Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Garis Politik Bintang Sembilan

Nahdlatul Ulama adalah lahan yang diperebutkan.

2 Maret 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dengan massa terbesar di Indonesia, organisasi keagamaan itu dalam sejarahnya telah menjadi ladang sasaran pendulangan suara kontestan politik, termasuk dalam pemilihan presiden kali ini. Di tengah tensi tinggi persaingan kedua pasangan calon—Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno—tokoh-tokoh NU selayaknya memperhitungkan langkah mereka untuk menghindarkan perpecahan tajam di masyarakat.

Perebutan suara di kantong NU terlihat dalam berbagai bentuk: dari kunjungan “biasa” kedua pasangan calon ke pondok pesantren, pemberian sumbangan, hingga politisasi doa kiai-kiai berpengaruh. Joko Widodo telah memainkan kartu ini sejak awal ketika memilih Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden. Sang calon inkumben berharap bisa memainkan Ma’ruf dalam dua peran sekaligus: penangkal tudingan anti-Islam dari kelompok yang terafiliasi dengan “gerakan 212” serta menjadi magnet penarik suara kaum nahdliyin. Sebelum dipinang Jokowi, Ma’ruf adalah Rais Am NU.

Dalam perebutan kekuasaan ini, patut disayangkan elite NU mengambil langkah politik pragmatis. Ketika menyingkirkan Mahfud Md. untuk memuluskan jalan Ma’ruf dalam babak akhir bursa pencalonan wakil presiden Jokowi, Ketua Umum Pengurus Besar NU Said Aqil Siroj, yang berkolaborasi dengan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa Muhaimin Iskandar, bahkan melabeli mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu “bukan kader NU”. Said juga mengatakan NU akan meninggalkan Jokowi jika sang inkumben tidak memilih kadernya sebagai wakil presiden—pernyataan yang dikeluarkan untuk mengeliminasi Mahfud dari bursa.

Manuver Said dan sejumlah koleganya itu menempatkan NU bukan lagi sebagai organisasi keagamaan seperti dibayangkan Kiai Ahmad Siddiq, salah satu pelopor “pemulihan khitah NU” pada 1984. Menurut Siddiq, organisasinya lebih baik bekerja untuk memajukan masyarakat dan bukannya berusaha mendapatkan kekuasaan.

Kubu Prabowo dan pendukungnya tak kalah keras berusaha menarik dukungan tokoh-tokoh NU. Selain datang ke pondok-pondok pesantren, mereka menggalang sekelompok ulama agar menyerukan perlunya NU kembali ke khitah—satu hal yang bisa dipahami sebagai usaha untuk menetralisasi dukungan nahdliyin ke Jokowi. Terhadap terminologi khitah, dari bahasa Arab yang artinya garis, kemudian diterakan makna politik baru: kembali ke tengah dengan maksud agar suara lawan tergerus.

Secara historis “kembali ke khitah” sebetulnya merupakan strategi baik untuk menjaga agar NU tak terombang-ambing dalam pelbagai kepentingan politik. Menjadi partai pada awal kemerdekaan dan Orde Lama, NU pernah menyokong lahirnya Orde Baru pada 1965. Pada masa Soeharto, NU, Partai Syarikat Islam Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiyah, dan Parmusi berfusi menjadi Partai Persatuan Pembangunan. Baru pada 1984 NU memutuskan mundur dari politik praktis. Keputusan itu diambil politikus, cendekiawan, dan kaum ulama dalam muktamar di Situbondo, Jawa Timur. Abdurrahman Wahid, yang kemudian menjadi ketua umum pengurus besar, pada waktu itu menyatakan NU perlu masuk ke semua lingkungan. Dengan terpisah dari partai politik, NU justru bisa menambah bobotnya di panggung politik untuk meraih manfaat jangka panjang.

Sejak pemulihan khitah itu, para pengurus dilarang merangkap jabatan di partai politik. NU kemudian berusaha mengembangkan kiprahnya di bidang keagamaan melalui dua cara sekaligus, yaitu mendekatkan diri dengan penguasa politik dan melakukan reformasi cara berpikir kaum tradisionalis. Kegiatan mendekatkan diri dengan penguasa ini, demikian pernah disebut Andree Feillard, dilakukan agar NU tak sekadar menjadi “orang di pinggir jalan yang dimintai tolong mendorong mobil mogok kemudian merasa gembira bila mendapatkan ucapan terima kasih”. Adapun reformasi berpikir dilakukan kelompok-kelompok muda, yang ikut memperkuat pemikiran-pemikiran organisasi hingga kini. Dengan cara-cara itulah NU menjadi simbol moderasi Islam—peran yang amat penting terutama di tengah bangkitnya radikalisme dan konservatisme Islam belakangan ini.

Meski NU bukanlah organisasi yang homogen, peran mempromosikan moderasi Islam itulah yang sebaiknya diutamakan elitenya. Soliditas organisasi patut dijaga salah satunya dengan cara mencegah NU terlibat dalam persaingan dua kubu. Dalam hal ini, kiai memegang peran besar untuk tetap menjaga nahdliyin dari perpecahan. Sebab, suara kiai pada umumnya didengar dan menjadi rujukan para santrinya. Dengan begitu, NU akan tetap berada dalam khitahnya: tidak ke mana-mana, tapi ada di mana-mana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus