Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Marginalia

Hal yang menakuntukan ?

Konflik selalu dihindari dalam masyarakat petani. maka kita pun akhirnya tak terbiasa dengan persengketaan. kita cenderung menghadapi konflik dengan kekurangan sikap percaya diri. kita takut ambil risiko.

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESEORANG pernah mengatakan, bahwa demokrasi pada dasarnya adalah management of conflicts. Tekanan tentu saja diletakkan pada kata "konflik", dan bukan pada kata "manajemen". Sebab sistem politik apa pun selalu berniat mengelola segala hal yang timbul dalam hidup bersama, termasuk pertikaian. Namun hanya demokrasi yang mengakui, bahwa konflik adalah bagian dari kita, biarpun kita di satu lubuk, biarpun kita di satu kandang. Totalitarianisme, sebaliknya, tak punya pengakuan itu. Di sana individu adalah dosa asal, berbeda merupakanbid'al dan konflik adalah satu-satunya penunggang kuda Apokalipsa, pembawa malapetaka. Di lautan massa Maois, di kancah Pengawal Merah, siapa yang tak pandai mengutip kata-kata Mao dengan tepat bukan orang kita, melainkan mereka. Dia harus dikalahkan. Psikologi totalitarianisme berbicara, bahwa siapa saja yang tak bersama kita adalah musuh kita. Dengan demikian bila totalitarianisme mengenal konflik, maka konflik itu harus selalu berarti konflik dengan orang lain. Kita secara definitif tidak akan bertikai. Jika konflik terbit, itu artinya kita menghadapi orang luar. Atau, kalau tidak, sesuatu dalam tubuh kita menjadi unsur luar, anasir mereka. Demokrasi sebaliknya punya asumsi bahwa manusia memang agak sial. Tapi tidak berarti ia sesuatu yang memburuk. Ia sial karena ternyata ekspresi kemanusiaannya begitu berlain-lainan, begitu merepotkan dan kadang menjengkelkan. Maka manusia pun saling merasa perlu berunding. Atau mencari konsensus. Atau, setelah bersitegang, harus punya cadangan dalam hati dan pikirannya untuk suatu saat berbaik kembali. Pengalaman sejarah menunjukkan, bahwa perundingan-perundingan itu, semacam tawar menawar di pasar, tak sebaiknya menghasilkan kemenangan mutlak ataupun kekalahan mutlak. Jika satu pihak kalah total dan pihak lain menang total, yang terjadi adalah suatu suasana berbahaya. Ada yang akan merasa ditipu dan diancam kelanjutan hidupnya. Sebaliknya ada yang bisa kehilangan batas. Permusuhan akan selalu disiapkan. Perundingan akan kehilangan arti, hidup bersama jadi mustahil. TAPI memang harus diakui, konflik adalah sesuatu yang menakutkan. Ketakutan ini bukan sekedar ketakutan dari "nilai-nilai" masyarakat yang feodal, atau agraris, atau tertutup, atau terkebelakang, atau Jawa kowek. Sebab -- percaya atau tidak --seorang ahli manajemen Amerika dalam satu buku yang dingin juga menyesali bahwa masyarakatnya kini adalah masyarakat yang dirundung "suatu rasa takut akan konflik, akan ketidaksepakatan, akan permusuhan, antagonisme." Apa sebabnya? Kita tidak tahu apa yang terjadi dengan masyarakat Amerika. Tapi kita bisa meraba apa yang terasa bergetar di sekitar kita sendiri: kita menakutkan konflik, karena dalam kemelaratan kita yang tujuh turunan, konflik mengandung risiko, dan risiko bukanlah sesuatu yang harus diambil. Di dalam suasana menggotong-royongkan produksi, Juga konsumsi ini, di tengah-tengah apa yang disebut "involusi pertanian" ini, suatu konflik akan merusak jaringan pembagian kemiskinan yang ada. Di Jawa anak-anak pun dididik dengan nyanyian agar menundukkan kepala bila dimarahi, dan bapang den simpangi, ana catur mungkur -- atau, ringkasnya, agar menghindar dari sengketa, gosip, kasak-kusuk, celoteh. Mungkin itu semua pedagogi untuk si lembek, mungkin pula justru latihan kekuatan batin untuk menahan diri. Mungkin itu ajaran priayi, yang harus merunduk karena ia sudah demikian luhur, tapi mungkin itu candu bagi si tertindas. Dari mana pun datangnya, toh semangatnya cocok dengan kalangan petani yang akan celaka bila marah, yang akan berantakan bila bertikai. Maka konflik pun mencemaskan kita. ** YANG jadi problem ialah, bahwa kita lalu menjadi tak terbiasa dengan persengketaan. Kain yang cabik pun dengan cepat disangka robek besar. Kita cenderung menanggapi konflik dengan kekurangan sikap percaya kepada diri sendiri. Dan management of conflicts itu? Pada saat kita mempersepsikan konflik sebagai semacam setan, jin, pageblug, wabah, gempa bumi, angin ribut, atau black magic yang diam-diam menikam, kita pun tak berbicara tentang manajemen. Demokrasi kadang mati karena panik.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus