MISTERI" Imran bin Muhammad Zein, tokoh di balik pembajakan
pesawat DC-9 Garuda Woyla, agaknya akan terungkap. Di depan
sidang komisi gabungan DPR pekan lalu, Menhankam Jenderal M
Jusuf menegaskan Imran akan diadili di sidang pengadilan. "Insya
Allah saudara-saudara boleh puaskan diri dengan mengikuti
pengadilan terbuka yang akan mengadili perkara ini secara
menyeluruh, baik terhadap Imran maupun orang-orangnya," kata
Jenderal Jusuf.
Tujuannya: "Kami ingin membuktikan kepada rakyat apa adanya dan
siapa yang tersangkut paut, tanpa ada maksud untuk
mengetengahkan lebih atau kurang daripada keadaan yang
sebenarnya," kata Menhankam.
Banyak yang lega mendengar pernyataan ini. Sebab berbagai
penjelasan pemerintah mengenai latar belakang Kelompok Imran
serta pembajakan Woyla agaknya belum berhasil meredakan bermacam
desas-desus yang tersiar luas. Misalnya desas-desus bahwa Imran
sebenarnya "anggota aparat intelijen pemerintah". Sidang
pengadilan Imran diharapkan nanti akan mengungkap tuntas
"misteri" tersebut dan sekaligus menghentikan segala macam
desas-desus tadi.
Muhamad Zein, 56 tahun, ayah Imran dan Wemdy -- salah satu dari
kelima pembajak tidak akan menuntut kematian Wemdy dan tak
keberatan Imran akan diadili. "Dendam bukanlah sikap baik
seorang muslim. Mereka sudah dewasa. Karena itu biarlah mereka
yang mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Muh. zein pada
wartawan TEMPO Monaris Simangunsong di rumahnya di Kampung
Kotamatsum Medan, pekan lalu. Wajahnya tenang tatkala
mengucapkan itu.
Bagi Muhamad Zein, meninggalnya Wemdy dan tertangkapnya Imran,
merupakan ketentuan Allah. "Wemdy dipanggil Allah lewat
peristiwa itu. Toh manusia bakal mati. Allah memanggil manusia
lewat berbagai cara: ada yang mati hanyut, kena peluru nyasar
atau mati di tempat tidur. Itulah ketentuan Allah dan saya tidak
akan memungkirinya. Orang yang mungkir dari ketentuan Allah,
kafir," kata Muhamad Zein didampingi istrinya.
Kapan sidang pengadilan Imran dimulai? Berapa saksi yang akan
diajukan? "Itu terserah pengadilan dan Kejaksaan Tinggi
Jakarta," kata seorang perwira Hankam. Saat ini berkas
perkaranya masih disiapkan. Namun diharapkannya sidang itu bisa
dimulai "setelah Lebaran nanti". Dengan kata lain, sekitar
Agustus 1981.
Kabarnya Imran kini ditahan di suatu tempat di Jakarta bersama
sekitar 20 anggota kelompoknya. Sepuluh di antaranya sudah
dibaiat oleh Imran. Dalam tahanan Imran kabarnya diperlakukan
dengan baik dan sikapnya tidak rewel. Atas permintaannya
disediakan sajadah dan pakaian pengganti. Imran ternyata punya
selera tinggi dalam makanan dan tegas mengatakan "tidak mau dan
tidak doyan 2T". Artinya tidak doyan tahu dan tempe.
Imran yang suka rokok Gudang Garam, konon dalam interogasi
selalu menjawab pendek-pendek. Juga banyak menjawab "tidak"
disertai sumpah kalau pertanyaannya "mengambang". Namun kalau
penanya mengajukan bukti baru dia mengaku dan berkata "ya".
Pengetahuan agama serta pengetahuan umumnya dinilai "tidak
mendalam".
Menurut penjelasan Wapangab/Kaskopkamtib Sudomo di depan DPR
pekan lalu, kelompok Imran menganut pola organisasi tanpa bentuk
dengan Imran sebagai "Imam". Kelompok ini berasal dari Kelompok
Azhar yang muncul di Cimahi, Jawa sarat, pada 1977.
Kemudian muncul Imran pada Oktober 1978 yang melahirkan
kesepakatan membentuk suatu kelompok keagamaan dengan dirinya
sebagai "Imam", Azhar Zulkarnaen sebagai ketua. Ada Seksi Dakwah
serta Seksi Pembinaan Mental/Bela diri yang anggotanya antara
lain adalah Machrizal, yang kemudian diknal sebagai salah satu
pembajak Woyla.
Imran, menurut Sudomo, mendirikan "Dewan Revolusi Islam
Indonesia" (DRII) pada 7 Desember 1975 dengan kantor pusat Jalan
Rahmatsyah 453 Medan dan kantor cabang Jalan S. Parman 97/A.2.
Slipi, Jakarta. DRII sendiri, menurut Sudomo, merupakan gerakan
di bawah tanah yang bertujuan mendirikan Negara Islam dengan
rencana menggulingkan pemerintah Soeharto. Hal ini diketahui
dari pemeriksaan terhadap Imran dan bukti-bukti dokumen tertulis
lamnya.
Mocok-Mocok
Kalau itu benar, itu bisa berarti Imran mendirikan DRII sewaktu
ia masih tinggal di Arab Saudi. Sebab menurut pengakuannya, dan
juga menurut keterangan beberapa saksi lain, ia bermukim di sana
antara 1971-1976. Jadi sebelum Kelompok Imran terbentuk resmi.
Masalah alamat DRII ini ternyata belum jelas. Djuliar Ilyas, 50
tahun, penghuni rumah Jalan Rahmatsyah 453 Medan yang disebutkan
sebagai Kantor Pusat DRII, sempat dibuat pusing karenanya.
"Bagaimana saya tak kaget. Masak rumah saya dibilang kantor
pusat Dewan Revolusi Islam Indonesia. Itu 'kan peristiwa
nasional, kejadian politik. Saya sungguh tidak mengerti politik.
Saya kerja mocok-mocok (tidak tetap)," kata Djuliar tatkala
ditemui TEMPO .
Rumah nomor 453 di Jalan Rahmatsyah Medan itu memang berada di
depan rumah Muhamad Zein, orang tua Imran. "Mungkin dokumen
Imran itu salah ketik. Rumah Pak Zein nomornya 433. Nomor 3 yang
di tengah diketik jadi 5 hingga rumah kamilah yang tercantum,"
reka Juniar, istri Djuliar.
Sejak pengumuman itu, rumah di Jalan Rahmatsyah 453 itu banyak
didatangi "tetamu". "Ada yang bilang dari Jakarta, polisi,
wartawan dan entah darimana lagi. Saya ladeni mereka semua,"
kata Djuliar yang juga membuka kios rokok di muka rumahnya.
Mayjen Ishak Djuarsa (Purn) penghuni rumah Jalan S. Parman
97/A.2. Slipi, Jakarta, yang disebut "Kantor Cabang DRII" juga
kesal. Sejak pengumuman dokumen Imran itu, tak henti-hentinya
teleponnya berdering. Nomor telepon itu memang tercantum dalam
dokumen Imran. Ada yang bertanya sopan, "apakah ini markas Dewan
Revolusi Islam Indonesia?". Tapi ada juga yang menelepon sekedar
untuk memaki "kamu murtad" dan terus membanting telepon.
"Saya cuma bisa mengelus dada dan geleng kepala," kata Ishak
Djuarsa kepada Surasono dari TEMPO. Menurut bekas Pangdam
Iskandar Muda (Aceh), Sriwijaya (Sum-Sel) dan bekas Dubes untuk
Kamboja dan Yugoslavia ini, Imran memang pernah tiga kali
menemuinya.
Yang pertama sekitar awal September 1979 ke rumah Ishak Djuarsa
di Bogor beberapa pekan sebelum dia naik haji. Imran
memperkenalkan diri sebagai orang yang bergerak di bidang bisnis
dan memperlihatkan surat rekomendasi dari Fortrade and
Commission Agent suatu perusahaan Arab Saudi, yang berpusat di
Riyadh. Bisnisnya yang utama tekstil dan makanan, namun juga
bergerak di bidang kontraktor.
Kebetulan Ishak Djuarsa yang waktu itu masih MPP lagi berpikir
untuk terjun di dunia bisnis. "Ada perusahaan dari negara
petro-dollar yang mau kerjasama, siapa tidak tertarik,"
ceritanya. Namun omongan Imran tentang bisnis kemudian melantur
menjadi "bisnis revolusi": ia bercerita tentang keadaan yang
bobrok, golongan oposisi dan sebagainya. Hingga Ishak Djuarsa
menyimpulkan tetamunya itu sebagai seorang ekstrim, fanatik buta
dan berpandangan sempit.
Dia sempat memberikan kartu namanya pada tetamunya itu. Imran
datang kedua kalinya menjelang Ishak berangkat ke Mekah dan
mengatakan ia juga akan pergi ke Arab Saudi. Pada Ishak
ditunjukkamlya setumpuk uang dollar yang dikatakannya "kiriman
dari perusahaan saya di Riyadh untuk ongkos saya pergi ke sana".
Ia menjanjikan Ishak akan mempertemukannya dengan "boss"nya di
sana.
Imran ternyata tak muncul. Baru setelah Ishak Djuarsa kembali ke
Indonesia Imran datang lagi bertamu. Ia minta maaf karena
ternyata batal pergi ke Arab Saudi sebab "kesibukan saya banyak
sekali." Kembali ia bicara panjang lebar tentang situasi politik
saat itu. "Saya kesal dan saya katakan padanya saya tidak ingin
politik-politikan dan cuma mau bisnis saja." Sejak saat itu
Imran tak pernah datang lagi.
Toh buntutnya ada. Pada 20 April lalu, Ishak Djuarsa dipanggil
Laksusda Jaya "untuk dimintai keterangan dan mencocokkan
informasi." Pangkopkamtib Sudomo di depan DPR pekan lalu juga
menjelaskan: pemeriksaan secara hukum sudah dilakukan untuk
mencari clearance tentang Jenderal (Purn) A.H. Nasution yang
dihubungi Imran empat kali dan Mayjen (Purn) Ishak Djuarsa.
Dalam penjelasannya, A.H. Nasution mengakui sekitar 3 pekan lalu
ia diundang Laksusda Jaya untuk mencocokkan beberapa keterangan
Imran mengenai hubungannya dengan dia. Imran pertama kalinya
bertamu sendirian pada 1979 dan mengaku keluarga seorang perwira
bekas anak buah Pak Nas.
Segera kemudian ia bertamu beberapa kali lagi meminta tolong
untuk bisnisnya. Imran juga menunjukkan surat yang menunjuknya
sebagai agen suatu perusahaan di Arab Saudi. Jenderal Nasution
kemudian menghubungkannya dengan staf PT Arafat, namun staf ini
mulai waspada karena Imran menginginkan surat kuasa dari
Nasution.
Dengan Sopan
Cerita Pak Nas selanjutnya: "Dalam beberapa kesempatan itu pula
ia berbicara tentang perjuangan sebagaimana la1zimnya para
pemuda yang bertamu kepada saya. Maka secara dini saya telah
menilai ia mungkin seorang fanatik atau seorang intel untuk
menjaring saya, sehingga saya waspada dan secara tidak langsung
mengingatkannya, dengan uraian pengalaman saya berkali-kali
sejak Orla menghadapi usaha-usaha untuk menjaring saya
sedemikian."
Penjelasan Pak Nas ini ternyata menimbulkan reaksi. Laksus
Pangkopkamtibda Jaya Mayjen Norman Sasono dalam tanggapannya
pekan lalu menyatakan bahwa Imran, "langsung maupun tidak
langsung, tidak ada hubungannya dengan aparat intelijen seperti
apa yang diduga Jenderal Nasution."
Menurut Norman, "sesuai dengan pengalaman Jenderal Purn. A.H.
Nasution yang telah bertahun-tahun ikut penguasa Orde Lama,
seharusnya pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Imran dapat
dicegah dan dihindari. Namun kenyataannya pertemuan tersebut
tetap berlangsung sampai 4 kali hingga tahun 1980."
Jenderal Nasution menolak menanggapi ucapan Norman. Namun ada
alasannya kenapa ia menerima Imran sampai beberapa kali.
"Sebagai seorang muslim saya tidak bisa mengusir tamu yang
datang secara sopan dan baik. Lagipula setiap kali ia datang
bukan atas panggilan saya," ujarnya.
Jadi tokoh macam apa sebenarnya Imran itu? Semoga sederet
panjang pertanyaan itu akan terjawab semuanya di sidang
pengadilan nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini