Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gilead, sebuah neraka bagi mereka yang percaya pada kebebasan dan kemanusiaan. Inilah sebuah jagat yang pada masa lalu dikenal sebagai bagian dari AS. Kawasan New England, AS menjelma menjadi Gilead melalui sebuah ‘revolusi’ di mana perempuan diperlakukan sebagai ternak penghasil keturunan; dipaksa berseragam; dilarang membaca; dilarang memperoleh pendidikan apalagi bersuara dan beropini dan kehidupan sehari-harinya dibatasi oleh polisi rahasia yang disebut “Eye”.
Sastrawan Margaret Atwood menciptakan jagat dystopian ini dalam novel yang terbit tahun 1985 lalu. Novel ini, bagi saya, melebihi kekuatan novel ‘1984’ karya George Orwell; sebuah novel yang seolah menjadi sebuah ‘ramalan’ tentang sebuah masyarakat yang perlahan-lahan tercerabut dari kemanusiaannya dengan menggunakan agama sebagai justifikasi.
Gilead, masyarakat baru ini dipimpin oleh serangkaian komandan berdasarkan penafsiran kitab yang sangat harafiah dan ekstrim sebagai justifikasi menyelenggarakan pemerintahan. Gilead terbangun di atas tanah yang penuh darah. Para pemimpin dan komandan seolah menarik masyarakatnya kembali ke abad kegelapan.
Justifikasi yang digunakan para Komandan— demikian nama dewan pimpinan Gilead--adalah karena di ‘masa modern’ angka fertilitas yang jatuh mendekati nol dan polusi udara yang semakin memburuk akibat keserakahan kapitalisme. Itu dua dari sekian alasan bagi kaum konservatif untuk mengambil alih pemerintahan. Perang saudara antar kaum konservatif dan liberal dimenangkan oleh kaum konservatif ini adalah sebuah kenyataan yang dihadapi berbagai negara masa kini.
Perubahan pertama yang terjadi adalah pembersihan kaum cendekia, homoseksual, pemimpin agama dan pemberontak. Para perempuan secara brutal ditundukkan dengan undang-undang yang tak mengijinkan perempuan memiliki atau memperoleh tanah, properti, uang, dan pendidikan.
Pada episode-episode awal kita akan berkenalan dengan sebuah sistem kelas yang memperlihatkan betapa masyarakat baru ini bukan hanya sekedar opresif dan militeristik, tetapi sudah mencapai pada ekstrimitas yang mengerikan. Para perempuan kelas atas –yang rata-rata sudah mandul—adalah isteri para komandan yang harus mengenakan seragam biru, bertugas mengurus rumah tangga. Merekapun sama opresifnya seperti para Komandan.
Sementara, para perempuan yang masih subur dinamakan Handmaiden yang ‘dipekerjakan’ pada salah satu rumah tangga pasangan Komandan dan isterinya. Para handmaiden mengenakan baju merah dengan topi besar putih yang membuat mereka hanya boleh menatap lurus ke depan atau menunduk. Setiap bulan pada saat subur, Komandan akan memperkosa handmaiden –adegan yang paling nyeri, karena perkosaan itu terjadi dengan bantuan sang isteri. Sang isteri duduk memegangi handmaiden dengan dua kaki melebar dan sang suami memperkosa sang ‘mesin penghasil anak’.
Para guru atau trainer disebut “aunt” atau bibik; sedangkan para tukang masak disebut “Martha”. Mereka semua mengalami opresi dari atasannya dan pada gilirannya setiap kelas menginjak kelas di bawahnya. Semua digambarkan dengan dingin dan mengerikan hingga menyentuh syaraf. Perlawanan? Tentu saja ada. Tetapi mereka yang berani yang melawan bukan hanya sekedar disetrum atau disabet atau diculik para polisi rahasia, tetapi bisa saja matanya dicungkil atau salah satu tangan dipotong. Paling parah jika dibuang ke Koloni, tempat golongan paling rendah diasingkan.
Di dalam negara terror ini kita berkenalan dengan June Osborne (Elizabeth Moss) yang pada masa lalu sudah mempunyai suami dan anak. Di masa Gilead, June diculik dan dipaksa menjadi obyek perkosaan bulanan Komandan Fred Waterford (Joseph Fiennes) dengan bantuan sang isteri Serena Joy (Yvonne Strahovski). Nama June berubah menjadi Offred (sesuai dengan nama Komandan tempat June ‘bekerja’).
Satu-satunya kebebasan yang dimiliki June adalah pikirannya. Melalui voice-over, kita mengikuti bagaimana perasaan June sesungguhnya; bagaimana dia mencoba sebisanya tidak melanggar peraturan yang begitu ketat tetapi sesekali masih berbincang sebisanya –sembari memendam perasaan—pada Nick Blaine (Max Minghella) supir Komandan Waterford.
Kita diperkenalkan pada keseharian para handsmaid, yakni berbelanja ke sebuah pasar besar yang sama sekali tak menyajikan tulisan teks atau harga barang, melainkan hanya gambar. Ini adalah salah satu upaya agar perempuan tak perlu membaca. Pada acara belanja inilah para handsmaid akan saling bertemu dan mencoba diam-diam saling bertukar informasi.
Salah satu kawan June adalah Ofglen (Alexis Bledel) yang di masa lalu bernama Emily, seorang perempuan yang sudah menikah dengan perempuan lain. “Sebetulnya saya akan dihukum mati,” kata Emily/Ofglen kepada June, “tetapi karena saya masih subur, mereka tetap menggunakan saya,” katanya sembari mengajak June untuk bergabung dalam sebuah perkumpulan perlawanan di bawah tanah bernama Mayday.
Serial ini bukan hanya tegang, menakutkan, mengerikan tetapi mengirim rasa khawatir dan sakit karena begitu banyak kejadian yang sebetulnya fiktif tapi terasa nyata. Bahwa perempuan dianggap sebagai mesin industri keturunan belaka dan segala gerak geriknya dibatasi hingga pendidikanpun dijauhkan darinya adalah hal-hal yang memang terjadi di belahan bumi lain. Bahwa orientasi seksual dianggap sebagai “gender betray” (pengkhianatan gender) dan mendapatkan ancaman hukum mati. Ini sesuatu yang sudah terjadi di negara-negara Barat di awal abad 20, misalnya aktivis Roger Casement yang dihukum gantung karena ‘berkhianat’ kepada kerajaan Inggris dan belakangan diketahui orientasi seksualnya. Di Indonesia, masyarakat dan negara sudah mulai terlihat sikapnya terhadap homoseksual.
Di dalam serial ini, cinta nyaris tak ditampilkan kecuali dalam bentuk kilas balik ketika Gilead masih berbentuk Amerika yang “wajar” dan kita kenal. Kalaupun terjadi hubungan seks berdasarkan rasa suka, sudah pasti itu terjadi secara diam-diam, penuh rasa takut sekaligus menjadi katarsis.
Elizabeth Moss dan Alexis Bledel menampilkan seni akting yang luar biasa, dan keduanya diberi ganjaran piala Emmy tahun lalu. Ann Dowd sebagai Bibik Lydia adalah sosok yang sangat kompleks dan ditampilkan dengan luar biasa. Bibik Lidya adalah perempuan yang keji dan mengerikan pada saat suaranya menggelegar memberikan aba-aba serta memberi hukuman, tetapi pada saat lain dia bisa jatuh kasihan pada salah satu Handsmaid asuhannya. Dia percaya, Gilead adalah sistem kenegaraan yang tepat dan baik, dan dia adalah ujung tombak yang akan selalu mendukung kekejian demi ‘kebaikan’ itu.
Elizabeth Moss dan juga Bruce Miller sebagai kreator serial ini berhasil memenangkan Golden Globe Award untuk kategori Drama yang baru saja diumumkan dan mereka memang sangat pantas memperolehnya.
The Handmaid’s Tale mungkin sebuah kisah fantasi. Tetapi jangan terkejut jika inilah kisah fiktif yang paling nyata yang sebetulnya perlahan tengah menggerayang ingin menguasai kehidupan kita. Margaret Atwood sebagai penulis novel (dan konsultan produksi serial ini), menurut saya adalah ‘peramal’ yang sungguh tajam.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
THE HANDMAID’S TALE
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kreator : Bruce Miller
Berdasarkan novel karya Margaret Atwood dengan judul yang sama
Pemain : Elisabeth Moss, Joseph Fiennes, Alexis Bleidel, Max Minghella
LEILA S. CHUDORI