SESEORANG pernah mengatakan, bahwa demokrasi pada dasarnya
adalah management of conflicts.
Tekanan tentu saja diletakkan pada kata "konflik", dan bukan
pada kata "manajemen". Sebab sistem politik apa pun selalu
berniat mengelola segala hal yang timbul dalam hidup bersama,
termasuk pertikaian. Namun hanya demokrasi yang mengakui, bahwa
konflik adalah bagian dari kita, biarpun kita di satu lubuk,
biarpun kita di satu kandang.
Totalitarianisme, sebaliknya, tak punya pengakuan itu. Di sana
individu adalah dosa asal, berbeda merupakanbid'al dan konflik
adalah satu-satunya penunggang kuda Apokalipsa, pembawa
malapetaka. Di lautan massa Maois, di kancah Pengawal Merah,
siapa yang tak pandai mengutip kata-kata Mao dengan tepat bukan
orang kita, melainkan mereka. Dia harus dikalahkan. Psikologi
totalitarianisme berbicara, bahwa siapa saja yang tak bersama
kita adalah musuh kita.
Dengan demikian bila totalitarianisme mengenal konflik, maka
konflik itu harus selalu berarti konflik dengan orang lain. Kita
secara definitif tidak akan bertikai. Jika konflik terbit, itu
artinya kita menghadapi orang luar. Atau, kalau tidak, sesuatu
dalam tubuh kita menjadi unsur luar, anasir mereka.
Demokrasi sebaliknya punya asumsi bahwa manusia memang agak
sial. Tapi tidak berarti ia sesuatu yang memburuk. Ia sial
karena ternyata ekspresi kemanusiaannya begitu berlain-lainan,
begitu merepotkan dan kadang menjengkelkan. Maka manusia pun
saling merasa perlu berunding. Atau mencari konsensus. Atau,
setelah bersitegang, harus punya cadangan dalam hati dan
pikirannya untuk suatu saat berbaik kembali.
Pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa perundingan-perundingan
itu, semacam tawar menawar di pasar, tak sebaiknya menghasilkan
kemenangan mutlak ataupun kekalahan mutlak. Jika satu pihak
kalah total dan pihak lain menang total, yang terjadi adalah
suatu suasana berbahaya. Ada yang akan merasa ditipu dan diancam
kelanjutan hidupnya. Sebaliknya ada yang bisa kehilangan batas.
Permusuhan akan selalu disiapkan. Perundingan akan kehilangan
arti, hidup bersama jadi mustahil.
TAPI memang harus diakui, konflik adalah sesuatu yang
menakutkan.
Ketakutan ini bukan sekedar ketakutan dari "nilai-nilai"
masyarakat yang feodal, atau agraris, atau tertutup, atau
terkebelakang, atau Jawa kowek. Sebab -- percaya atau tidak
--seorang ahli manajemen Amerika dalam satu buku yang dingin
juga menyesali bahwa masyarakatnya kini adalah masyarakat yang
dirundung "suatu rasa takut akan konflik, akan ketidaksepakatan,
akan permusuhan, antagonisme."
Apa sebabnya? Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan masyarakat
Amerika. Tapi kita bisa meraba apa yang terasa bergetar di
sekitar kita sendiri: kita menakutkan konflik, karena dalam
kemelaratan kita yang tujuh turunan, konflik mengandung risiko,
dan risiko bukanlah sesuatu yang harus diambil.
Di dalam suasana menggotong-royongkan produksi, Juga konsumsi
ini, di tengah-tengah apa yang disebut "involusi pertanian" ini,
suatu konflik akan merusak jaringan pembagian kemiskinan yang
ada. Di Jawa anak-anak pun dididik dengan nyanyian agar
menundukkan kepala bila dimarahi, dan bapang den simpangi, ana
catur mungkur -- atau, ringkasnya, agar menghindar dari
sengketa, gosip, kasak-kusuk, celoteh.
Mungkin itu semua pedagogi untuk si lembek, mungkin pula justru
latihan kekuatan batin untuk menahan diri. Mungkin itu ajaran
priayi, yang harus merunduk karena ia sudah demikian luhur, tapi
mungkin itu candu bagi si tertindas. Dari mana pun datangnya,
toh semangatnya cocok dengan kalangan petani yang akan celaka
bila marah, yang akan berantakan bila bertikai.
Maka konflik pun mencemaskan kita.
**
YANG jadi problem ialah, bahwa kita lalu menjadi tak terbiasa
dengan persengketaan. Kain yang cabik pun dengan cepat disangka
robek besar. Kita cenderung menanggapi konflik dengan kekurangan
sikap percaya kepada diri sendiri.
Dan management of conflicts itu? Pada saat kita mempersepsikan
konflik sebagai semacam setan, jin, pageblug, wabah, gempa bumi,
angin ribut, atau black magic yang diam-diam menikam, kita pun
tak berbicara tentang manajemen. Demokrasi kadang mati karena
panik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini