Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI anggota partai yang lahir dari rahim reformasi, fungsionaris Partai Amanat Nasional mestinya paham benar mengapa dulu rezim Soeharto jatuh. Korupsi dan perilaku represif berbilang tahun memicu perlawanan masyarakat, Orde Baru pun tumbang pada 1998. Harapan lahirnya perubahan besar muncul kembali ketika sebagian tokoh reformasi saat itu mendirikan Majelis Amanat Rakyat, yang merupakan cikal-bakal Partai Amanat Nasional.
Perubahan besar itu, kita tahu, belum sepenuhnya terjadi. Tapi sangat mencemaskan jika benar sebagian penggerak reformasi itu malah ”mengamalkan” perilaku orde yang dulu mereka jungkalkan. Kabar bahwa kader PAN ditengarai korup sungguh mengejutkan. Cita-cita pendiri partai berlambang matahari terbit itu kini berada di tubir jurang.
Adalah Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan yang kini jadi sorotan. Kementerian yang dipimpin bekas Sekretaris Jenderal PAN (2005-2010) itu disinyalir penuh ”kakerlak”—calo yang bisa memuluskan pemberian izin pinjam pakai kawasan hutan. Izin ini diberikan kepada pengusaha untuk menambang batu bara atau bauksit yang berada di kawasan rimba. Agar bisa menebang pohon dan mengeduk bahan tambang di bawahnya, mereka harus mendapat izin Kementerian Kehutanan.
Secara resmi, izin itu tak mudah dikeluarkan. Seorang pengusaha perlu satu sampai dua tahun. Mula-mula harus ada persetujuan bupati dan gubernur, lalu ada keharusan memenuhi persyaratan dampak lingkungan. Jika syarat itu dipenuhi, kajian serius akan dilakukan Kementerian Kehutanan sebelum stempel setuju diterakan.
Pernyataan Menteri Kehutanan untuk tidak lagi mengeluarkan hak pengusahaan hutan ternyata tak sepenuhnya terjadi di lapangan. Kementerian secara formal memasang syarat perizinan yang berat dan berliku. Tentu maksudnya supaya pengusaha tambang benar-benar memperhitungkan keseimbangan alam. Rupanya, di balik yang formal tersedia jalan pintas. Tak sulit menebaknya, jalan potong itu terhampar asalkan tersedia ”pelicin”.
Orang sekitar Menteri paham benar cara menangani para pengusaha. Setelah berkhotbah tentang betapa pentingnya pelestarian hutan, mereka ”mengimbau” pemohon izin menyedekahkan sedikit rezeki untuk kaum tak mampu. Seraya mengutip ayat-ayat kitab suci, mereka membawa-bawa nama Menteri untuk mencari bantuan sosial. ”Tarif sedekah” untuk satu orang dekat Menteri berkisar Rp 500 juta sampai Rp 1 miliar. Akibat praktek ini, pengusaha yang paling ”hitam” pun gampang mendapatkan izin. Seorang perambah hutan asal Malaysia, yang sebelumnya masuk daftar terlarang, kini kembali jadi ”rekanan” pemerintah.
Kebiasaan menjadikan kementerian sebagai sumber dana partai—atau tambang penghasilan pribadi atas nama partai—memang semakin sering terdengar. Sebelumnya, Partai Keadilan Sejahtera ramai disorot orang lantaran diduga memperjualbelikan kuota impor daging sapi di Kementerian Pertanian—kementerian yang dipimpin kader partai itu. Ada pula kisah mantan Bendahara Partai Demokrat M. Nazaruddin yang mempunyai begitu banyak proyek di berbagai kementerian. Dari proyek-proyek itulah diduga kuat sejumlah dana mengalir ke para anggota partai, juga ke kas partai.
Komisi Pemberantasan Korupsi harus menelisik berbagai praktek tak terpuji itu. Para calo yang ”gentayangan” di Kementerian Kehutanan perlu diperiksa, juga orang dalam yang terlibat. Menteri Zulkifli Hasan semestinya juga diperiksa. Komisi selayaknya melacak hingga hilir aliran duit, untuk membuktikan dugaan bahwa duit ”sedekah” itu dipakai buat membiayai partai politik.
Partai politik yang mengais ”rezeki” di kementerian harus dicegah. Salah satu caranya adalah mengetatkan audit keuangan partai. Undang-Undang Partai Politik dan Undang-Undang Pemilu memang mewajibkan peserta pemilihan raya melaporkan isi brankasnya untuk mencegah uang haram masuk partai. Juga ada kewajiban partai politik secara rutin melaporkan bantuan keuangan yang didapat.
Di negara-negara Skandinavia, demi mencegah uang haram masuk, partai dilarang menerima sumbangan. Semua kebutuhan partai ditanggung pemerintah. Jika cara Skandinavia ini masih terlalu ”mewah” untuk diterapkan di sini, kita perlu auditor independen untuk memeriksa kocek partai.
Audit dana partai tentu bisa dilakukan lebih ketat. Audit lembaga independen akan membuat aliran dana ”gelap” lebih mudah diketahui. Jika tak mau kekurangan dana, partai mesti lebih kreatif ”menjual” ide kepada publik. Dengan cara begitulah seharusnya partai-partai kita hidup, bukan dengan cara menjadi ”parasit” di kementerian-kementerian pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo