Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Pohon Rindang Itu Sakit, Tapi ...

Astra menghadapi kesulitan keuangan. Proyek real estate di Kuningan membekukan US$ 30 juta. Penjualan saham kepada umum masih dalam pertimbangan.

12 Februari 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI atas kantor pusatnya bersinar tanda waktu. Siapa saja yang melintas di depannya, Jl. ir. H. Juanda, Jakarta Pusat, bahkan para pejabat tinggi yang keluar dari Bina Graha menuju Jl. Veteran pun akan gampang melihat angka bercahaya. Angka itu menunjukkan pukul berapa sekarang. Detik demi detik jalannya waktu diberitahukannya. Itulah jam PT Astra International Inc. dijamin tepat. Di dalam kantor pusat itu, direksi Astra biasanya dikejar waktu terus-menerus, berusaha membuat perusahaan bertumbuh. Astra memang sudah maju cepat secara luar biasa. Kini ia begitu besar, hingga membentuk kelompok tersendiri, bagaikan - seperti Direktur Utama William Soeryadjaya gemar menyebutnya - "pohon rindang". Oom Willem, demikian panggilan intim atas Dirut Astra itu, seakan-akan seperti atlit yang mau memecahkan rekor selalu, memperbaiki-kecepatan detik demi detik. Tetapi sekarang Astra rupanya tengah melihat lampu kuning: peringatan supaya berhati-hati. Sementara kalangan bisnis di ibukota RI ini bahkan menganggap Astra sudah sukar bernapas karena hutangnya. Jam Astra masih tepat, tapi jalan kelompok besar ini menghadapi para bankir, asing maupun domestik, sudah ketinggalan waktu. Tidak diketahui pasti berapa hutangnya. Negosiasi dengan para kreditornya sudah dan sedang berlangsung. Timbul pertanyaan apakah ini akan merepotkan Bank Indonesia lagi sesudah krisis Pertamina. Astra, walaupun bukan perusahaan negara, adalah majikan dari 10.000 karyawan dan posisinya di sektor swasta nasional sangat menentukan. Direksi Astra, ketika TEMPO bertanya, mengakui ada kesulitan keuangan. Cukup serius kesulitan itu, yang pertama kali dialaminya sejak masa pertumbuhan selama 10 tahun terakhir ini. Dalam luncu bersama di ruang makan pimpinan Astra, Dirut selalu kelihatan mengheningkan diri, sebelum dan sesudah bersantap. "Sekarang doanya", kata seorang manajer, "lebih panjang". Dirut yang dikenal taat pada agamanya (Protestan) tidak merasa tersinggung. Dari omongannya, dia jelas mengharapkan bantuan kekuatan Tuhan. "Mukjizat", katanya, "bukan saja terjadi di zaman baheula . . . " Proyek perumahan (real estate) di Kuningan, Jakarta Pusat, rupanya salah satu penyebab demam-panas Astra. Bisnis perumahan itu yang semula dimaksud untuk keperluan Pertamina, kini macet. Ini adalah suatu akibat sampingan yang dialami Astra sesudah Pertamina goncang. Majalah Asian Finance, tanpa menyebut Kuningan, memberitakan tentang berantakannya suatu proyek real estate dari lingkungan Astra. Presiden Komisaris KT Tjia dikutipnya sebagai mengatakan, "a US$ 30 million miscalculation (suatu kekeliruan 30 juta dollar Amerika)". Kemacetan itu menimbulkan akibat berantai, antara lain dengan Union Bank di Hong Kong, yang memberi Astra pinjaman. Walaupun negosiasi mereka buat sementara berhasil, Astra tetap ditagih supaya membayar bunga bank yang bukan sedikit jumlahnya. Kalangan Astra menghitung lagi bahwa kemacetan Kuningan itu sebenarnya meliputi 20 juta dollar yang, katanya pada TEMPO, "bukan hilang sama sekali". Juga berantai akibatnya karena PT Gaya Motor, anggota keluarga Astra, harus memindahkan tempat perakitan dari Tg. Priok ke Sunter II (Plumpang). Sudah 10 juta dollar terbenam karenanya, sedang biaya pembangunan di Sunter II bisa mencapai 21 juta dollar. General Motor dulu, sebelum diambil alih pada zaman konfrontasi, merakit di Priok itu. Selama masih bernama PN Gaya Motor, usaha perakitannya tidak jalan. Maka pemerintah menawarkan usaha patungan dengan PT Astra (60%) hingga lahir PT Gaya Motor tahun 1969. Inilah pangkal kemajuan Astra yang memungkinkan pula Toyota merebut pasaran Indonesia. Semua itu berkat, sebagaimana William suka bercerita pada banyak tamunya, adanya perubahan kurs BE. Akibatnya, PT Astra mendadak memperoleh modal 7,5 juta dollar. Asal mulanya Astra membuka LC dengan dana AID (BE kredit) sebanyak 2,8 juta dollar tahun 1967 untuk mengimpor 800 unit truk Chevrolet, tentu saja atas pesanan pemerintah Orde Baru. Banyak truk diperlukan untuk proyek rehabilitasi jalan dan irigasi. Kurs BE itu masih Rp 141 per dollar. Pesanan truk itu tiha bertahap tahun 1968-69, sedang kurs BE melonjak ke Rp 378 hingga hasil penjualan Astra pun membubung tinggi. Rezeki 'nomplok' ini, menurut William, langsung jadi modal Astra untuk PT Gaya Motor, yang kemudian beranak pula jadi PT Federal Motor (yang merakit sepeda-motor Honda). Dan akhirnya, terus berkembang. Rezeki semacam itu tidak mungkin datang lagi untuk membantunya menghadapi kesulitan sekarang. Itu terjadi dulu, ketika hampir 100% bisnis Astra adalah dengan pemerintah. Kini bisnis itu tinggal 8% saja. Namun Astra, entah bagaimana caranya, diketahui sedang mengusahakan bantuan pemerintah. Selain kewalahan dengan proyek Kuningan dan soal pindah dari Priok, Astra kini menempuh pasang surut dengan sekurangkurangnya tiga anak perusahaannya. Ketiga itu bergerak di bidang peralatan kantor seperti Xerox, alat besar seperti Komatsu, Forklifts dan Timberjack dan alat teknik pendingin seperti Westinghouse. Ia terutama mandeg di bidang alat besar. Antara lain karena adanya krisis minyak dan resesi ekonomi dunia. Tambahan pula banyak perusahaan di bidang perkayuan yang mengurangi kegiatannya. Di tahun 1974-75, misalnya, perusahaan-perusahaan kayu dan konstruksi membatalkan pesanannya. Maka Astra mempunyai kelebihan suplai yang tidak terjual, berupa traktor, bulldozer dan alat besar lainnya seharga 30 juta dollar. Barulah belum lama ini Astra bisa menatasi soal kclebihan stok itu. Astra, seperti banyak perusahaan lainnya, telah terpukul juga dengan adanya krisis Pertamina dalam pemasaran alat teknik (Westinghouse) dan alat besar konstruksi. Pemasarannya menurun sekali. Periuk nasi utama Astra boleh dikatakan berkisar pada kendaraan roda empat dan roda dua (Toyota, Daihatsu dan Honda). Keuntungan dari pos itu ternyata cukup besar untuk bisa menutupi kerugian di bidang lain. Walaupun ada beberapa anak perusahaannya yang merugi, Astra cenderung bertahan. "Kalau dijual", kata seorang manajer keuangannya, "nanti Oom Willem nangis". Meskipun suram, sebagai keseluruhan kelompok Astra masih bisa mencapai omset Rp 110 milyar pada tahun 1976: hampir 40% kenaikannya dari 1975 (lihat grafik). Pada tahun-tanun berikutnya, manajemen kelompok ini meramalkan akan ada harapan meningkat lagi omsetnya, tapi "tak terlalu besar" dibanding 1976. Dan ini diharapkannya bisa tercapai walaupun tanpa bergantung banyak pada penjualan untuk pemerintah. Lagi pula daya saingnya, di banding perusahaan lainnya yang memajukan penawaran pada pemerintah, makin menurun. Misalnya, pada pemilu 1971 Astra memenangkan order pemerintah untuk mensuplai kendaraan. Untuk pemilu 1977 ini, daftar harga Bappenas telah "tidak menarik" bagi Astra. Jeep VW Safari, kabarnya, akan menggeser posisi Toyota. "Biar, (kita) beri kesempatan pada saingan lain", kata Dirut Astra dalam suatu pertemuan di ruang sidang. Nadanya seperti membujuk diri matanya melayang ke foto dirinya sedang salaman dengan Presiden Soeharto. Apakah ini pertanda pamor Astra menurun? Kalau dikaji hampir 100% bisnis Astra tahun 1976, di banding kini tinggal 8% dengan pemerintah, orang mungkin mendapat kesan bahwa 'mukjizat' berpindah ke pohon lain. Di bidang automotive/perakitan, Indonesia mengenal 20 lebih. Banyak di antaranya bukanlah saingan ringan bagi Astra. Tidak heran kenapa sekarang Astra repot sendiri, sedang bantuan ganti-rugi pemerintah kurang lancar, dalam soal pindah dari Priok ke Sunter II. Adpel Priok enggan bayar ganti-rugi kalau harus mengeluarkan uang kas pelabuhan. Departemen Keuangan baru prinsipnya saja sudah setuju bayar ganti-rugi. Sementara itu hati risau di Jl. ir. H. Juanda memikirkan uang tunai suatu pertimbangan utama kenapa Direksi Astra melepaskan saham kelompoknya dari Indo Commercial Bank belum lama berselang. Sebelum Peristiwa 15 Januari, koneksi pemerintah bukan soal berat bagi Astra bahkan membuat banyak pengusaha lain iri hati. Kemantapan koneksi itu pula kiranya menimbulkan salah baca orang ramai tentang Astra, yang disangka suatu akronim dari sejumlah nama tokoh penting dan berkuasa. Ketika Peristiwa 15 Januari, salah satu sasaran pembakaran ialah gedung Astra Motor yang baru dibangun dan belum lama dibuka dengan pesta meriah di Jl. Jend. Sudirman. Kaum demonstran jelas bernafsu merusak Toyota dan kendaraan buatan Jepang lainnya, tapi belum berarti mereka semua mengetahui Astra itu milik siapa. Jangan heran, sampai sekarang masih ada dugaan di sini bahwa Astra itu "antek Jepang". Memang periuk nasi utamanya bergantung pada Toyota, Daihatsu dan Honda, sekalipun Astra juga memasarkan produk Amerika, Jerman, Kanada, dan berpatungan dengan pihak Belanda membuat alat listrik. Adalah kelemahan Astra sendiri dalam memberikan gambaran dirinya pada publik. Sekarang ia bersikap "nada rendah" atau tidak mempromosikan diri, kuatir terulang pengalaman pahit seperti Peristiwa 15 Januari. Lampu neon Toyota di puncak Wisma Nusantara, misalnya, sekarang masih dibiarkannya mati. Tapi kini segi Jepang dalam kesan perusahaan bukanlah persoalan. Bagi Astra, tentu saja segi gambaran sebagai usaha non-pribumi yang perlu diperbaiki, terutama menjelang dibukanya Pasar Modal. Apakah Astra akan going public (menjual saham pada khalayak ramai) atau tidak? Seperti banyak perusahaan besar swasta lainnya, Astra cenderung "tunggu-dan lihat" dulu. Kelompok Astra (lihat box) pada dasarnya masih dikuasai oleh Tjia Brothers, yakni mereka yang semula bersama membentuk PT (kecil sekali) 20 tahun lalu. Tjia Kian Liong yang sekarang dikenal bernama William Soeryadjaya, bersama dua adiknya, KT Tjia (kini Presiden Komisaris Astra) dan Benyamin A. Soeryadjaya (si bungsu, kini Wakil Dirut), memulai PT mereka dcngan dagang hasil bumi. Dari tiga bersaudara itu, hanya KT Tjia yang bertahan dengan nama asli (tetapi dengan gaya Barat, nama keluarga di belakang). Apalah arti nama sesungguhnya. Walaupun tanpa atau dengan Tjia, mereka toh bisa meyakinkan sebagai warganegara yang setia pada Republik Indonesia. Kehadiran ir. Marseno Wirjosapoetro bekas Rektor ITS (Institut Teknologi Surabaya), dan Soetarto Sigit, bekas Dubes RI di Muangthai, dalam Direksi ingin memberi kesan bahwa pendiri Astra mengutamakan pilihan pada pekerja ahli dan trampil, bukan berdasarkan suku atau keturunan. Namun, Astra sedang menghadapi tantangan dalam pemindahan saham dari non-pribumi ke pnbumi, sesuai dengan tujuan pemerintah mendirikan Pasar Modal. Sebagai transisi, menurut PA Lapian yang menjabat sekretaris perusahaan, Astra bennaksud membagi surat obligasi (convertible bonds) pada para karyawan. Jika nanti sudah jelas betapa Pasar Modal itu, katanya "kami akan bangga" bila ada orang di berbagai pelosok Indonesia mengatakan. "saya adalah pemegallg saham Astra". Jadi, masih ada kesangsian terhadap Pasar Modal itu sendiri. Lapian mencerminkan banyak pendapat dan kalangan bisnis swasta nasional betapa mereka masih meraba-raba dalam hal ini. Pertanyaan yang hidup dari mereka ialah siapa menentukan harga saham, dan apakah semua perusahaan yang going public itu benar-benar wajib membukakan diri pada masyarakat. Kucing-kucingan dengan kantor pajak semestinya tidak boleh ada lagi. Dan Astra, berkata Lapian lagi, menyukai pembukuan yang terbuka. Bahkan sudah lama ia mempunyai keuangan yang di-audit oleh kantor Akuntan yang dipercaya bonafide. Preskom Tjia membanggakan diri bahwa berkat pembukuannya yang sehat, Astra dipercayai oleh dunia perlanhan. Ia tidak segan membeberkan dari mana saja Astra memperoleh kredit: AMEXCO, Citibank, Chase Manhattan, Bank of Tokyo, Bank of Montreal, First National Bank of Chicago, Union Bank of Hong Kong dan Eurasbank. Dari bank domestik: BNI-46, United City Bank dan Bali Bank. Sebagian besar diperoleh kredit dari bank asing (90%)", kata Tjia. Ini berarti Astra telah beruntung memperoleh dana luar negeri yang berbunga lebih rendah, dibanding kredit domestik. Kesulitan keuangan sekarang, menurut anggapan Direksi Astra, tidak sampai merusak kepercayaan perbankan selama pembukuan perusahaan sehat. Pokoknya, perusahaan ini harus bisa menunjukkan kemampuannya meningkatkan keuntungan, guna membayar kembali pinjaman bank. Untuk itu, tampaknya Direksi Astra sudah meniadakan rencana memperbesar diri secara horizontal. Akibat sampingan dari nafsu mau cepat berkembang, tampaknya rasa sakit sedang dirasakan. "Sekarang kami memasuki tahap konsolidasi", demikian Direksi Astra kini bersikap. Meskipun begitu, usaha patungan baru bernama PT Toyota Mobilindo akan tetap dipersiapkan kelompok Astra. Tujuan PT ini ialah membuat komponen kendaraan secara lokal, sesuai dengan peraturan baru pemerintah untuk industri perakitan. Pabrik komponen itu direncanakannya akan dibangun di Sunter I. Rencana perluasan di sini masih dalam bidang perakitan tadi -- periuk nasi utamanya yang selama ini tetap beruntung. Sementara itu Dirut William terus saja berkhotbah supaya "pohon yang rindang ini dipelihara". Yang menjadi soal sekarang: Adakah 'pohon Astra' itu masih akan sarat buahnya?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus