Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepolisian seharusnya tidak menggunakan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat artis Vanessa Angel dalam kasus prostitusi online. Pemakaian delik penyebaran konten asusila ini melenceng jauh dari urusan prostitusi. Penegak hukum semestinya menyetop penerapan pasal yang lentur, multitafsir, dan rawan disalahgunakan.
Vanessa, yang digerebek di Surabaya pada awal Januari lalu, mula-mula dituduh terlibat dalam prostitusi online. Kalaupun tuduhan ini benar, hanya muncikari atau penyelenggara prostitusi yang bisa dijerat secara hukum. Nah, belakangan, polisi menyatakan Vanessa menabrak Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang ITE, yang melarang penyebaran konten elektronik yang melanggar kesusilaan.
Polisi menuduh Vanessa kerap mengirimkan foto dan video tidak senonoh kepada orang yang diduga sebagai muncikari melalui telepon seluler. Orang itu lalu menyebarkannya ke pelanggan. Tuduhan ini tampak mengada-ada karena penyebaran foto ke publik baru terungkap justru setelah Vanessa ditangkap. Tindakan polisi juga berlebihan karena mengumbar drama penangkapan Vanessa di sebuah hotel di Surabaya. Sang artis sudah menjadi bulan-bulanan masyarakat ketika kasus yang menjeratnya masih kabur.
Penggunaan delik asusila dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE terkesan dipaksakan. Vanessa dituduh “dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan atau mentransmisikan atau membuat dapat diaksesnya konten asusila”. Aturan ini termasuk yang telah diperjelas dalam revisi undang-undang tersebut pada 2016, tapi tetap saja rawan diselewengkan.
Dalam revisi itu ditambahkan definisi “mentransmisikan”, yang berarti mengirimkan konten kepada satu pihak. Adapun istilah “mendistribusikan” adalah mengirimkan konten kepada banyak pihak. Penjelasan ini kurang penting karena kata kuncinya adalah “menyebarkan tanpa hak”. Pertanyaan yang muncul: apakah Vanessa bisa disebut mentransmisikan “tanpa hak” jika ia mengirimkan foto tubuh sendiri kepada orang dekatnya?
Pelanggaran asusila semestinya baru terjadi ketika seseorang menyebarkan foto asusila dirinya atau orang lain ke khalayak ramai secara langsung. Penegak hukum seharusnya menelaah secara jernih bahwa tujuan larangan penyebaran konten tak senonoh bukan untuk mengontrol perilaku warga negara, melainkan melindungi masyarakat luas, termasuk anak-anak, dari kon-ten asusila.
Kasus Vanessa menambah panjang daftar korban pasal asusila dalam Undang-Undang ITE. Sebelumnya, Baiq Nuril Maknun, mantan pegawai honorer Sekolah Menengah Atas Negeri 7 Mataram, Nusa Tenggara Barat, dijerat dengan pasal yang sama. Karena kerap menerima perundungan seksual via telepon dari atasannya, ia berinisiatif merekamnya. Rekaman itu kemudian disebar oleh rekan kerjanya. Akhirnya, Nuril justru diseret ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Adapun atasannya, Muslim, yang diduga melakukan perundungan seksual, malah tidak tersentuh hukum.
Larangan penyebaran konten asusila sama lenturnya dengan pasal ujaran kebencian dalam undang-undang yang sama. Masyarakat sudah beberapa kali mengajukan permohonan uji materi pasal-pasal karet ini ke Mahkamah Konstitusi, tapi selalu ditolak. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat semestinya segera merevisi lagi Undang-Undang ITE. Jika tidak bisa membuat rumusan yang lebih lugas, penyelenggara negara sebaiknya menghapus pasal-pasal yang lentur itu agar tidak terus-menerus memakan korban.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo