Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama besar kadang mendatangkan masalah besar. Itu terjadi pada Universitas Bung Karno, yang kini terletak di Jalan Pegangsaan Timur dan Jalan Kimia, Jakarta Pusat. Dalam rubrik Nasional edisi 29 Oktober 1983, majalah Tempo menuliskan awal berdirinya lembaga pendidikan ini yang mendapat batu sandungan dari penguasa.
Pada pertengahan Oktober tahun itu, kampus utama Universitas Bung Karno—waktu itu di Jalan Bukit Duri Tanjakan, Jakarta Selatan—dijaga polisi. Semua kegiatan administratif disetop. Kampus ditutup untuk siapa pun, termasuk empat ribuan mahasiswa yang telah terdaftar di kampus baru itu. Sejumlah mahasiswa yang mencoba masuk kampus tak bisa menembus petugas bersenjata yang angker.
Tanda-tanda tak lancarnya universitas yang didirikan Yayasan Pendidikan Soekarno ini tercium sebulan sebelumnya. Tes masuk bagi calon mahasiswa di Balai Sidang Senayan batal karena tidak ada izin dari Kodak Metro Jaya, pun ketika akan diselenggarakan di kampus. Rachmawati Soekarno, waktu itu 33 tahun, Ketua Umum YPS, akhirnya memutuskan lebih dari 4.000 calon mahasiswa itu semuanya diterima.
Lalu datanglah pukulan terakhir. Surat Kopertis Wilayah III DKI Jakarta menyatakan Universitas Bung Karno tidak memenuhi persyaratan teknis, administratif, akademis, serta asas dan tujuan suatu lembaga pendidikan tinggi. Maka, di dua kampus di gedung Perguruan Rakyat di Jalan Jenderal Sudirman dan di Bukit Duri, muncul pengumuman semua kegiatan UBK ditunda.
Sebenarnya, menurut Rachmawati kepada Tempo, YPS telah melengkapi semua persyaratan. Antara lain tersedianya gedung untuk kuliah sekurang-kurangnya selama 10 tahun, kurikulum, dosen, dan tenaga administrasi. "Jadi, mengapa tak diberi izin?" katanya. UBK punya lima fakultas dengan sembilan jurusan.
Rupanya, yang mengganjal adalah pemakaian nama Bung Karno, proklamator kemerdekaan. Menurut Rachmawati, ia sudah berkirim surat kepada Presiden Soeharto untuk meminta izin memakai nama Bung Karno bagi universitas baru itu. Tapi izin yang ditunggu belum juga turun.
Sementara itu, terbetik kabar bahwa beberapa anggota dewan kurator UBK mundur. Antara lain Mr Soenario, Mayor Jenderal (Purnawirawan) Achmadi, dan Manai Sophiaan. Soenario, yang diangkat sebagai rektor pertama UBK, mengatakan, "Saya tidak tahu apa-apa di luar urusan akademisnya." Mantan Menteri Luar Negeri ini beralasan mundur karena yayasan selama ini kurang berkomunikasi dengannya. Ia percaya saja kepada Rachmawati, yang bilang bahwa semuanya sudah lancar.
Menurut YPS, pengganti Soenario sudah ada, yaitu Dr Soeharto, bekas dokter keluarga presiden pertama RI, pemilik Apotek Titi Murni. "Saya cuma dihubungi untuk membantu UBK yang sedang dalam kesulitan," kata sang dokter, yang ketika itu berusia 71 tahun. Dia membantu melengkapi rancangan statuta dan kurikulum. Soeharto pun menyarankan kepada Rachma, "Bila nama yang jadi persoalan, kalau perlu ganti nama saja."
Yang janggal ialah tindakan Kores 704 Jakarta Selatan. Konon, polisi bertindak berdasar surat Kopertis yang tidak mengizinkan UBK melakukan kegiatan akademis. Padahal, menurut harian Sinar Harapan, di wilayah Kopertis III ketika itu ada 12 perguruan tinggi yang juga tidak diizinkan beroperasi. Nah, semuanya masih aman menjalankan kegiatan akademis, tanpa gangguan apa pun.
Kini, bila kita tengok situs Universitas Bung Karno, di situ dinyatakan baru 16 tahun kemudian pemerintah mengizinkan dan menyetujui semua ajaran Bung Karno disampaikan kepada mahasiswa. Ini setahun setelah tumbangnya rezim Orde Baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo