Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syarifuddin Umar bukanlah hakim berprestasi. Integritasnya diragukan banyak kalangan, keputusannya sering kontroversial. Begitulah yang dirasakan sebagian masyarakat—terutama pegiat antikorupsi—jauh sebelum sang hakim tertangkap tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi di rumah dinasnya, awal bulan lalu.
Ketika bertugas di Pengadilan Negeri Makassar, Syarifuddin membebaskan 38 terdakwa perkara korupsi. Adapun 28 orang dari para koruptor itu adalah anggota DPRD Kabupaten Luwu Selatan periode 1999 2004. Setelah itu, dia juga meloloskan dua mantan pemimpin DPRD Kabupaten Luwu periode yang sama dalam kasus korupsi APBD Kabupaten Luwu tahun 2004 senilai Rp 1,5 miliar. ”Prestasi” Syarifuddin ini sudah dilaporkan ke Komisi Yudisial, tapi laporan itu tak ditanggapi. Mahkamah Agung pun tak tertarik menelisik laporan ini.
Justru Syarifuddin mendapat promosi, dipindah ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, yang kelasnya lebih tinggi. Di sini pula, hakim asal Soppeng itu membebaskan gubernur nonaktif Bengkulu, Agusrin M. Najamudin. Agusrin divonis bebas majelis hakim pimpinan Syarifuddin, 23 Mei lalu, karena dinyatakan tidak terbukti bersalah melakukan korupsi pajak bumi dan bangunan serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan di Provinsi Bengkulu.
Padahal jaksa menuntut Agusrin empat setengah tahun penjara karena terbukti melanggar sejumlah pasal dalam Undang Undang tentang Tindak Pidana Korupsi. Menurut jaksa, Agusrin dan beberapa pejabat lain berhasil menyedot uang Rp 21 miliar. Dari jumlah itu, Agusrin mendapat Rp 7 miliar.
KPK menangkap Syarifuddin setelah melakukan pengamatan berminggu minggu. Laporan yang masuk dari masyarakat dijadikan bahan oleh KPK untuk menguntit keseharian Syarifuddin, sampai dia ditangkap di rumahnya dengan barang bukti Rp 250 juta plus berbagai mata uang asing yang belum diketahui asal usulnya. Kini Syarifuddin sudah ditahan, dan penyuapnya, Puguh Wirawan, kurator PT Skycamping Indonesia, juga sudah diterungku.
Mahkamah Agung memang mengeluarkan keputusan yang cepat, yakni menonaktifkan Syarifuddin sebagai hakim. Cuma, sistem pengawasan di MA patut dipertanyakan. Sudah nyata ada laporan dari berbagai komponen masyarakat—antara lain dari Indonesia Corruption Watch—tentang perilaku hakim ini sejak di Sulawesi Selatan. Namun MA seolah menutup mata dan telinga. Alih alih diawasi, Syarifuddin malah dipindah ke Jakarta dan acap kali memegang perkara penting sebagai ketua majelis hakim.
Selain harus diusut sampai terang apa kaitan mata uang asing yang berjubel ditemukan ketika Syarifuddin ditangkap, juga penting diselidiki apakah uang Rp 250 juta dari Puguh Wirawan itu hanya untuk Syarifuddin. Apakah ada rencana uang itu akan dialirkan juga ke hakim lainnya? Siapa tahu, uang yang ”hanya” Rp 250 juta itu baru sekadar ”uang muka”.
Maklum, tanda tangan Syarifuddin dalam kasus pengalihan aset kepailitan PT SCI begitu sakti. Sebagai hakim pengawas, tanda tangannya bisa mengalihkan aset berupa dua bidang tanah di wilayah Bekasi itu tak terkait dengan kepailitan. Tanah yang masing masing bernilai Rp 16 miliar dan Rp 19 miliar itu bisa dijual dengan bebas. Dari jumlah uang yang tak bisa dibilang kecil ini, bisa dibayangkan banyak orang mungkin kecipratan ”rezeki”. Karena itu, adalah tugas KPK untuk tidak berhenti pada Syarifuddin seorang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo