SEORANG guru bisa punya jejak yang pantang. Harmtu, diruang kuliah kami yang tua, datang seorang dosen muda yang mengajar kami satu bagian dari psikologi perkembangan. Dia kurus, pakaiannya putih-putih, tapi lebih penting lagi: kalimat-kalimatnya rmgan sepertl tubuhnya dan terang seperti bajunya. Ia mengutip Nietszche dan lain-lain tapi mahasiswa-mahasiswa mengerti. 20 tahun kemudian, saya, salah satu mahasiswa yang hadir, masih ingat beberapa bagian kuliahnya, meskipun saya tak mencatat sepatah kata pun di buku saya. Dosen kurus berpakaian putih-putih itu bernama Fuad Hassan. Kini ia menteri pendidikan dan kebudayaan. Saya tak tahu bagaimana kelak ia akan dikenang sebagai seorang menteri dalam sejarah, tapi ia akan tetap saya ingat sebagai seorang guru dari jenis yang punya jejak panjang. Guru jenis ini bisa menggugah minat. Ia bisa merangsang keasyikan menalar, hingga kita pun jadi tekun menggunakan kapasitas pemikiran kita untuk memecahkan soal. Ia menghidupkan generator dalam diri kita untuk menjelajahi cakrawala pengetahuan - dan menjelajahi cakrawala adalah proses yang tak habis-habisnya. Karena itu, jejaknya panjang. Sayang, tak semua guru seperti Fuad Hassan. Saya ingat bagaimana dosen ilmu embrio mengajar kami, di sebuah lab di fakultas kedokteran, di antara mikroskop-mikroskop yang bongkok: ia mendikte tak putus-putusnya, atau memberi diktat, dan sampai kuliah selesai saya tetap belum mengerti apa yang dikatakan di sana. Untuk tiap tentamen, yang saya lakukan cuma menghafal. Tapi kita semua tahu: menghafal hanyalah latihan ketekunan dan stamina tak ada hubungannya dengan pemahaman - sebab kita toh bisa menghafal doa tanpa memahami isinya. Menghafal adalah cara yang susah payah untuk mengoleksi informasi. Tapi dalam proses Itu sesungguhnya kita tak dilatih menggunakan informasi itu buat memecahkan persoalan. Yang menakjubkan ialah bahwa di Indonesia pengajaran tampaknya memakai asas susah payah yang seperti itu. Mungkin ini bermula dari kenangan kita tentang nenek moyang yang belajar ngelmu di padepokan-padepokan, atau ketika mereka mengaji di surau-surau. Susah payah dalam proses itu dianggap sebagai kebajikan, bagian dari latihan diri yang perlu. Tentu. Belajar tanpa susah payah adalah sebuah omong kosong. Suatu hari, para pendidik Amerika Serikat terkejut. Dalam satu survei belum lama ini tampak bahwa dua pertiga anak Amerika usia 17 tahun tak tahu bahwa Perang Saudara terjadi antara 1650 dan 1900. Dan ketika mereka harus memilih mana hasil perkalian yang paling dekat dengan 3,04 X 5,3 - sebuah soal yang gampang - cuma sepertiga anak-anak itu yang memilih 16. Lainnya menyangka jawabnya 1,6 atau 160. Kesimpulan sebagian pendidik ialah bahwa anak-anak Amerika sudah terlampau lama dibiarkan bersekolah dengan cara yang empuk: boleh pakai kalkulator, tak usah mengingat fakta-fakta. Dan melihat bagaimana anak mereka ketinggalan dari anak Jepang, orang Amerika pun tiba-tiba berpikir: Jangan-jangan banyak benarnya semangat keras Pendidikan di negeri Asia itu. yang konon cuma berdasar pada learning by rote, menghafal dan mengulang kembali. Seorang pejabat tinggi Amerika di bidang pendidikan pun mulai berkata: Kenapa anak Amerika tak dicekoki saja terus seperti anak Jepang? Tapl benarkah anak Jepang hanya semacam disket komputer dan pita rekaman kelihatan piawai tetapi sebenarnya cuma sejenis mesin pengulang? Tidakkah mereka unggul karena mereka terbiasa bekerja keras, dan bekerja keras itu tak cuma buat mengoleksi informasi, tapi juga buat mengolahnya jadi bahan untuk memecahkan persoalan? Saya tak tahu. Yang saya tahu bila belajar berarti hanya mengumpulkan - dan tidak mengolah - fakta dan data, hasilnya adalah seperti yang kini tampak pada anak-anak di Indonesia. Mereka belum banyak berbeda dengan nenek-moyang mereka yang menghafal mantra. Mereka belajar olah raga dan diharuskan ingat misalnya berapa meter panjang lapangan voli. Mereka belajar bahasa Indonesia dan harus menghafal apa itu suara diftong dan labial. Mereka belajar mengarang dan harus membaca buku Bapa Keraf yang rumit. Mereka menghafal catatan Pendidikan Moral Pancasila dan Agama dan akhirnya terbiasa menganggap bahwa soal moral dan agama adalah soal teks. Mereka tahu hasil 2 + 2 = 4 tapi tak tahu mengapa 2 x 2 juga sama dengan 4. Untunglah, di Hari Pendidikan, kita masih bisa ingat ada guru-guru yang punya jejak yang panjang. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini