Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sekitar tiga setengah tahun lalu kita dikejutkan dengan berita 35 narapidana di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Kerobokan, Denpasar, terinfeksi HIV. Lalu muncul berita, 21 napi LP Paledang, Bogor, terinfeksi HIV, dan 2 orang meninggal karena AIDS. Selanjutnya 39 napi LP Wirogunan, Yogya, juga diketahui terinfeksi HIV, dan 14 orang telah sampai ke tahap AIDS. Bahkan beberapa napi meninggal karena AIDS.
Penularan penyakit HIV/AIDS di LP umumnya terjadi akibat penggunaan narkotik suntikan dan mungkin juga penularan seksual sesama napi laki-laki. Seperti diketahui, bila seseorang terinfeksi HIV, beberapa tahun kemudian akan masuk tahap AIDS dan meninggal bila tidak diobati.
LP Cipinang dan Rumah Tahanan (Rutan) Salemba dipadati oleh tahanan kasus narkotik. Hingga beberapa waktu yang lalu, dari sekitar 1.500 napi di LP Cipinang, 186 orang di antaranya terkait kasus narkotik. Ini belum termasuk 38 napi asing dari Nepal, Myanmar, dan Thailand yang juga terkait kasus yang sama (Kompas, 23 Februari 2000).
Kondisi di Rutan Salemba kurang lebih sama, dihuni sekitar 1.500 tahanan dengan 207 di antaranya adalah napi kasus narkotik. Yang menyedihkan lagi, diakui bahwa memang ada transaksi narkotik di dalam penjara.
Dari data tersebut jelas bahwa masalah HIV/AIDS di lembaga pemasyarakatan telah menjadi masalah yang serius, dan sebagian besar penularan melalui suntikan narkotik.
Pengguna narkotik suntik mempunyai risiko tinggi untuk tertular oleh virus HIV atau bibit-bibit penyakit lain yang dapat menular melalui darah. Penyebabnya adalah penggunaan jarum suntik secara bersama dan berulang yang lazim dilakukan oleh sebagian besar pengguna narkotik. Di kalangan ini, sudah biasa bila satu jarum suntik dipakai bersama oleh 2 sampai lebih dari 15 orang pengguna narkotik.
Walaupun harga jarum suntik sebenarnya relatif murah, banyak pengguna narkotik yang enggan menggunakan uangnya untuk membeli jarum suntik baru. Mereka umumnya beranggapan lebih baik uangnya digunakan untuk membeli narkotik.
Tragisnya, selain terkena HIV, hampir semua, lebih dari 80 persen, pengguna narkotik juga terinfeksi virus hepatitis C. Tambahan lagi, tuberkulosis paru dan infeksi pada katup jantung juga adalah penyakit yang sering dijumpai pada penderita infeksi HIV/AIDS pengguna narkotik.
Selain pemakaian jarum suntik bergantian dan hubungan seksual antarlelaki, ada beberapa faktor yang mempermudah penularan HIV di LP. Di antaranya adalah iklim kekerasan yang kerap kali melingkupi penghuni LP, ketegangan dan ketakutan, kurangnya informasi mengenai HIV/AIDS, kecenderungan membuat tato dengan peralatan tidak steril, serta jumlah napi yang melebihi daya tampung. Rutan Salemba, misalnya, dengan daya tampung sekitar 750, kadang terisi lebih dari 1.400 napi, sedangkan LP Cipinang kadang dihuni 2.300 orang padahal kapasitasnya 1.789 (data per Agustus 2001).
Hubungan seksual antarlelaki terjadi di LP di Indonesia maupun di luar negeri. Di Zambia, Australia, dan Kanada, angka kejadiannya 6-12 persen. Namun sebuah survei di Rio de Janeiro, Brasil, menunjukkan angka kejadian yang amat tinggi, yaitu 73 persen napi melakukan hubungan homoseksual selama di dalam tahanan. Hubungan seksual tersebut dapat berdasar suka sama suka, tapi cukup sering terjadi pemaksaan sampai dengan pemerkosaan.
Prevalensi yang tinggi dari berbagai penyakit, mulai dari HIV/AIDS, hepatitis, hingga tuberkulosis di LP, merupakan masalah yang serius untuk Indonesia, karena secara tidak langsung akan mempengaruhi prevalensi berbagai penyakit tersebut di masyarakat umum.
Seperti diketahui, populasi LP merupakan masyarakat yang cepat berganti. Sebagian tahanan pada satu saat dibebaskan, dan tahanan baru masuk LP. Karena karakter khas ini, ada beberapa prinsip umum yang perlu dipahami untuk menyikapi masalah HIV/AIDS di LP.
Pertama, napi memiliki hak yang sama, yakni hak untuk tidak didiskriminasi dengan anggota masyarakat di luar LP dalam mendapatkan akses di pelayanan kesehatan, termasuk upaya pencegahan.
Kedua, prinsip dasar penanggulangan HIV/AIDS nasional perlu diterapkan dengan adil, tidak berbeda baik di dalam penjara maupun di masyarakat umum. Tindakan diskriminatif tidak hanya salah, tapi juga akan menimbulkan dan mempertahankan kondisi yang memudahkan penularan HIV/AIDS. Diskriminasi menciptakan suasana lingkungan yang menyulitkan perubahan perilaku dan menghambat masyarakat menanggulangi masalah HIV/AIDS.
Setiap narapidana, termasuk napi dengan HIV, tetap mempunyai hak asasi yang perlu dihormati, misalnya hak akan rasa aman. Tak seorang pun boleh diisolasi atau dipisahkan dari masyarakat atau lingkungannya, hanya karena ia terinfeksi HIV atau sakit AIDS. Di penjara pun, seorang tahanan yang terinfeksi HIV tidak boleh diisolasi dari tahanan lain, kecuali semata-mata alasan medis, misalnya sakit tuberkulosis paru yang riaknya banyak mengandung basil tb.
Hak berikutnya adalah hak untuk mendapat layanan kesehatan. Saat ini dapat dikatakan bahwa pelayanan kesehatan untuk napi yang terinfeksi HIV hampir tidak ada sama sekali, padahal napi mempunyai hak yang sama dengan kita semua untuk mendapat akses obat AIDS (ARV, obat anti-retroviral) yang murah. Bahkan, kalau kita mau melihat sisi positifnya, napi dengan HIV bisa "membantu" pemerintah mencapai target 10.000 orang yang harus mendapat ARV di Indonesia pada tahun 2005.
Upaya-upaya pencegahan penularan HIV/AIDS di LP seharusnya disusun dan dikembangkan atas kerja sama pimpinan dan staf LP, Departemen Kesehatan, dan wakil-wakil dari masyarakat yang relevan, termasuk di antaranya adalah lembaga swadaya masyarakat.
Untuk merancang kegiatan tersebut diperlukan data kebutuhan para napi, sipir, pimpinan LP, dan keluarga napi. Dengan kata lain diperlukan needs assessment. Untuk diketahui, suasana lingkungan penjara amat dipengaruhi oleh staf LP dan napi. Karena itu kedua kelompok ini perlu berpartisipasi aktif untuk mengembangkan dan menerapkan upaya-upaya pencegahan, aktif menyebarluaskan informasi yang relevan, serta menghindari diskriminasi.
Penyuluhan sebaya (peer group education) amat bermanfaat dan lebih efektif dibandingkan dengan penyuluhan oleh dokter maupun ahli komunikasi. Upaya pencegahan tersebut mestinya melengkapi dan sejalan dengan yang dilakukan di masyarakat umum.
Strategi pencegahan penularan HIV di LP perlu mengacu pada kenyataan di LP, yaitu adanya perilaku yang berisiko HIV, khususnya penggunaan jarum suntik narkotik yang dipakai bergantian oleh napi, dan kenyataan adanya hubungan seksual. Penyuluhan dan pendidikan kesehatan yang ditujukan kepada napi harus secara realistis mencapai perubahan kebiasaan dan perilaku berisiko tertular HIV, baik di penjara maupun sesudah dibebaskan.
Penderita infeksi HIV/AIDS mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan dan penyuluhan kesehatan. Pendidikan bagi pengidap infeksi HIV/AIDS seharusnya tidak dibatasi, dan interaksi sosial di LP perlu dibina dengan baik agar mereka tidak tersingkir.
Untuk mencapai perubahan perilaku, diperlukan beberapa tahap yang dimulai dengan pengetahuan dan pemahaman bahwa napi mempunyai risiko tinggi tertular HIV.
Berikutnya adalah upaya membangun motivasi para napi agar menerapkan upaya pencegahan, disusul dengan perubahan perilaku yang akhirnya diusahakan agar perubahan perbaikan perilaku yang sudah terjadi dapat dipertahankan.
Respons terhadap epidemi AIDS di lembaga pemasyarakatan harus tecermin pada perubahan perilaku, baik perilaku perseorangan maupun perubahan perilaku institusional.
Yang tidak kalah pentingnya adalah hak asasi untuk napi perempuan. Diskriminasi terhadap perempuan, de facto dan de jure, memudahkan perempuan terinfeksi HIV. Subordinasi perempuan di dalam keluarga, di masyarakat, dan di LP merupakan faktor penting yang menyebabkan peningkatan kecepatan infeksi HIV pada perempuan.
Diskriminasi yang berlatar belakang ketimpangan gender juga menyulitkan perempuan sewaktu menghadapi konsekuensi infeksi HIV pada diri mereka, ataupun infeksi HIV pada anggota keluarganya.
Sebagai penutup, saya ingin menegaskan bahwa sejak kasus AIDS pertama kali ditemukan di Indonesia pada 1985, sudah cukup banyak program kegiatan penanggulangan AIDS yang terbukti efektif yang sudah kita terapkan untuk menekan kecepatan peningkatan prevalensi HIV/AIDS di negeri ini.
Namun, sejalan dengan semakin baiknya kemampuan diagnosis, pengobatan, dan dukungan, ternyata semakin besar pula tantangan yang kita hadapi. Kemampuan tersebut seolah berlomba dengan peningkatan jumlah infeksi baru yang dipicu antara lain oleh penggunaan narkotik suntikan dan praktek seks tidak aman, seperti yang banyak terjadi di LP kita.
Alhasil, masih banyak tugas berat yang harus diselesaikan oleh kita bersama. Tidak hanya oleh kalangan medis, tapi juga oleh seluruh lapisan masyarakat dari beragam profesi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo