Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Imran dan sederet pertanyaan

Penjelasan menhankam m. jusuf dan pangkopkamtib sudomo di depan sidang komisi gabungan dpr mengenai latar belakang kolompok imran & pembajakan pesawat woyla. imran akan disidangkan. (nas)

23 Mei 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MISTERI" Imran bin Muhammad Zein, tokoh di balik pembajakan pesawat DC-9 Garuda Woyla, agaknya akan terungkap. Di depan sidang komisi gabungan DPR pekan lalu, Menhankam Jenderal M Jusuf menegaskan Imran akan diadili di sidang pengadilan. "Insya Allah saudara-saudara boleh puaskan diri dengan mengikuti pengadilan terbuka yang akan mengadili perkara ini secara menyeluruh, baik terhadap Imran maupun orang-orangnya," kata Jenderal Jusuf. Tujuannya: "Kami ingin membuktikan kepada rakyat apa adanya dan siapa yang tersangkut paut, tanpa ada maksud untuk mengetengahkan lebih atau kurang daripada keadaan yang sebenarnya," kata Menhankam. Banyak yang lega mendengar pernyataan ini. Sebab berbagai penjelasan pemerintah mengenai latar belakang Kelompok Imran serta pembajakan Woyla agaknya belum berhasil meredakan bermacam desas-desus yang tersiar luas. Misalnya desas-desus bahwa Imran sebenarnya "anggota aparat intelijen pemerintah". Sidang pengadilan Imran diharapkan nanti akan mengungkap tuntas "misteri" tersebut dan sekaligus menghentikan segala macam desas-desus tadi. Muhamad Zein, 56 tahun, ayah Imran dan Wemdy -- salah satu dari kelima pembajak tidak akan menuntut kematian Wemdy dan tak keberatan Imran akan diadili. "Dendam bukanlah sikap baik seorang muslim. Mereka sudah dewasa. Karena itu biarlah mereka yang mempertanggungjawabkan perbuatannya," kata Muh. zein pada wartawan TEMPO Monaris Simangunsong di rumahnya di Kampung Kotamatsum Medan, pekan lalu. Wajahnya tenang tatkala mengucapkan itu. Bagi Muhamad Zein, meninggalnya Wemdy dan tertangkapnya Imran, merupakan ketentuan Allah. "Wemdy dipanggil Allah lewat peristiwa itu. Toh manusia bakal mati. Allah memanggil manusia lewat berbagai cara: ada yang mati hanyut, kena peluru nyasar atau mati di tempat tidur. Itulah ketentuan Allah dan saya tidak akan memungkirinya. Orang yang mungkir dari ketentuan Allah, kafir," kata Muhamad Zein didampingi istrinya. Kapan sidang pengadilan Imran dimulai? Berapa saksi yang akan diajukan? "Itu terserah pengadilan dan Kejaksaan Tinggi Jakarta," kata seorang perwira Hankam. Saat ini berkas perkaranya masih disiapkan. Namun diharapkannya sidang itu bisa dimulai "setelah Lebaran nanti". Dengan kata lain, sekitar Agustus 1981. Kabarnya Imran kini ditahan di suatu tempat di Jakarta bersama sekitar 20 anggota kelompoknya. Sepuluh di antaranya sudah dibaiat oleh Imran. Dalam tahanan Imran kabarnya diperlakukan dengan baik dan sikapnya tidak rewel. Atas permintaannya disediakan sajadah dan pakaian pengganti. Imran ternyata punya selera tinggi dalam makanan dan tegas mengatakan "tidak mau dan tidak doyan 2T". Artinya tidak doyan tahu dan tempe. Imran yang suka rokok Gudang Garam, konon dalam interogasi selalu menjawab pendek-pendek. Juga banyak menjawab "tidak" disertai sumpah kalau pertanyaannya "mengambang". Namun kalau penanya mengajukan bukti baru dia mengaku dan berkata "ya". Pengetahuan agama serta pengetahuan umumnya dinilai "tidak mendalam". Menurut penjelasan Wapangab/Kaskopkamtib Sudomo di depan DPR pekan lalu, kelompok Imran menganut pola organisasi tanpa bentuk dengan Imran sebagai "Imam". Kelompok ini berasal dari Kelompok Azhar yang muncul di Cimahi, Jawa sarat, pada 1977. Kemudian muncul Imran pada Oktober 1978 yang melahirkan kesepakatan membentuk suatu kelompok keagamaan dengan dirinya sebagai "Imam", Azhar Zulkarnaen sebagai ketua. Ada Seksi Dakwah serta Seksi Pembinaan Mental/Bela diri yang anggotanya antara lain adalah Machrizal, yang kemudian diknal sebagai salah satu pembajak Woyla. Imran, menurut Sudomo, mendirikan "Dewan Revolusi Islam Indonesia" (DRII) pada 7 Desember 1975 dengan kantor pusat Jalan Rahmatsyah 453 Medan dan kantor cabang Jalan S. Parman 97/A.2. Slipi, Jakarta. DRII sendiri, menurut Sudomo, merupakan gerakan di bawah tanah yang bertujuan mendirikan Negara Islam dengan rencana menggulingkan pemerintah Soeharto. Hal ini diketahui dari pemeriksaan terhadap Imran dan bukti-bukti dokumen tertulis lamnya. Mocok-Mocok Kalau itu benar, itu bisa berarti Imran mendirikan DRII sewaktu ia masih tinggal di Arab Saudi. Sebab menurut pengakuannya, dan juga menurut keterangan beberapa saksi lain, ia bermukim di sana antara 1971-1976. Jadi sebelum Kelompok Imran terbentuk resmi. Masalah alamat DRII ini ternyata belum jelas. Djuliar Ilyas, 50 tahun, penghuni rumah Jalan Rahmatsyah 453 Medan yang disebutkan sebagai Kantor Pusat DRII, sempat dibuat pusing karenanya. "Bagaimana saya tak kaget. Masak rumah saya dibilang kantor pusat Dewan Revolusi Islam Indonesia. Itu 'kan peristiwa nasional, kejadian politik. Saya sungguh tidak mengerti politik. Saya kerja mocok-mocok (tidak tetap)," kata Djuliar tatkala ditemui TEMPO . Rumah nomor 453 di Jalan Rahmatsyah Medan itu memang berada di depan rumah Muhamad Zein, orang tua Imran. "Mungkin dokumen Imran itu salah ketik. Rumah Pak Zein nomornya 433. Nomor 3 yang di tengah diketik jadi 5 hingga rumah kamilah yang tercantum," reka Juniar, istri Djuliar. Sejak pengumuman itu, rumah di Jalan Rahmatsyah 453 itu banyak didatangi "tetamu". "Ada yang bilang dari Jakarta, polisi, wartawan dan entah darimana lagi. Saya ladeni mereka semua," kata Djuliar yang juga membuka kios rokok di muka rumahnya. Mayjen Ishak Djuarsa (Purn) penghuni rumah Jalan S. Parman 97/A.2. Slipi, Jakarta, yang disebut "Kantor Cabang DRII" juga kesal. Sejak pengumuman dokumen Imran itu, tak henti-hentinya teleponnya berdering. Nomor telepon itu memang tercantum dalam dokumen Imran. Ada yang bertanya sopan, "apakah ini markas Dewan Revolusi Islam Indonesia?". Tapi ada juga yang menelepon sekedar untuk memaki "kamu murtad" dan terus membanting telepon. "Saya cuma bisa mengelus dada dan geleng kepala," kata Ishak Djuarsa kepada Surasono dari TEMPO. Menurut bekas Pangdam Iskandar Muda (Aceh), Sriwijaya (Sum-Sel) dan bekas Dubes untuk Kamboja dan Yugoslavia ini, Imran memang pernah tiga kali menemuinya. Yang pertama sekitar awal September 1979 ke rumah Ishak Djuarsa di Bogor beberapa pekan sebelum dia naik haji. Imran memperkenalkan diri sebagai orang yang bergerak di bidang bisnis dan memperlihatkan surat rekomendasi dari Fortrade and Commission Agent suatu perusahaan Arab Saudi, yang berpusat di Riyadh. Bisnisnya yang utama tekstil dan makanan, namun juga bergerak di bidang kontraktor. Kebetulan Ishak Djuarsa yang waktu itu masih MPP lagi berpikir untuk terjun di dunia bisnis. "Ada perusahaan dari negara petro-dollar yang mau kerjasama, siapa tidak tertarik," ceritanya. Namun omongan Imran tentang bisnis kemudian melantur menjadi "bisnis revolusi": ia bercerita tentang keadaan yang bobrok, golongan oposisi dan sebagainya. Hingga Ishak Djuarsa menyimpulkan tetamunya itu sebagai seorang ekstrim, fanatik buta dan berpandangan sempit. Dia sempat memberikan kartu namanya pada tetamunya itu. Imran datang kedua kalinya menjelang Ishak berangkat ke Mekah dan mengatakan ia juga akan pergi ke Arab Saudi. Pada Ishak ditunjukkamlya setumpuk uang dollar yang dikatakannya "kiriman dari perusahaan saya di Riyadh untuk ongkos saya pergi ke sana". Ia menjanjikan Ishak akan mempertemukannya dengan "boss"nya di sana. Imran ternyata tak muncul. Baru setelah Ishak Djuarsa kembali ke Indonesia Imran datang lagi bertamu. Ia minta maaf karena ternyata batal pergi ke Arab Saudi sebab "kesibukan saya banyak sekali." Kembali ia bicara panjang lebar tentang situasi politik saat itu. "Saya kesal dan saya katakan padanya saya tidak ingin politik-politikan dan cuma mau bisnis saja." Sejak saat itu Imran tak pernah datang lagi. Toh buntutnya ada. Pada 20 April lalu, Ishak Djuarsa dipanggil Laksusda Jaya "untuk dimintai keterangan dan mencocokkan informasi." Pangkopkamtib Sudomo di depan DPR pekan lalu juga menjelaskan: pemeriksaan secara hukum sudah dilakukan untuk mencari clearance tentang Jenderal (Purn) A.H. Nasution yang dihubungi Imran empat kali dan Mayjen (Purn) Ishak Djuarsa. Dalam penjelasannya, A.H. Nasution mengakui sekitar 3 pekan lalu ia diundang Laksusda Jaya untuk mencocokkan beberapa keterangan Imran mengenai hubungannya dengan dia. Imran pertama kalinya bertamu sendirian pada 1979 dan mengaku keluarga seorang perwira bekas anak buah Pak Nas. Segera kemudian ia bertamu beberapa kali lagi meminta tolong untuk bisnisnya. Imran juga menunjukkan surat yang menunjuknya sebagai agen suatu perusahaan di Arab Saudi. Jenderal Nasution kemudian menghubungkannya dengan staf PT Arafat, namun staf ini mulai waspada karena Imran menginginkan surat kuasa dari Nasution. Dengan Sopan Cerita Pak Nas selanjutnya: "Dalam beberapa kesempatan itu pula ia berbicara tentang perjuangan sebagaimana la1zimnya para pemuda yang bertamu kepada saya. Maka secara dini saya telah menilai ia mungkin seorang fanatik atau seorang intel untuk menjaring saya, sehingga saya waspada dan secara tidak langsung mengingatkannya, dengan uraian pengalaman saya berkali-kali sejak Orla menghadapi usaha-usaha untuk menjaring saya sedemikian." Penjelasan Pak Nas ini ternyata menimbulkan reaksi. Laksus Pangkopkamtibda Jaya Mayjen Norman Sasono dalam tanggapannya pekan lalu menyatakan bahwa Imran, "langsung maupun tidak langsung, tidak ada hubungannya dengan aparat intelijen seperti apa yang diduga Jenderal Nasution." Menurut Norman, "sesuai dengan pengalaman Jenderal Purn. A.H. Nasution yang telah bertahun-tahun ikut penguasa Orde Lama, seharusnya pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Imran dapat dicegah dan dihindari. Namun kenyataannya pertemuan tersebut tetap berlangsung sampai 4 kali hingga tahun 1980." Jenderal Nasution menolak menanggapi ucapan Norman. Namun ada alasannya kenapa ia menerima Imran sampai beberapa kali. "Sebagai seorang muslim saya tidak bisa mengusir tamu yang datang secara sopan dan baik. Lagipula setiap kali ia datang bukan atas panggilan saya," ujarnya. Jadi tokoh macam apa sebenarnya Imran itu? Semoga sederet panjang pertanyaan itu akan terjawab semuanya di sidang pengadilan nanti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus