Istilah tax holiday (mari kita Indonesiakan: libur pajak), yang melekat pada upaya pembangunan ekonomi tahun 1960-70-an, mendadak dihidupkan kembali. Satu surat keputusan tentang itu ditandatangani Presiden Habibie. Insentif bebas pajak ini khusus dimaksudkan untuk apa yang disebut sebagai industri pionir, misalnya industri petrokimia, kilang minyak, dan elektronik. Untuk Jawa dan Bali, periode bebas pajak berlaku tiga tahun. Di luar kedua pulau itu berlaku lima tahun.
Masalahnya kini: apakah libur pajak tidak terlalu kuno untuk melicinkan ketersendatan investasi? Sebagai iming-iming ekstra untuk menarik investor asing, libur pajak mungkin bisa efektif, asalkan prakondisi yang lain terpenuhi: ada stabilitas, ada pemerintah yang bersih, ada kepastian hukum. Namun, kalau cuma mengandalkan libur pajak, dalam kondisi serba tak pasti, hampir bisa dipastikan tidak akan ada yang tertarik menanam modalnya di negeri ini. Salah-salah libur pajak hanya akan menimbulkan masalah, kalau misalnya kriteria tentang industri pionir tidak dirumuskan dengan ketat. Industri petrokimia model apa misalnya yang terkategori pionir, setelah ada megaproyek seperti Chandra Asri? Dikhawatirkan, dengan pemberlakuan libur pajak, iklim berusaha yang sehat akan terhambat.
Selain itu, pengalaman masa lampau membuktikan bahwa libur pajak merupakan simbol kerja sama alias kolusi yang kompak antara pengusaha dan pejabat pemerintah. Apalagi industri yang dibangun dengan fasilitas libur pajak biasanya memerlukan banyak komponen impor. Nah, dengan libur pajak, tanpa menunggu lama, proyek yang baru dibangun sudah meraup untung. Mungkin tidak persis demikian, tapi juga tidak meleset terlalu jauh. Caranya, berbagai barang modal yang diimpor itu, berkat libur pajak, harganya menjadi jauh lebih rendah dibanding harga barang dengan kualitas sama tapi diimpor secara normal, yakni dengan membayar bea masuk.
Barang-barang itu tentu menjadi sangat kompetitif dan pasti sangat laku di pasaran. Perusahaan yang mendapat fasilitas libur pajak, diam-diam, melempar barang impor yang bebas pajak itu ke pasar dan menikmati keuntungan berlipat ganda. Sulit mencari bukti-bukti konkret praktek ini. Namun, satu pelajaran bisa ditarik dari sini, yaitu fasilitas libur pajak mengandung celah-celah hukum yang rawan sehingga bisa menjadi bumerang bagi perekonomian itu sendiri.
Justru karena lebih banyak mudarat daripada manfaatnya, fasilitas libur pajak kemudian dihapuskan. Kalau kini fasilitas itu dihidupkan kembali, berarti pemerintah Habibie enggan belajar dari sejarah. Di samping itu, juga terkesan tidak kreatif karena tidak mencoba menyusun strategi baru di bidang industri, strategi yang membuka peluang agar industri yang kelak berkembang tidak besar pasak dari tiang. Tentu saja industri menuntut inovasi, dan agaknya dalam menjawab tuntutan itulah para teknolog Indonesia akan menemukan perannya. Ini dilakukan Thailand melalui budi daya bibit unggul atau Singapura melalui kualitas prima di bidang industri jasa-jasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini