Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Konstitusi benar-benar sedang dalam ujian. Belum tuntas perkara dua anggota parlemen yang perolehan suaranya diduga dikatrol agar lolos ke Senayan, muncul kasus baru yang membuat Mahkamah semakin tersudut. Panitia Kerja Mafia Pemilihan Umum yang dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat, dua pekan lalu, mengungkapkan peran bekas hakim konstitusi Arsyad Sanusi dalam pemalsuan surat penjelasan hasil Pemilihan Umum 2009.
Bila benar pengakuan Sekretaris Jenderal Mahkamah Konstitusi Janedjri M. Gaffar, yang membeberkan tingkah polah hakim Arsyad, kita patut prihatin. Sulit diterima nalar, seorang hakim konstitusi bersekongkol dengan putrinya merancang surat asli tapi palsu alias aspal. Seperti kisah Janedjri, berkat "kreativitas" Arsyad dan putrinya, Neshawaty, pada 2009, seorang calon legislator Partai Hanura dari Sulawesi Selatan, Dewi Yasin Limpo, melenggang ke Senayan.
Yang luar biasa dari kasus ini, surat "kemenangan" Dewi ternyata berbeda dengan amar putusan Mahkamah Konstitusi dua bulan sebelumnya. Kendati Arsyad mengaku "lupa-lupa ingat" kejadian ini, banyak sumber menyebutkan Arsyad merumuskan surat aspal itu di apartemennya, di hadapan sang "klien", Dewi Yasin Limpo.
Rupanya, Arsyad Sanusi bukan pertama kali bahu-membahu dengan putrinya, yang berprofesi sebagai pengacara, dalam dunia makelar kasus. Februari lalu, misalnya, Komisi Pemberantasan Korupsi menengarai peran keduanya dalam kasus dugaan suap. Seorang calon bupati dari Bengkulu Selatan, Dirwan Mahmud, mengaku menyerahkan uang Rp 58 juta kepada panitera Mahkamah Konstitusi untuk diteruskan kepada Arsyad. Fulus itu kabarnya dikirim sebagai uang muka untuk melicinkan perkaranya melawan Komisi Pemilihan Umum terkait dengan sengketa hasil pemilihan bupati di sana.
Majelis Kehormatan Hakim yang kemudian dibentuk Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud Md. memang memutuskan Arsyad bersalah melanggar kode etik hakim. Namun kasus itu tak pernah tuntas ditelisik. Praktis hanya teguran ringan yang diterima Arsyad akibat menemui pihak yang beperkara. Dugaan suap dalam kasus itu tak pernah jelas.
Ketidakjelasan yang membawa dampak buruk mungkin saja terjadi pada kasus-kasus yang dilaporkan ahli hukum tata negara Refly Harun, Desember tahun lalu. Informasi tentang adanya sejumlah hakim konstitusi yang bermain jadi mafia perkara pemilihan kepala daerah hanya ramai di media massa. Meski laporan tim investigasi cukup lengkap, semuanya kandas, menguap tak berbekas.
Wajar saja banyak orang waswas: jangan-jangan kasus Arsyad Sanusi ini hanya sebuah puncak gunung es. Sudah banyak informasi beredar di masyarakat tentang adanya mafia pemilihan kepala daerah di Mahkamah Konstitusi. Para makelar kasus ini kabarnya punya jejaring sampai orang dalam: dari hakim sampai panitera.
Membongkar mafia pemilihan ini perlu kreativitas khusus. Komisi Pemberantasan Korupsi perlu putar otak mencari metode penyelidikan yang bisa menembus para makelar, juga aliran dana ke rekening hakim dan panitera Mahkamah Konstitusi. Sejalan dengan itu, gerak-gerik hakim perlu diawasi. Semua putusan berbau tak sedap mesti dieksaminasi. Kejahatan sesempurna apa pun pastilah meninggalkan jejak.
Mahkamah Konstitusi pun harus bersikap terbuka. Sikap defensif, seperti terlihat selama ini, tak akan banyak membantu membersihkan benteng terakhir penjaga konstitusi itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo