Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ahmad Syafi'i Ma'arif *)
*) Ketua PP Muhammadiyah
KALAU formula A.J. Toynbee mengenai Tantangan dan Jawaban dipakai dalam membaca gerak sejarah Indonesia sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 sampai tahun 2000, kita akan melihat sebuah jejak perjalanan. Tahun 1945 sampai 1949 adalah tahap genesis (embrio sebuah negara) Indonesia. Kalaulah pihak Inggris dan Belanda tidak bernafsu meneruskan kembali ambisi kolonialnya dengan menggempur negara baru ini, peta politik Indonesia tahap ini akan berbeda sama sekali. Kita tidak bakal mengenal ungkapan Generasi 1945 dengan revolusinya yang saat itu merupakan jawaban terhadap tantangan pihak kolonial. Kita pun tidak akan mengenal makam pahlawan yang bertebaran di seluruh Tanah Air sebagai bukti betapa heroiknya bangsa ini mempertahankan proklamasi kemerdekaannya. Dan yang penting lagi, pemilihan umum akan dilangsungkan sekitar Februari 1946.
Dalam Aturan Tambahan (1) UUD 1945 terbaca, "Enam bulan sesudah berakhirnya peperangan Asia Timur Raya, Presiden Indonesia mengatur dan menyelenggarakan segala hal yang ditetapkan dalam UndangUndang Dasar ini." Artinya, melalui pemilu (tidak dikatakan secara eksplisit), sebuah Majelis Permusyawaratan Rakyat akan dibentuk dan, enam bulan sesudah itu, UUD yang permanen akan ditetapkan. Semua ini tidak terjadi karena pihak penjajah tidak rela melihat Indonesia merdeka. Namun, apa pun yang berlaku, pada tahap genesis itu, rakyat Indonesia telah berjaya memberikan jawaban seimbang terhadap tantangan yang muncul, sehingga republik proklamasi mampu bertahan dan akhirnya menang. Kemenangan ini ditopang oleh tiga pilar kekuatan: diplomasi, militer, dan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI)gabungan diplomasimiliterpimpinan Sjafruddin Prawiranegara di Sumatra, sekalipun dengan senjata ala kadarnya. Tercatatlah diplomatdiplomat ulung kita pada tahap genesis itu: Agus Salim, Hatta, Hamengku Bowono IX, Sutan Sjahrir, Ali Sastroamidjojo, Roem, L.N. Palar, Dr. Soedarsono, dan masih banyak yang lain. Presiden Sukarno pada waktu itu dikenal sebagai tokoh pemersatu bangsa. Sedangkan dari pihak militer menonjol nama Soedirman, A.H. Nasution, Oerip Soemohardjo, T.B. Simatupang, Alex Kawilarang, Zoelkifli Loebis, Soeharto, dan puluhan yang lain. Tahap berikutnya dalam formula Toynbee adalah tahap growth (pertumbuhan dan perkembangan). Periode ini berlangsung dari 1950 sampai 1997/98. Tantangan selalu datang bertubitubi, tapi masih dapat dijawab secara seimbang, hingga Indonesia terus bergerak maju. Namun, tahun 1997/98, diawali dengan krisis, tahap growth dalam teori Toynbee telah mencapai titik breakdown, tahap to be or not to be (hidup atau mati) bagi sebuah negara. Proses pembusukan sebenarnya telah tampak sejak awal 1970-an dengan mencuatnya borok korupsi Pertamina, tapi selalu ditutupi oleh rezim Orde Baru. Puncak titik breakdown ini berlangsung sejak tiga tahun lalu dengan dua nakhoda: B.J. Habibie dan Abdurrahman Wahid. Keduanya adalah orang pintar dalam kategorinya masingmasing, tapi samasama mengidap penyakit. Habibie tidak terlatih untuk mendengar orang lain, sementara Gus Dur dengan rasa PD (percaya diri)-nya yang kelewat besar mewarisi hampir semua kelemahan yang diidap para pendahulunya. Habibie setidak-tidaknya masih punya peta yang jelas akan ke mana republik ini dibawa, sementara Gur Dur tidak memilikinya. Dia juga dikenal sebagai presiden yang suka melanglang buana dengan biaya negara yang sangat besar, sementara rakyatnya menjerit kesakitan. Salah satu akibatnya, satu per satu teman dekatnya dulu yang kini sudah tidak tahan semakin menjauh. Jika kondisi buruk ini tetap saja berlangsung, tahap berikutnya, kata Toynbee, adalah terjadinya proses disintegration (terpecahbelah). Indonesia tampaknya sedang berada pada tahap ini, setelah republik ini bertahan selama 55 tahun dengan segala suka dan dukanya. Akankah kita hanyut ke proses berikutnya, yaitu tahap dissolution (lenyap dan bubar)? Pertanyaan inilah yang belum dijawab secara sungguhsungguh dan cerdas oleh sebagian besar elite kita. Ibarat burung alit, mereka masih saja menari dari kembang ke kembang, untuk meminjam Iqbal dalam sebuah sajaknya tentang kekerdilan kepribadian manusia. Batas antara tahap disintegration dan dissolution bisa berlangsung lama, agak lama, atau pendek sama sekali. Bisul-bisul disintegratif tengah meledak di Aceh dan Irian. Kondisinya semakin parah dari hari ke hari. Bubarnya Uni Soviet dan Yugoslavia adalah contohcontoh yang gamblang dan masih segar dalam memori kolektif kita, tapi mengapa kita tetap saja ibarat orang pikun dalam bersikap? Dalam pada itu, pada dataran moral, kabarnya, semakin banyak saja elite kita yang berselingkuh, sehingga RI (Republik Indonesia), yang suatu ketika pernah menjadi RIS (Republik Indonesia Serikat), tidak mustahil bakal menyandang gelar baru, RSI (Republik Selingkuh Indonesia). Penyakit masa lalu yang terkristal dalam formula KKN tetap saja berlangsung. Para pencoleng dan perampok uang negara malah diberi angin. Muncul istilah konglomerat hitam dan penjahat ekonomi. Hukum hanya purapura ditegakkan. Sebab, polisi, jaksa, dan hakim adalah produk lama yang telah berkubang dalam dosa kumulatif. Bangsa ini tampaknya adalah sebuah bangsa yang tidak atau mudahmudahan belum beruntung. Tapi, bila kita tetap saja berlagak pilon dan tidak punya keberanian untuk berkata dan bersikap benar, tahap dissolution bukan sesuatu yang mustahil bagi hari depan negara ini. Tidak bisa kita bayangkan pahitnya bila para pendiri Republik sempat menyaksikan proses pembusukan ini. Akhirnya, terserahlah kepada kita semua untuk menentukan sikap dan pilihan. Harihari Indonesia kini sudah di ambang petang menjelang senja. Terlambat berarti menyongsong sebuah kehancuran dan penderitaan yang belum terbayangkan betapa dahsyatnya. Karena itu, bila bangsa ini masih punya hati nurani, sekaranglah waktunya kita berembuk bersama mencari jalan keluar dari kebuntuan politik dan kepengapan budaya yang sangat serius kita rasakan. Para budayawan, sekaranglah saatnya berbicara, dan kemudian perlu diikuti oleh yang lain, sebelum semuanya menjadi sangat terlambat. Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
Edisi 1 Januari 2001 PODCAST REKOMENDASI TEMPO pendapat editorial cari-angin marginalia bahasa Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini Asas jurnalisme kami bukan jurnalisme yang memihak satu golongan. Kami percaya kebajikan, juga ketidakbajikan, tidak menjadi monopoli satu pihak. Kami percaya tugas pers bukan menyebarkan prasangka, justru melenyapkannya, bukan membenihkan kebencian, melainkan mengkomunikasikan saling pengertian. Jurnalisme kami bukan jurnalisme untuk memaki atau mencibirkan bibir, juga tidak dimaksudkan untuk menjilat atau menghamba ~ 6 Maret 1971 © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum |