DI atas kantor pusatnya bersinar tanda waktu. Siapa saja yang
melintas di depannya, Jl. ir. H. Juanda, Jakarta Pusat, bahkan
para pejabat tinggi yang keluar dari Bina Graha menuju Jl.
Veteran pun akan gampang melihat angka bercahaya. Angka itu
menunjukkan pukul berapa sekarang. Detik demi detik jalannya
waktu diberitahukannya. Itulah jam PT Astra International Inc.
dijamin tepat.
Di dalam kantor pusat itu, direksi Astra biasanya dikejar waktu
terus-menerus, berusaha membuat perusahaan bertumbuh. Astra
memang sudah maju cepat secara luar biasa. Kini ia begitu besar,
hingga membentuk kelompok tersendiri, bagaikan - seperti
Direktur Utama William Soeryadjaya gemar menyebutnya - "pohon
rindang".
Oom Willem, demikian panggilan intim atas Dirut Astra itu,
seakan-akan seperti atlit yang mau memecahkan rekor selalu,
memperbaiki-kecepatan detik demi detik. Tetapi sekarang Astra
rupanya tengah melihat lampu kuning: peringatan supaya
berhati-hati. Sementara kalangan bisnis di ibukota RI ini bahkan
menganggap Astra sudah sukar bernapas karena hutangnya. Jam
Astra masih tepat, tapi jalan kelompok besar ini menghadapi para
bankir, asing maupun domestik, sudah ketinggalan waktu.
Tidak diketahui pasti berapa hutangnya. Negosiasi dengan para
kreditornya sudah dan sedang berlangsung. Timbul pertanyaan
apakah ini akan merepotkan Bank Indonesia lagi sesudah krisis
Pertamina. Astra, walaupun bukan perusahaan negara, adalah
majikan dari 10.000 karyawan dan posisinya di sektor swasta
nasional sangat menentukan.
Direksi Astra, ketika TEMPO bertanya, mengakui ada kesulitan
keuangan. Cukup serius kesulitan itu, yang pertama kali
dialaminya sejak masa pertumbuhan selama 10 tahun terakhir ini.
Dalam luncu bersama di ruang makan pimpinan Astra, Dirut selalu
kelihatan mengheningkan diri, sebelum dan sesudah bersantap.
"Sekarang doanya", kata seorang manajer, "lebih panjang". Dirut
yang dikenal taat pada agamanya (Protestan) tidak merasa
tersinggung. Dari omongannya, dia jelas mengharapkan bantuan
kekuatan Tuhan. "Mukjizat", katanya, "bukan saja terjadi di
zaman baheula . . . "
Proyek perumahan (real estate) di Kuningan, Jakarta Pusat,
rupanya salah satu penyebab demam-panas Astra. Bisnis perumahan
itu yang semula dimaksud untuk keperluan Pertamina, kini macet.
Ini adalah suatu akibat sampingan yang dialami Astra sesudah
Pertamina goncang. Majalah Asian Finance, tanpa menyebut
Kuningan, memberitakan tentang berantakannya suatu proyek real
estate dari lingkungan Astra. Presiden Komisaris KT Tjia
dikutipnya sebagai mengatakan, "a US$ 30 million miscalculation
(suatu kekeliruan 30 juta dollar Amerika)".
Kemacetan itu menimbulkan akibat berantai, antara lain dengan
Union Bank di Hong Kong, yang memberi Astra pinjaman.
Walaupun negosiasi mereka buat sementara berhasil, Astra tetap
ditagih supaya membayar bunga bank yang bukan sedikit jumlahnya.
Kalangan Astra menghitung lagi bahwa kemacetan Kuningan itu
sebenarnya meliputi 20 juta dollar yang, katanya pada TEMPO,
"bukan hilang sama sekali".
Juga berantai akibatnya karena PT Gaya Motor, anggota keluarga
Astra, harus memindahkan tempat perakitan dari Tg. Priok ke
Sunter II (Plumpang). Sudah 10 juta dollar terbenam karenanya,
sedang biaya pembangunan di Sunter II bisa mencapai 21 juta
dollar.
General Motor dulu, sebelum diambil alih pada zaman
konfrontasi, merakit di Priok itu. Selama masih bernama PN Gaya
Motor, usaha perakitannya tidak jalan. Maka pemerintah
menawarkan usaha patungan dengan PT Astra (60%) hingga lahir PT
Gaya Motor tahun 1969.
Inilah pangkal kemajuan Astra yang memungkinkan pula Toyota
merebut pasaran Indonesia. Semua itu berkat, sebagaimana William
suka bercerita pada banyak tamunya, adanya perubahan kurs BE.
Akibatnya, PT Astra mendadak memperoleh modal 7,5 juta dollar.
Asal mulanya Astra membuka LC dengan dana AID (BE kredit)
sebanyak 2,8 juta dollar tahun 1967 untuk mengimpor 800 unit
truk Chevrolet, tentu saja atas pesanan pemerintah Orde Baru.
Banyak truk diperlukan untuk proyek rehabilitasi jalan dan
irigasi. Kurs BE itu masih Rp 141 per dollar. Pesanan truk itu
tiha bertahap tahun 1968-69, sedang kurs BE melonjak ke Rp 378
hingga hasil penjualan Astra pun membubung tinggi.
Rezeki 'nomplok' ini, menurut William, langsung jadi modal
Astra untuk PT Gaya Motor, yang kemudian beranak pula jadi PT
Federal Motor (yang merakit sepeda-motor Honda). Dan akhirnya,
terus berkembang.
Rezeki semacam itu tidak mungkin datang lagi untuk membantunya
menghadapi kesulitan sekarang. Itu terjadi dulu, ketika hampir
100% bisnis Astra adalah dengan pemerintah. Kini bisnis itu
tinggal 8% saja. Namun Astra, entah bagaimana caranya, diketahui
sedang mengusahakan bantuan pemerintah. Selain kewalahan dengan
proyek Kuningan dan soal pindah dari Priok, Astra kini menempuh
pasang surut dengan sekurangkurangnya tiga anak perusahaannya.
Ketiga itu bergerak di bidang peralatan kantor seperti Xerox,
alat besar seperti Komatsu, Forklifts dan Timberjack dan alat
teknik pendingin seperti Westinghouse.
Ia terutama mandeg di bidang alat besar. Antara lain karena
adanya krisis minyak dan resesi ekonomi dunia. Tambahan pula
banyak perusahaan di bidang perkayuan yang mengurangi
kegiatannya. Di tahun 1974-75, misalnya, perusahaan-perusahaan
kayu dan konstruksi membatalkan pesanannya. Maka Astra mempunyai
kelebihan suplai yang tidak terjual, berupa traktor, bulldozer
dan alat besar lainnya seharga 30 juta dollar. Barulah belum
lama ini Astra bisa menatasi soal kclebihan stok itu.
Astra, seperti banyak perusahaan lainnya, telah terpukul juga
dengan adanya krisis Pertamina dalam pemasaran alat teknik
(Westinghouse) dan alat besar konstruksi. Pemasarannya menurun
sekali.
Periuk nasi utama Astra boleh dikatakan berkisar pada
kendaraan roda empat dan roda dua (Toyota, Daihatsu dan Honda).
Keuntungan dari pos itu ternyata cukup besar untuk bisa menutupi
kerugian di bidang lain. Walaupun ada beberapa anak
perusahaannya yang merugi, Astra cenderung bertahan. "Kalau
dijual", kata seorang manajer keuangannya, "nanti Oom Willem
nangis".
Meskipun suram, sebagai keseluruhan kelompok Astra masih bisa
mencapai omset Rp 110 milyar pada tahun 1976: hampir 40%
kenaikannya dari 1975 (lihat grafik). Pada tahun-tanun
berikutnya, manajemen kelompok ini meramalkan akan ada harapan
meningkat lagi omsetnya, tapi "tak terlalu besar" dibanding
1976. Dan ini diharapkannya bisa tercapai walaupun tanpa
bergantung banyak pada penjualan untuk pemerintah.
Lagi pula daya saingnya, di banding perusahaan lainnya yang
memajukan penawaran pada pemerintah, makin menurun. Misalnya,
pada pemilu 1971 Astra memenangkan order pemerintah untuk
mensuplai kendaraan. Untuk pemilu 1977 ini, daftar harga
Bappenas telah "tidak menarik" bagi Astra. Jeep VW Safari,
kabarnya, akan menggeser posisi Toyota. "Biar, (kita) beri
kesempatan pada saingan lain", kata Dirut Astra dalam suatu
pertemuan di ruang sidang.
Nadanya seperti membujuk diri matanya melayang ke foto dirinya
sedang salaman dengan Presiden Soeharto. Apakah ini pertanda
pamor Astra menurun?
Kalau dikaji hampir 100% bisnis Astra tahun 1976, di banding
kini tinggal 8% dengan pemerintah, orang mungkin mendapat kesan
bahwa 'mukjizat' berpindah ke pohon lain. Di bidang
automotive/perakitan, Indonesia mengenal 20 lebih. Banyak di
antaranya bukanlah saingan ringan bagi Astra.
Tidak heran kenapa sekarang Astra repot sendiri, sedang bantuan
ganti-rugi pemerintah kurang lancar, dalam soal pindah dari
Priok ke Sunter II. Adpel Priok enggan bayar ganti-rugi kalau
harus mengeluarkan uang kas pelabuhan. Departemen Keuangan baru
prinsipnya saja sudah setuju bayar ganti-rugi. Sementara itu
hati risau di Jl. ir. H. Juanda memikirkan uang tunai suatu
pertimbangan utama kenapa Direksi Astra melepaskan saham
kelompoknya dari Indo Commercial Bank belum lama berselang.
Sebelum Peristiwa 15 Januari, koneksi pemerintah bukan soal
berat bagi Astra bahkan membuat banyak pengusaha lain iri hati.
Kemantapan koneksi itu pula kiranya menimbulkan salah baca orang
ramai tentang Astra, yang disangka suatu akronim dari sejumlah
nama tokoh penting dan berkuasa.
Ketika Peristiwa 15 Januari, salah satu sasaran pembakaran ialah
gedung Astra Motor yang baru dibangun dan belum lama dibuka
dengan pesta meriah di Jl. Jend. Sudirman. Kaum demonstran jelas
bernafsu merusak Toyota dan kendaraan buatan Jepang lainnya,
tapi belum berarti mereka semua mengetahui Astra itu milik
siapa.
Jangan heran, sampai sekarang masih ada dugaan di sini bahwa
Astra itu "antek Jepang". Memang periuk nasi utamanya bergantung
pada Toyota, Daihatsu dan Honda, sekalipun Astra juga memasarkan
produk Amerika, Jerman, Kanada, dan berpatungan dengan pihak
Belanda membuat alat listrik.
Adalah kelemahan Astra sendiri dalam memberikan gambaran dirinya
pada publik. Sekarang ia bersikap "nada rendah" atau tidak
mempromosikan diri, kuatir terulang pengalaman pahit seperti
Peristiwa 15 Januari. Lampu neon Toyota di puncak Wisma
Nusantara, misalnya, sekarang masih dibiarkannya mati.
Tapi kini segi Jepang dalam kesan perusahaan bukanlah persoalan.
Bagi Astra, tentu saja segi gambaran sebagai usaha non-pribumi
yang perlu diperbaiki, terutama menjelang dibukanya Pasar Modal.
Apakah Astra akan going public (menjual saham pada khalayak
ramai) atau tidak? Seperti banyak perusahaan besar swasta
lainnya, Astra cenderung "tunggu-dan lihat" dulu.
Kelompok Astra (lihat box) pada dasarnya masih dikuasai oleh
Tjia Brothers, yakni mereka yang semula bersama membentuk PT
(kecil sekali) 20 tahun lalu. Tjia Kian Liong yang sekarang
dikenal bernama William Soeryadjaya, bersama dua adiknya, KT
Tjia (kini Presiden Komisaris Astra) dan Benyamin A. Soeryadjaya
(si bungsu, kini Wakil Dirut), memulai PT mereka dcngan dagang
hasil bumi. Dari tiga bersaudara itu, hanya KT Tjia yang
bertahan dengan nama asli (tetapi dengan gaya Barat, nama
keluarga di belakang).
Apalah arti nama sesungguhnya. Walaupun tanpa atau dengan Tjia,
mereka toh bisa meyakinkan sebagai warganegara yang setia pada
Republik Indonesia. Kehadiran ir. Marseno Wirjosapoetro bekas
Rektor ITS (Institut Teknologi Surabaya), dan Soetarto Sigit,
bekas Dubes RI di Muangthai, dalam Direksi ingin memberi kesan
bahwa pendiri Astra mengutamakan pilihan pada pekerja ahli dan
trampil, bukan berdasarkan suku atau keturunan. Namun, Astra
sedang menghadapi tantangan dalam pemindahan saham dari
non-pribumi ke pnbumi, sesuai dengan tujuan pemerintah
mendirikan Pasar Modal.
Sebagai transisi, menurut PA Lapian yang menjabat sekretaris
perusahaan, Astra bennaksud membagi surat obligasi (convertible
bonds) pada para karyawan. Jika nanti sudah jelas betapa Pasar
Modal itu, katanya "kami akan bangga" bila ada orang di berbagai
pelosok Indonesia mengatakan. "saya adalah pemegallg saham
Astra".
Jadi, masih ada kesangsian terhadap Pasar Modal itu sendiri.
Lapian mencerminkan banyak pendapat dan kalangan bisnis swasta
nasional betapa mereka masih meraba-raba dalam hal ini.
Pertanyaan yang hidup dari mereka ialah siapa menentukan harga
saham, dan apakah semua perusahaan yang going public itu
benar-benar wajib membukakan diri pada masyarakat.
Kucing-kucingan dengan kantor pajak semestinya tidak boleh ada
lagi. Dan Astra, berkata Lapian lagi, menyukai pembukuan yang
terbuka. Bahkan sudah lama ia mempunyai keuangan yang di-audit
oleh kantor Akuntan yang dipercaya bonafide.
Preskom Tjia membanggakan diri bahwa berkat pembukuannya yang
sehat, Astra dipercayai oleh dunia perlanhan. Ia tidak segan
membeberkan dari mana saja Astra memperoleh kredit: AMEXCO,
Citibank, Chase Manhattan, Bank of Tokyo, Bank of Montreal,
First National Bank of Chicago, Union Bank of Hong Kong dan
Eurasbank. Dari bank domestik: BNI-46, United City Bank dan
Bali Bank. Sebagian besar diperoleh kredit dari bank asing
(90%)", kata Tjia. Ini berarti Astra telah beruntung memperoleh
dana luar negeri yang berbunga lebih rendah, dibanding kredit
domestik.
Kesulitan keuangan sekarang, menurut anggapan Direksi Astra,
tidak sampai merusak kepercayaan perbankan selama pembukuan
perusahaan sehat. Pokoknya, perusahaan ini harus bisa
menunjukkan kemampuannya meningkatkan keuntungan, guna membayar
kembali pinjaman bank.
Untuk itu, tampaknya Direksi Astra sudah meniadakan rencana
memperbesar diri secara horizontal. Akibat sampingan dari nafsu
mau cepat berkembang, tampaknya rasa sakit sedang dirasakan.
"Sekarang kami memasuki tahap konsolidasi", demikian Direksi
Astra kini bersikap.
Meskipun begitu, usaha patungan baru bernama PT Toyota Mobilindo
akan tetap dipersiapkan kelompok Astra. Tujuan PT ini ialah
membuat komponen kendaraan secara lokal, sesuai dengan peraturan
baru pemerintah untuk industri perakitan. Pabrik komponen itu
direncanakannya akan dibangun di Sunter I. Rencana perluasan di
sini masih dalam bidang perakitan tadi -- periuk nasi utamanya
yang selama ini tetap beruntung.
Sementara itu Dirut William terus saja berkhotbah supaya "pohon
yang rindang ini dipelihara". Yang menjadi soal sekarang: Adakah
'pohon Astra' itu masih akan sarat buahnya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini