Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Setelah Eksekusi Mati Ruyati

Pemerintah Arab Saudi dinilai melanggar Konvensi Wina. Presiden Yudhoyono dan Raja Abdullah harus duduk bersama.

27 Juni 2011 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUKUM pancung terhadap Ruyati binti Satubi telah melahirkan pelbagai problem serius yang harus segera diurus. Eksekusi atas tenaga kerja perempuan asal Bekasi, Jawa Barat, yang divonis mati dengan tuduhan membunuh majikannya itu dilaksanakan tanpa pemberitahuan kepada pemerintah Indonesia, apalagi keluarganya.

Sikap pemerintah Arab Saudi ini tidak hanya melecehkan hak informasi keluarga Ruyati, tapi juga melanggar Mandatory Access on Consular Notification yang diatur dalam Konvensi Wina. Bagus, dan tentu saja penting, jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono segera berkirim surat kepada Raja Abdullah sebagai protes keras lantaran pelaksanaan eksekusi ini "menabrak kelaziman dan norma tata krama internasional".

Pemerintah Indonesia bukannya tak bermasalah. Sejauh ini belum diperoleh kejelasan upaya maksimal para diplomat kita agar Ruyati mendapatkan maaf dari pihak korban. Tak ada konfirmasi tentang lobi-lobi tingkat tinggi yang dilakukan para menteri terkait yang mencoba turun tangan sebelum peristiwa tragis itu terjadi. Aneh, yang tersiar justru keluhan para menteri lantaran nota protes mereka tak digubris pemerintah Saudi.

Tanda tanya juga patut ditujukan ke pengadilan pidana di negeri yang konstitusinya berlandaskan syariat Islam itu. Kisah di balik peristiwa pembunuhan ini layak dicermati majelis hakim. Pembelaan terdakwa yang tak diberi makan berhari-hari, ditendang dari atas tangga, dan sulit ke luar rumah wajib diperhitungkan. Sikap Ruyati yang mengakui perbuatannya juga layak dijadikan pengurang hukuman.

Perlakuan kasar dan keji terhadap Ruyati oleh majikannya bukanlah cerita pertama. Di luar kisah sukses mereka yang dijuluki "pahlawan devisa" itu, terlalu banyak tenaga kerja yang mengalami perlakuan buruk, termasuk Darsem (lihat "Umi Tak Pulang Lagi" di rubrik Politik). Ini semua memperlihatkan pemerintah Indonesia begitu lemah dan tidak memaksimalkan perlindungan hukum yang agresif bagi warganya yang berada di luar negeri.

Masalah lain adalah pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi (dan negara lain) yang sering kocar-kacir lantaran ulah para calo. Akibatnya, banyak di antara mereka yang terdampar di negeri orang, yang celakanya tak terjangkau oleh wakil pemerintah Indonesia. Karena itu, keputusan pemerintah melakukan moratorium pengiriman tenaga kerja ke Arab Saudi patut didukung.

Moratorium bisa dihentikan jika pemerintah Saudi bersedia duduk semeja membahas perjanjian penting ini. Berat memang, lantaran sejak dahulu kala perjanjian ini belum pernah dibicarakan-apalagi disepakati. Perjanjian ini memastikan hak pemerintah Indonesia mengetahui nasib warganya di negara bersangkutan. Presiden Yudhoyono harus mampu melobi Raja Abdullah untuk duduk bersama. Langkah ini pernah dilakukan Yudhoyono dengan Perdana Menteri Malaysia Abdullah Badawi pada 2008.

Pelaksanaan moratorium ini harus diawasi dengan ketat. Tak boleh ada seorang pun tenaga kerja yang diam-diam diselundupkan ke Saudi. Apalagi kini ada 29 tenaga kerja yang sedang menanti nasib eksekusi-syukurlah beberapa di antaranya sudah dimaafkan keluarga korban. Pemerintah harus bergerak sejak sekarang agar mereka semua mendapatkan perlindungan hukum yang maksimal.

Apalagi problem tenaga kerja masih di depan mata. Dalam tahun ini, tercatat ada 2.000 kasus tenaga kerja di Arab Saudi. Seratus orang di antaranya adalah korban penganiayaan, gajinya tak dibayar, korban pemerkosaan atau upaya pemerkosaan, hilang kontak dengan keluarga, atau meninggal tanpa keterangan memadai. Pemerintah wajib menuntut keadilan bagi warganya yang hak-haknya dilanggar. Bukan saja hak mereka sebagai pekerja, tapi terutama juga sebagai manusia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus