiasi, misalnya pada Scrubby
Ridge-1973. Atau pada lukisan-lukisan mini James Gleeson yang
terasa naif dan purba. Tetapi kitapun mengeluh melihat ada
Picasso dalam Children and Pegeons (195)-nya Elaine Haxton.
Mungkin sekali usaha pameran ini tidak begitu serius sehingga
yang benar-benar hendak disabet adalah keterpikatan kita untuk
mengunjungi negeri tersebut.
Patut diperhatikan beberapa barang dari suku-suku Manggalili,
Mararba, Dalwongu, Gunwinggu, yang sempat memamerkan alat musik,
alat berburu, alat menangkap ikan, tabung tempat abu dan
sebagainya. Banyak di antaranya dibuat dari kulit kayu.
Ditoreh-toreh dengan warna putih, coklat dan hitam, dalam
ornamen-ornamen sederhana tetapi memperlihatkan pengamatan pada
bentuk, menilik proporsi binatang-binatang yang menghiasi
ornamen tersebut. Barang-barang inilah yang terasa lebih
menampilkan kekayaan Australia daripada lukisan-lukisan tadi.
Mati
"Suku-suku penduduk asli memiliki sistim agama yang kompleks
dalam organisasi hukum dan sosial dan kaya akan upacara dan
mitologi. Lukisan dan ukiran yang dibuat di dinding batu dan
kulit kayu, dan tari-tarian mereka, telah dikenal masyarakat
luas", demikian selebaran yang mengiringi pameran. Adakah segala
kekayaan itu nantinya ikut ambil peranan dalam perkembangan
senirupa Australia? Atau hanya warisan mati, sekedar etalase,
lalu senirupa Australia meneruskan tradisinya yang hanya
bertolak dari senirupa Barat? Pameran senirupa Australia yang
lebih serius tentunya menarik.
Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini