Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Nia Di Tengah Dua Ayah

Bayi siti amuniawati rahayu sampai usia 6 bulan masih berada di RS Santa Maria, pemalang, karena diperebutkan oleh dua orang yang mengaku ayahnya. Bayi tersebut menjadi ahli waris ibunya.

7 November 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BAYI gemuk lincah itu bernama Siti Amuniawati Rahayu. Sampai usia enam bulan, ia masih tergeletak di Rumah Sakit Santa Maria, Pemalang, Jawa Tengah. Nia, demikian nama panggilannya, masih menjadi rebutan beberapa pihak yang mengaku sebagai orang tuanya. Ini ekor musibah yang terjadi di Dusun Siglagah, Desa Jatirejo, Pemalang, April silam. Ketika itu, sebuah truk milik PT Pupuk Kujang, yang mengangkut 400 kg gas amoniak, terperosok di muka rumah penduduk dan menyemburkan gas amoniak. Ibu Nia, Damah, adalah salah satu korban yang tewas karena kecelakaan itu. Tetapi Nia, yang saat itu berusia empat hari, selamat. Nia kemudian menjadi "bayi mahal". Ia ahli waris santunan kematian ibunya, dan juga sejumlah harta yang ditinggalkan sang ibu. Barangkali karena harta ini, tidak mudah menentukan siapa yang berhak atas bayi berusia enam bulan ini, dan sekaligus warisan yang menjadi haknya. Dua pria mengaku sebagai ayah Nia. Sodikin, sopir truk asal Desa Jatirejo, mengaku mengawini Damah tahun 1977. Dan, "Nia anak sah kami," katanya. Tapi Suratman, pegawai proyek bangunan asal Tegalsari, Kabupaten Batang, menyatakan, "Nia hasil hubungan saya dengan Damah." Orang tua Damah, pasangan Duljabar, membenarkan Suratman. Mereka menjelaskan bahwa perkawinan Sodikin dan Damah sudah berantakan. Selain cekcok terus, Sodikin tak pernah mengurus Damah selama mengandung. "Anak ini memang hasil hubungan gelap Damah dengan Suratman," ujar Duljabar. Suratman maupun pasangan Duljabar berupaya memperoleh Nia kembali agar mereka bisa mengasuhnya. "Saya yakin, Sodikin tidak akan mau dan mampu mengasuh Nia dengan baik," kata Duljabar. Tapi upaya itu tidak mudah. Sodikin, walau pernah pisah, berstatus suami Damah yang sah. Karena itu, sesuai dengan permintaan Sodikin, Kepala Desa Jatirejo mengeluarkan akta kelahiran yang mengesahkan Nia sebagai anak perkawinan Damah dan Sodikin. Namun, atas protes keluarga Duljabar, Bupati Pemalang Soewartono membatalkan akta kelahiran Nia itu. Karena ahli waris belum bisa ditetapkan, perusahaan asuransi PT Jasa Raharja menitipkan uang santunan Rp 4 juta kepada Bupati Pemalang. Uang ini ditabanaskan Bupati, dan akan diserahkan bila sudah ada kepastian siapa orang tua Nia. Selain itu, masih ada sekitar Rp 10 juta yang terdiri dari santunan PT Pupuk Kujang, sumbangan Pemda, serta simpanan Damah berupa uang dan perhiasan emas permata. Ini pun disimpan Bupati Pemalang di bank. Di samping itu, Damah memiliki beberapa petak sawah dan rumah berukuran 7 X 10 meter. Surat-suratnya kini disimpan Pemda Pemalang dan Polsek Ampelgading. Setelah akta kelahiran Nia dibatalkan, Sodikin memohon Pengadilan Agama Pemalang mengesahkan Nia sebagai anaknya dari hasil perkawinannya dengan Damah. Permohonan ini dikabulkan, September lalu. Syamsul Falah, Ketua Pengadilan Agama Pemalang, berpendapat bahwa Sodikin memang suami Damah yang resmi. Karena, "Sodikin dapat menunjukkan surat nikah asli," katanya. Tapi Falah mengakui, pihaknya memang tidak melakukan pemeriksaan secara biologis terhadap bayi tersebut maupun Sodikin. Dosen IAIN, Nourouzzaman, dan Direktur LBH Semarang, Puspo Adjie, yang ditanyai pendapatnya, sependapat dengan Syamsul Falah. Nia, menurut mereka, anak sah Sodikin. Kedua ahli hukum itu menyebutkan bahwa surat nikah memang kuat sebagai bukti resmi yang sah. Namun, sampai kini Sodikin belum menguasai Nia. Pihak RS Santa Maria belum mengizinkan sang ayah menengok Nia. "Untuk melindungi keselamatannya saja," ujar Suster Maria, yang sampai kini memelihara Nia. Sementara itu, Bupati Pemalang Soewartono belum mau menanggapi pengesahan Pengadilan Agama Pemalang. "Sampai sekarang Sodikin belum mengajukan surat permohonan merawat anak tersebut dengan melampirkan bukti-bukti sah," katanya. Leila S. Chudori, Indrawan (Jakarta), Bandelan Amarudin (Yogyakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus