Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KETERLIBATAN pejabat negara setingkat menteri dalam Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian memperlihatkan betapa asas kepatutan dan potensi konflik kepentingan selalu saja dengan enteng diabaikan. Mustahil para pejabat itu tak tahu-menahu ihwal yang sebenarnya bersifat universal ini. Barangkali mereka tak peduli karena tak ada aturan yang melarang. Tapi ada kesan kuat mereka meremehkan komplikasi yang mungkin timbul sehubungan dengan pengabaian itu.
Ketentuan tertulis bagi pejabat negara dalam kepengurusan—pembina, pengurus, dan pengawas—yayasan memang nihil. Yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 (sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan) adalah larangan rangkap jabatan pengurus menjadi anggota direksi atau komisaris badan usaha milik yayasan, serta rangkap jabatan dalam kepengurusan yayasan. Ketentuan ini berlaku bagi siapa pun, tak peduli orang biasa atau pejabat.
Andai Djoko Suyanto, Purnomo Yusgiantoro, dan Sutanto bukan siapa-siapa, tak ada masalah dengan fungsi mereka sebagai pembina yayasan. Tapi mereka adalah pejabat dan mantan pejabat—hanya M.S. Hidayat yang orang swasta, yakni Ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia—saat mendirikan yayasan pada awal 2008 (Djoko ketika itu baru saja pensiun sebagai Panglima Tentara Nasional Indonesia).
Kini Sutanto menjadi Kepala Badan Intelijen Negara, sementara Djoko, Purnomo, dan Hidayat menjadi pembantu presiden dalam kabinet. Semua kedudukan itu, bagaimanapun, berpotensi menimbulkan penyalahgunaan jabatan. Dan ini bisa memunculkan syak mengenai kepatutan dan, lebih-lebih lagi, konflik kepentingan.
Dalam yayasan, konflik kepentingan terjadi bila kepentingan pembina, pengurus, juga pengawasnya bergesekan dengan kepentingan yayasan. Misalnya yayasan ingin meminta nasihat investasi dari perusahaan milik anggota dewan pembina atau menyewa gedung perkantoran milik keluarga anggota dewan pembina.
Pada beberapa kasus, transaksi yang mengandung konflik kepentingan merupakan pelanggaran hukum—walau mungkin dalam situasi tertentu yayasan diuntungkan. Tapi, apa pun niat dan hasilnya, yayasan dan pembina serta pengurusnya seharusnya berhati-hati manakala hendak melakukan transaksi. Mereka mestinya waspada terhadap segala tindakan yang bisa menimbulkan gesekan dengan kepentingan yayasan, atau menempatkan yayasan dalam posisi sulit atau tercela.
Ketidakhati-hatianlah yang tampak dilakukan oleh pengurus—yang sangat mungkin diketahui pembina—Yayasan Kesetiakawanan dan Kepedulian saat menerima dana dari Joko Tjandra. Duit US$ 1 juta (Rp 9 miliar lebih) dari pengusaha yang kini buron itu diduga mengalir menjelang masa kampanye pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono pada pemilu tahun lalu. Djoko membantah tudingan bahwa duit itu dipakai mendanai kampanye. Meski demikian, dia atau pembina lainnya tak serta-merta bebas dari posisi yang dianggap tak patut. Sebab, yayasannya menerima sumbangan dari orang yang bermasalah dengan hukum, yang kemudian bahkan seharusnya berada di penjara. Djoko dan sekalian tokoh beken tadi juga dikenal luas sebagai penyokong keras Presiden Yudhoyono.
Rasanya tak pantas sebuah yayasan yang didirikan oleh para pejabat dan menteri kemudian mengundang pengusaha-pengusaha pemilik duit untuk ikut berpartisipasi. Terlepas dari apakah yang diundang itu orang-orang berkredibilitas tanpa noda atau yang berada di wilayah ”kelabu”, para pengusaha itu ditempatkan dalam posisi sulit untuk tidak menyumbang. Diakui atau tidak, pasti ada ekspektasi pula bahwa dukungan untuk yayasan itu bisa menjadi ”investasi” bagi keperluan lain yang segera maupun di masa depan.
Asas timbal-balik sepertinya berlaku dalam urusan sumbangan ini. Barangkali banyak yang sudah lupa, hal serupa dulu terjadi dengan yayasan-yayasan yang ”berafiliasi” dengan Presiden Soeharto. Kita tahu, badan-badan sosial berdana besar yang sebagian melibatkan pejabat negara sebagai pengurusnya itu sekaligus berperan menghimpun kroni bisnis dan politik.
Praktek semacam itu mestinya sudah ditinggalkan. Karena itu, sudah seharusnya dibuat ketentuan-ketentuan tertulis untuk mengatur pendirian yayasan oleh pejabat dan yang melibatkan pejabat dalam organnya. Bila bukan dengan mengubah undang-undang, hal ini bisa dilakukan dengan membuat aturan di bawahnya. Di samping aturan-aturan hukum itu, rasa kepantasan dan etika penting ditunjukkan, agar hal serupa tak akan terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo