JIKA kekuasaan itu ibarat sebuah garmen, ada politik sebagai produksi dan ada politik sebagai pemasaran. Di Indonesia, politik dimulai pada suatu malam. Ada seorang yang bagaikan seorang desainer yang berambisi. Malam itu ia pun duduk di kursi goyangnya. Ia merancang untuk menghasilkan suatu yang spesifik: kedudukan di sini atau posisi di sana. Dan kemudian ia bekerja, sering dengan diamdiam. Politik di sini tak banyak bersentuhan dengan khalayak ramai. Bahkan sering tak diketahui masyarakat luas: seakan-akan garmen itu, kekuasaan itu, datang dari suatu ilham, atau dari suatu kekuatan yang inventif sematamata, di luar diri si empunya atau si pemakai. Politik hampir-hampir mirip sebuah proses laboratorium ataupun bengkel kerja. Atau olah kebatinan, untuk mendapatkan kesaktian. Di Amerika Serikat, sebaliknya, politik adalah sebuah pemasaran. Ia dimulai pada suatu pagi. Proses di sini dimulai setelah orang menyetel siaran televisi pukul 7.00, dan kemudian melangkah ke jalan raya -- dan membentuk sebuah pasar. Dengan kata lain, politik di sini bukanlah proses menghasilkan secara rapi sehelai garmen dari pikiran. Seluruh susah payah bersentuhan dengan riuh rendah khalayak ramai. Yang penting ialah bagaimana menjual -- dan kata "men jual", to sell, di Amerika Serikat bukanlah kata yang punya konotasi yang menyepelekan. Orang dengan enteng berbicara tentang "bagaimana menjual Bush", dan tidak merasa kurang ajar karena itu. Seorang yang mau berkuasa memang bagaikan ditenteng ke sana kemari, dijajakan, diiklankan, dikemas, dikomunikasikan. Seperti odol dan dodol. Dari sini mungkin terasa bahwa kekuasaan di Amerika Serikat adalah sesuatu yang lebih "murahan". Kekuasaan di Indonesia sebaliknya hampir mirip suatu kreasi adibusana: ia tak bisa diperbanyak. Setiap potongnya adalah unik. Ia sulit untuk dipakai orang lain. Tetapi itu tak berarti kekuasaan di Indonesia lebih mahal. Di sini setidaknya ongkos pemasaran bisa diringkas: cukup satu fashion show sekali atau dua kali, yang dikunjungi para calon pemakai alias pemilik yang sudah merupakan suatu komunitas kecil yang khusus. Tak perlu ada survei pemasaran. Tak perlu ada pol pendapat. Biaya beriklan dan memasang billboard bisa diabaikan. Tak usah ada brang-breng-brong: semuanya necis, terencana, dingin, dan sssttttt.... Kekuasaan di Indonesia sebab itu sering tampak seperti sebuah misteri. Kekuasaan di Amerika Serikat punya aura yang lain: memikat, mempesona, tetapi tetap sesuatu yang familiar, yang tak mustahil untuk dijangkau -- sebagaimana banyak barang yang mahal tetapi tetap ditawarkan, ke sana kemari, dengan pelbagai bentuk kemasan. Tak mengherankan apabila sering kali kekuasaan itu tampak sebagai sesuatu yang tak koheren. Ia barangkali memang mengandung kontradiksi. Ia terpusat pada tokoh-tokoh, tetapi sebenarnya tokoh-tokoh itu merupakan produk kompromi pelbagai pihak, yang kadang berubah. Ia mengesankan sebagai pusat kemampuan yang besar untuk mengubah atau mempertahankan suatu keadaan, tetapi sebenarnya ia terbatas oleh kekuasaan lain dan amat tergantung kepada suasana sewaktu-waktu. Ia tampak sebagai sesuatu yang mencerminkan suara orang banyak, tetapi sering kali ia bekerja berdasarkan mekanisme beberapa lobby yang mendesakkan kepentingan kelompok yang terbatas. Di tingkat nasional, di Washington DC, kekuasaan itu seakan-akan merepresentasikan seluruh republik, tapi acap kali lebih merupakan wakil dari hanya sekelompok pemilih lokal. Dalam politik sebagai sebuah pemasaran, yang pokok kemudian memang bukan lagi koherensi dari si pemegang kekuasaan, melainkan bagaimana ia merespon khalayak ramai. "Konsumen" cenderung menggantikan "warga negara". Barangkali ini bisa menjelaskan kenapa kesetiaan-kesetiaan yang dulu ada kepada suatu polis, suatu negeri, suatu negara bangsa sedang bergeser. Ada seorang ahli geografi Italia, Giuseppe Sacco, yang mensinyalir terjadinya "medievalisasi" tempat-tempat: kembalinya kota-kota, juga di Amerika Serikat, ke suasana Abad Tengah. Serangkaian kelompok minoritas yang menampik integrasi membentuk klanklan, dan tiap klan membentuk wilayah sendiri. Yang miskin hidup di ghetto, yang kaya ke tempat yang punya kebun nyaman dan shopping malls tersendiri. Di antara mereka ada barikade. Politik tak mencoba menjembatani barikade ini, melainkan hanya menjual satu hal yang sama dengan kemasan yang berbeda. Tetapi apa pun ibaratnya -- politik sebagai produksi ataupun politik sebagai pemasaran -- pada akhirnya kita, yang berada di jalan dan pasar ramai, tak akan banyak tahu: di balik kekuasaan itu ada apa, ada siapa. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini