Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kolom

Oknum

Asep Rahmat Hidayat*

16 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lagi-lagi oknum menjadi pelaku kejahatan. Ada oknum polisi menganiaya emak-emak. Ada oknum pendukung klub sepak bola menganiaya pendukung klub sepak bola lain. Kita tidak dapat memastikan sejak kapan konotasi negatif melekat pada kata oknum. Namun setidaknya kita masih bisa menelusuri perkembangan penggunaan kata oknum.

Konon, penggunaan kata oknum merupakan eufemisme yang populer pada zaman Orde Baru. Tentu bukan pada masa itu saja konotasi negatif ini muncul. Sebelumnya, Presiden Sukarno juga pernah mengatakan “oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab” sebagai salah satu sebab terjadinya peristiwa G-30-S.

Dalam penelusuran korpus Melayu lama, kata oknum tidak tersua. Namun Wilkinson, dalam A Malay-English Dictionary (1901), mencatat kata iknum dengan keterangan: Arab, Person of the Holy Trinity. Dari sini kita beroleh informasi etimologis kata oknum, maka pantaslah jika korpus berbahasa Arab ditelusuri juga.

Kasyaf Istilahat Alfunun Walulum (1777) mencatat bahwa uqnum bermakna sama dengan person dalam bahasa Inggris dan personne (de la trinite) dalam bahasa Prancis, yang merujuk pada tiga sifat Tuhan, yaitu ilmu, wujud, dan hayat. Wujud dinyatakan dengan keberadaan Bapa, hayat dengan Ruhulkudus, dan ilmu dengan firman (kalimat) yang menyatu dengan Isa. Sedangkan Almu’jam Alwasith (1998) mencatat uqnum sebagai bentuk tunggal dari aqanim, yang berarti “esensi, orang, asal, yang dalam Kristen merujuk pada trinitas kudus”. Mu’jam Allugah Alarabiyyah Almuashirah (2003) mencatat uqnum bermakna “esensi, asal; rukun dari rukun-rukun trinitas dalam Kristen, yaitu Bapa, Anak, dan Ruhulkudus”.

Dari korpus tersebut, kata oknum memang dimaknai “orang atau esensi” yang umumnya berkonteks teologi Kristen. Jadi catatan Wilkinson tidak bertelingkah dengan makna asalnya dalam bahasa Arab. Untuk merujuk makna individu atau perseorangan, pada masa lampau lazim digunakan kata sakhsi, bukan oknum, seperti dicatat juga oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI).

Sebagai pembanding, dari sebelas Injil berbahasa Indonesia atau Melayu pada 1733-1985, hanya Alkitab Bahasa Indonesia Sehari-hari (1985) yang memuat kata oknum, yaitu “sebab tanpa kita sadari, ada oknum-oknum tertentu yang menyelusup”. Silakan bandingkan dengan petikan yang sama dari Injil terjemahan Leydekker (1733): “karana barang ‘awrang sudah masokh ter`andap2”. Dalam konteks itu, terjemahan 1985 menggunakan kata oknum, sedangkan terjemahan 1733 menggunakan kata orang. Tentu saja ini mencerminkan “suasana kebahasaan” saat kedua penerjemahan itu dilakukan.

Oknum merupakan padanan untuk hypostasis, dari bahasa Yunani, yang bermakna “person, substance, subject, subsistence”, dari akar hypistemi (stand under, support, stand off or down from)—Encyclopedia of Early Christianity. Maknanya persis dengan orang (sakhsi), esensi (jauhar), dan asal (ushul) dalam korpus Arab itu.

Istilah hypostasis dalam konteks kristologi dimulai penggunaannya oleh Apollinaris dari Laodikia (375). Istilah ini muncul dalam penyiaran-penyiaran Kristen, tapi mungkin tidak muncul dalam Injil. Wajar juga jika kata oknum itu hanya muncul dalam satu terjemahan Injil. Itu pun untuk konteks yang berbeda.

Sekarang mari beralih pada catatan kamus lain. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia (1952) mencatat oknum sebagai “penyebut diri; pribadi KR; orang seorang” dan keoknuman sebagai “kepribadian”. Sedangkan dalam Kamus Moderen Bahasa Indonesia (1954), Zain tidak mencatat kata oknum, tapi setelah kamus itu dikembangkan menjadi Kamus Umum Bahasa Indonesia (1994), kata oknum dicatat dengan keterangan: “(Ar) 1 diri; 2 seorang, seseorang; 3 orang yang tidak baik; dipandang tidak baik”. Adapun KBBI edisi pertama (1988) mencatat oknum sebagai “penyebut diri dalam agama Katolik; pribadi; orang seorang; perseorangan; dan orang atau anasir (dng arti yg kurang baik)”.

Dari perkembangan itu, anggapan bahwa pemaknaan negatif kata oknum populer pada masa Orde Baru sangat wajar. Setidaknya dapat diasumsikan pemaknaan ini makin masif pada masa itu. Dalam satu korpus berbahasa Indonesia, dari 47 konteks, kata oknum berkolokasi dengan TNI (9,4 persen), polisi (6,3 persen), kepala sekolah (4,2 persen), dan wartawan (2,1 persen), sementara sisanya tidak menyebut institusi atau profesi. Sedangkan dalam korpus lain, kata oknum berkolokasi dengan kata “anggota”, PNS, aparat, pejabat, TNI, dan polisi.

Dalam korpus, kata oknum yang semula berkolokasi dengan institusi pemerintah berkembang ke institusi dan profesi lain. Yang menakutkan, masifnya penggunaan kata itu menyiratkan adanya keterbelahan dalam pikiran dan praktik sosial kita. Tersirat juga ada sikap menyerah: sebaik apa pun sistem yang kita bangun, selalu ada oknum untuk mencurangi sistem itu buat berbagai kepentingan!

*) Peneliti di Balai Bahasa Jawa Barat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus