Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Kepemimpinan Kerumunan

29 Oktober 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Imam B. Prasodjo, Ph.D. *)
*) Direktur The Center for Research on Intergroup Relations and Conflict Resolution (CERIC), FISIP UI

Awal abad ini kita masuki dengan sebuah pertanyaan: "Betulkah saat ini kita memasuki era fragmentasi sosial?" Ilmuwan sosial seperti Michel Maffesoli (1996) menulis buku, The Time of the Tribes, untuk menggambarkan betapa kini telah lahir fakta sosial baru—neotribalism. Berbagai benturan sosial dahsyat antarkelompok identitas yang tumbuh atas dasar ikatan etnik, ras, bahasa, budaya, agama, asal daerah, dan faktor lain, kini dirasakan mengancam peradaban manusia. Michael Freeman (1998) pun khawatir, "Apakah saat ini kita sedang menyaksikan kembalinya era primitif?"

Kerisauan samacam ini seharusnya lebih menghinggapi perasaan kita di Indonesia. Hadirnya reformasi, yang sungguhpun disambut rasa antusias dan penuh harap, diiringi juga dengan rasa waswas. Upaya keluar dari krisis ekonomi ternyata diikuti krisis sosial bertubi-tubi yang semakin tak terkendali. Berbagai benturan sosial di berbagai wilayah segera menyadarkan bahwa kita kini berada di ujung tebing disintegrasi sosial.

Atmosfer "pertempuran" ini ternyata terefleksi juga dalam pertentangan antarelite politik. Proses reformasi telah mendorong bergantinya "kelas penguasa baru" (the new ruling class), yang berdampak pada munculnya ketegangan-ketegangan sosial. Gejolak sosial terlihat semakin merebak, selain akibat konflik elite politik, juga karena rentannya struktur masyarakat kita. Kini, pertanyaan pun muncul, seperti apakah umumnya tipe elite politik kita, dan bagaimanakah tatanan masyarakat kita.

Transformasi Sosial dan Tipe "Baru" Elite Politik

Gejolak sosial yang terjadi di Indonesia sedikit banyak terkait dengan transformasi sosial di dunia internasional. Runtuhnya blok Soviet dan memudarnya komunisme telah menciptakan perubahan tatanan politik pada akhir abad ke-20. Ironisnya, dengan selesainya Perang Dingin dan terjadinya transformasi sosial, tumbuh tatanan masyarakat baru yang diwarnai dengan maraknya pengelompokan sosial yang bernuansa "primitif", yang dalam istilah Maffesoli (1996), disebut "kerumunan tanpa wajah" (the faceless crowd) atau "tribalisme". Yang mengkhawatirkan dalam konfigurasi sosial baru ini adalah munculnya konflik brutal antarkelompok identitas, sebagaimana tejadi di Rwanda, Somalia, Burundi, dan Bosnia-Herzegovina. Kini, ketegangan pun tampak meluas. James Rosenau pun mengatakan, "Semakin cepat tingkat perubahan, semakin besar kemungkinan terjadinya kekerasan komunal."

Perubahan di tingkat global ini tentu berpengaruh penting pada masyarakat Indonesia. Apalagi, saat ini hampir tak ada satu pun bagian dunia yang tak terkait dengan situasi global. Namun, kondisi sosial-politik lokal Indonesia sendiri juga sangat menentukan corak gejolak sosial yang terjadi. Otoritarianisme panjang sejak 1959, dan proses pembangunan nonpartisipatif selama Orde Baru, ikut mempertajam fragmentasi sosial. Proses pembangunan sentralistik telah menciptakan semakin tegasnya garis-garis batas antarkelompok sosial, yang tidak saja semakin memisahkan masyarakat ke dalam kelompok kaya dan miskin, tetapi sekaligus mengelompokkan mereka atas dasar etnis (kultur), ras (ciri-ciri fisik), dan agama. Akibatnya, masyarakat Indonesia terbagi ke dalam sekat-sekat komunitas emosional yang tak memiliki saluran sosiokultural (sociocultural linkages) satu dengan lainnya.

Dalam rahim sosial semacam inilah tipe kepemimpinan politik era reformasi dilahirkan. Panggung politik kita dihiasi oleh banyaknya elite politik, wakil dari komunitas-komunitas emosional masyarakat. Sirkulasi kekuasaan yang tak normal yang terjadi selama kekuasaan Orde Lama dan Orde Baru serta-merta menghasilkan figur-figur pemimpin politik dadakan, yang tumbuh bukan dari hasil seleksi ketat, tapi akibat peristiwa insidental dari suatu kerumunan massa. Reformasi yang terjadi di tengah munculnya kerumunan-kerumunan marah (angry crowds) kemudian menjadi tempat subur bagi lahirnya tipe "kepemimpinan kerumunan" (crowd leadership). Kepemimpinan semacam ini tidak saja muncul di kalangan para elite partai, tapi juga elite lembaga swadaya masyarakat.

Apa jadinya bila panggung pemimpin politik kita dipenuhi oleh tokoh bertipe crowd leaders? Sigmund Freud (1921) memperkenalkan hypnotic theory untuk menjelaskan model kepemimpinan ini. Menurut dia, dalam tipe kepemimpinan ini pola hubungan pemimpin terhadap pengikutnya seperti menjelma bagai seorang aktor panggung yang mampu "menghipnotis" penontonnya dalam sebuah pertunjukan. Karena itu, adanya pola hubungan yang bersifat rasional dan kritis akan sulit ditemui karena para pendukung itu mengalami keterkaguman luar biasa terhadap pemimpinnya.

Teori hiptonis Sigmund Freud ini terlihat paralel dengan teori Max Weber tentang kepemimpinan karismatik. Pola kepemimpinan karismatis juga melihat adanya hubungan kekuasaan yang sangat asimetris antara pemimpin dan yang dipimpin. Karisma dapat melekat pada seorang pemimpin sebagai akibat adanya persepsi rakyat bahwa pemimpinnya itu memiliki "suatu sifat dari suatu kepribadian yang berbeda dari orang biasa dan diperlakukan seolah-olah diberkati dengan kekuatan gaib, melebihi manusia biasa, atau setidak-tidaknya dengan kekuatan atau kecakapan yang luar biasa."

Karena itu, sulit diharapkan bahwa tipe kepemimpinan semacam ini akan produktif dalam membangun iklim demokrasi. Demokrasi hanya dapat dibangun secara sehat bila berkembang prinsip dasar otonomi tiap-tiap individu, yang oleh David Held (1987, hlm. 271) disebut democratic autonomy. Artinya, tiap-tiap individu harus memiliki kebebasan dan kesetaraan dalam menentukan nasib kehidupannya, dan mereka harus mendapat hak dan kewajiban yang sama.

Namun, dalam suatu masyarakat yang tengah mengalami fragmentasi sosial, tipe pemimpin karismatik sebenarnya dapat berfungsi sebagai lambang persatuan, dan dapat dijadikan alat untuk menciptakan suatu konsensus nasional, khususnya bila karisma yang ada dapat dikelola sedemikian rupa sehingga mampu memperoleh kesetiaan semua atau sebagian besar kelompok yang ada. Tetapi, sebaliknya, pola kepemimpinan karismatik dapat pula membahayakan kehidupan masyarakat karena kepemimpinan semacam ini dapat dengan mudah membangkitkan emosi pendukungnya. Bila terjadi perseteruan antarpemimpin politik karismatik, masing-masing kelompok pendukung emosionalnya akan dengan mudah pula terseret dalam arena konflik.

Hal yang lebih mengkhawatirkan, tipe pemimpin karismatik ini cenderung kurang menghargai kekuasaan yuridis impersonal yang didasarkan pada norma rasional. Padahal, demokrasi hanya dapat berjalan baik manakala aturan yang disepakati bersama dapat ditegakkan. Kepemimpinan karismatik juga bersifat tidak stabil, suka menciptakan hal-hal baru, dan perilakunya cenderung sulit diprediksi. Akibat dari hal ini, upaya institution building atau membangun tatanan sosial atas dasar rule of law akan sulit dilakukan. Dengan kata lain, para pemimpin karismatik, yang biasanya lahir di tengah situasi ketidakpastian, pada gilirannya akan menciptakan ketidakpastian baru.

Darurat Multidimensional

Saat pertama kali reformasi digulirkan, harapan pertama yang tumbuh adalah segera dilakukannya pergantian kepemimpinan politik secara fundamental. Reformasi akan sulit dilaksanakan tanpa adanya perubahan komposisi elite politik. Karena itu, saat terjadi Sidang Istimewa MPR 1998 sebagai akibat desakan reformasi, dikeluarkan Ketetapan MPR RI Nomor XIV/MPR/1998, yang salah satu pasalnya berisi percepatan penyelenggaraan pemilihan umum.

Namun, mekanisme pemilu yang dilaksanakan tahun lalu belumlah menghasilkan wakil rakyat yang benar-benar didasarkan atas proses pemilihan rasional dari tiap-tiap individu pemilihnya. Pemilu yang dilaksanakan dengan mengadopsi sistem proporsional dan dilakukan secara terburu-buru tidak memungkinkan para pemilih mengenal calon wakilnya. Kontrol lebih besar dalam menentukan komposisi para elite politik justru terletak pada para pengurus partai, bukan para pemilih, karena memang merekalah yang sejak awal menentukan daftar calon wakil rakyat di tiap daerah pemilihan. Ini semua mengingatkan pada kritik atas distorsi demokrasi yang dikemukakan G. Mosca (1939), yang menyebut bahwa wakil rakyat pada hakikatnya tidak ditentukan oleh para pemilih dalam pemilu, tapi oleh "para bos partai". Akibatnya, para wakil rakyat pun lebih cenderung berperan sebagai alat kekuasaan ketua partai.

Namun, distorsi yang lebih permanen justru terletak dalam struktur masyarakat sendiri, yang belum memberi peluang luas untuk munculnya kemandirian tiap-tiap warga. Situasi sosial dalam masyarakat kita hingga kini masih ditandai oleh kuatnya struktur masyarakat komunal yang diikat oleh ikatan-ikatan primordial ketat atau struktur paternalistik yang menghambat tumbuhnya proses kemandirian tiap-tiap individu. Bahkan, komunitas sering secara sosial dan kultural bersifat opresif terhadap anggota-anggotanya. Padahal, demokrasi mensyaratkan tumbuhnya masyarakat yang di dalamnya terdiri dari individu yang bebas dan setara sehingga dalam berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara otonom.

Saat ini, sulit disangkal bahwa komposisi elite politik utama di era reformasi ini masih merupakan refleksi dari tatanan masyarakat komunal. Bila kita ambil contoh tiga figur politik utama—Abdurrahman Wahid, Megawati, dan Amien Rais, sulit untuk dimungkiri bahwa mereka adalah tipe pemimpin yang secara eksklusif mewakili kelompok-kelompok emosional. Para pemimpin baru lain juga banyak yang lahir dari hasil kerumunan (seperti aksi protes dan demonstrasi).

Sekali lagi, bila para tokoh ini mampu bersinergi dan bersama-sama sepakat membangun atauran hukum bersama (institution building) dan memiliki komitmen menghormati rules of law yang telah disepakati, dampak negatif dari pola kepemimpinan semacam ini dapat dihindari. Namun, sebaliknya, bila hal ini tak dapat dilakukan, yang akan terjadi adalah timbulnya gejolak sosial dahsyat yang berkepanjangan.

Dari uraian ini, beberapa proposisi dapat disusun. Sebuah negeri yang para pemimpin utamanya lahir dari komunitas emosional ataupun kerumunan, dan para pemimpin itu gagal melakukan sinergi atau bahkan berkonflik satu sama lainnya, maka masyarakat di dalamnya akan dihadapkan pada situasi sangat rawan. Semakin tinggi intensitas konflik yang terjadi di kalangan elite ini, semakin tinggi pula tingkat kerawanan sosial yang akan terjadi. Semakin tinggi derajat emosi para elite politik berseteru, semakin tinggi pula keterlibatan emosional para pengikutnya. Bila konflik antarelite menjadi tak terkendali, benturan sosial antarkelompok pendukungnya akan bersifat brutal.

Bila konflik brutal terjadi di mana-mana, dan telah mengakibatkan ribuan penduduk mati atau terluka, memunculkan arus pengungsi besar yang hidup di tenda-tenda dalam keadaan lapar berkepanjangan dan trauma, maka negeri itu akan mengalami situasi complex emergencies, yakni suatu situasi darurat multidimensional yang membawa penderitaan luar biasa pada penduduk. Bila ini terjadi, apa pun kemakmuran yang tersedia dalam negeri itu, tak sedikit pun akan berarti.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum