Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hidup di Zaman Truman

MOP (Mbikin Orang Panik), sebuah acara reality show di salah satu stasiun televisi swasta kita, kini tinggal sejarah. Kita tahu, MOP telah makan korban: dipecatnya seorang anggota Kepolisian Sektor Kebon Jeruk (perkembangan terakhirnya, ia hanya dimutasi). Para pemirsa televisi, pencinta reality show, terkejut. Adakah harga yang begitu tinggi untuk mewujudkan insting humor, gairah untuk tertawa? Spontan, Ngacir, Emosi, Kopaja, Paranoid, H2C, Playboy Kabel, Mimpi Kali Yee, Katakan Cinta dan—tentu saja—MOP adalah sejumlah acara yang mendapat inspirasi dari Amerika. Ya, reality show adalah barang impor dari Amerika, yang memiliki perjalanan sejarah panjang. Disukai penonton, tapi sarat kontroversi. Rubrik Layar kali ini mencoba memotret perkembangan reality show di negeri ini maupun Amerika untuk Anda.

28 Juni 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seahaven adalah sebuah kampung kecil yang damai, tenteram, dan penuh dengan kesempurnaan yang mencurigakan. Truman Burbanks (Jim Carey), eksekutif sebuah perusahaan asuransi, semenjak kanak-kanak tak tahu bahwa ibu, istri, para tetangga, sejawat kantor, dan seluruh warga kampungnya adalah aktor yang diciptakan sutradara dan penulis skenario Christof (Ed Harris), bahwa kota itu—tempat tinggalnya, yang berada di tepi pantai—adalah sebuah studio besar, bukan kehidupan sebenarnya (TEMPO, 16 November 1998). Kota itu adalah sebuah studio besar. Tingkah laku Truman dari kecil hingga dewasa dihadirkan untuk pemirsa televisi. Kejanggalan demi kejanggalan makin dirasakannya, hingga membuat Truman bertanya-tanya. Di kemudian hari, dia baru menyadari kehidupannya sejak lahir telah diintip oleh 500 buah kamera yang mengintip kehidupan panggung buatan sebuah industri bernama rumah produksi reality show. Film karya Peter Weir ini adalah sebuah satire bagi invasi reality show ke dalam kosakata dunia televisi. Hingga saat ini, Indonesia belum memiliki reality show yang edan seperti itu. Namun, AS dan Eropa sudah lama memiliki TV kabel yang khusus menayangkan puluhan reality show. Banyak acara yang dianggap menghibur, namun tak sedikit acara genre ini yang sangat mengganggu karena dianggap terlalu mengkomersialkan kehidupan pribadi seseorang. Dihentikannya tayangan reality show di RCTI , menyusul rekomendasi dipecatnya (akhirnya cuma dimutasi) anggota Polsek Kebon Jeruk oleh Polda Metro Jaya karena terlibat acara MOP (Mbikin Orang Panik), adalah satu peristiwa penting bagi dunia pertelevisian Indonesia. Majelis Kode Etik Kepolisian Polda Metro menganggap Inspektur Satu Polisi Sunarjo, Kepala Unit Patroli Sektor Kebon Jeruk, bersalah karena turut berpura-pura menangkap dan menuduh mahasiswa Universitas Indonesia Unggul, Edward Supiko, 23 tahun, membawa ganja. Dengan mobil patroli, Edward Supiko digelandang ke Polsek Kebon Jeruk dan dilucuti hingga hanya bercelana pendek. Acara reality show di AS dan Eropa lahir, antara lain, karena kecenderungan masyarakat yang individualistis. Dalam kehidupan sosial sehari-hari, mereka cenderung tak bertandang antartetangga, namun diam-diam ingin mengetahui apa isi "perut" rumah tangga orang lain. Naluri itu dipuaskan lewat televisi. Maka, lahirlah film American Family (1973), yang menampilkan potret keluarga cerai dengan banyak anak. Publik AS ingin tahu bagaimana isi kehidupan sebuah keluarga yang retak. Selanjutnya, reality show dikembangkan dengan menjelajahi perbedaan kelas. Setahun kemudian, Inggris melahirkan program sejenis berjudul The Family. Inilah kisah sehari-hari keluarga Wilkins, sebuah keluarga dari kalangan buruh. Sebaliknya, Australia melahirkan Nouveau Riche, yang menampilkan kehidupan keluarga Baker Donather, keluarga kaya baru dari Sydney. Reality show semakin menjulang tatkala MTV The Real World menampilkan potret sehari-hari mantan vokalis grup cadas Black Sabbath, Ozzy Osbourne, beserta keluarganya dalam serial The Osbournes. Atau The Anna Nicole Show, yang menampilkan Anna Nicole, bekas foto model majalah Playboy. Sejauh ini, Indonesia belum melahirkan reality show tentang kehidupan keluarga seperti itu. Lazimnya, kehidupan keluarga itu, meski "hanya" menampilkan keseharian, harus berani tampil apa adanya. Ozzy Osbourne tak pernah menggunakan sensor apa pun (dan hanya produser dan sutradaranya yang sibuk menghilangkan kata-kata makian yang meluncur dari mulut Ozzy dan Sharon, istrinya), hingga penonton menyukai acara yang sering kali berani menampilkan kehidupan keluarga rock yang tak lazim itu. Indonesia masih pada tahap produksi reality show dalam candid camera, acara-acara yang mengandalkan kamera tersembunyi. Adalah Allen Funt pada tahun 1953 yang melahirkan Candid Camera, sebuah bentuk reality show paling dasar. Konsepnya adalah menempatkan seseorang pada situasi tertentu yang membuatnya bereaksi spontan. Ekspresi itu menampilkan kondisi dasar manusia, seperti marah, gemas, ketakutan, dan malu. Spontan, Ngacir, Emosi, Kopaja, Paranoid, H2C, Playboy Kabel, Mimpi Kali Yee, Katakan Cinta, dan MOP adalah jenis itu. Yang membedakan reality show Indonesia dengan Candid Camera adalah tingkat kecerdasannya. Acara Candid Camera pernah meletakkan seorang bayi dalam keranjang di trotoar toko. Yang ingin dihadirkan kepada pemirsa adalah reaksi orang lewat. Dari situ dapat dilihat sifat dasar manusia, apakah ia seorang penolong, ragu-ragu, atau cuek. Sementara itu, rata-rata reality show kita memiliki konsep yang cenderung usil. Sebagian pemirsa Indonesia menganggapnya lucu, sebagian besar lagi menganggapnya konyol. Inilah acara yang mengutamakan " laughing at the expense of other people", menertawakan orang dengan mengorbankan orang lain. CBS di AS pernah memproduksi The Real Beverly Hillbillies, yang mengongkosi sebuah keluarga miskin dari pedesaan Appalachian untuk tinggal di mansion mewah di Beverly Hills. Tayangan lain adalah rekaman tentang remaja Amish yang pergi ke kota. Amish adalah sebuah komunitas ortodoks yang mengisolasi diri. Namun, mereka punya rumspringa, yaitu tradisi pada umur 16 tahun, sebelum seorang pemuda masuk ke komunitas gereja dengan segala larangannya, ketika mereka boleh dolan ke kota. Kamera mengikuti, menampilkan betapa "ndesit"-nya mereka. Tayangan-tayangan ini dianggap keterlaluan. Hal kontroversial lainnya adalah bila reality show merembet ke urusan ranjang. "Di Inggris ada acara Wifeswap, acara tukar-menukar istri. Suatu kali ditampilkan seorang ibu yang stres, yang menangis terus karena mendapat suami dengan empat anak yang bandel-bandel," demikian laporan wartawan TEMPO, Andari Karina Anom, dari London. Di Jerman, misalnya, ada reality show berjudul Big Brother, gagasan Linda Demoll, presenter televisi asal Belanda. Acara ini menayangkan sekelompok lelaki dan perempuan yang berada di dalam sebuah kontainer—yang interiornya dirancang nyaman seperti sebuah hotel—selama kurang-lebih 100 hari. Menurut Francisco Budi Hardiman, staf pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang mengambil program doktor filsafat di Jerman, ide dasar tayangan itu diilhami oleh novel George Orwell, 1984, bahwa pengawasan ada di mana-mana. "Intinya adalah mereka membentuk komunitas selama 100 hari yang bebas dari pengaruh dunia luar," kata Francisco. Namun, tontonan ini bukan sebuah refleksi politik, melainkan cenderung menjurus pada penempatan mata pemirsa sebagai voyeuris (tukang intip). Mereka terdiri dari laki-laki dan perempuan sekitar 20 orang yang bercampur-baur menjadi satu. Mereka bebas memilih berhubungan intim dengan siapa saja. Sering kali terjadi percintaan, kecemburuan, dan konflik. Publik bisa melihat semua aktivitas mereka. Yang menarik, mereka juga dipilih seperti dalam kontes AFI (Akademi Fantasi Indosiar). Penonton berhak menentukan siapa yang boleh melanjutkan dan siapa yang tidak. Publik akan memilih satu orang yang tingkah lakunya paling simpatik. Rata-rata jebolan acara Big Brother itu akan menjadi sangat populer dan banyak dikarbit jadi penyanyi, padahal rata-rata mereka tidak punya bakat. "Boleh saya katakan penampilan mereka sampah. Saya lebih salut dengan AFI kita, yang dididik menjadi artis," kata Francisco. Pro-kontra memang sudah ada sejak semula munculnya reality show. An American Family, misalnya, diprotes The New York Times karena menampilkan secara terbuka bahwa seorang anak di keluarga itu adalah homoseksual. Juga, tayangan yang membawa keluarga miskin ke Beverly Hills menuai protes hebat dari kalangan buruh sehingga CBS membatalkannya. Tentu sulit membayangkan reality show model voyeuris itu muncul di Indonesia. Arswendo Atmowiloto berpendapat, baik reality show tipe "keluarga" maupun yang jahil seharusnya berpegang pada etika. Untuk Indonesia, pengelola acara Spontan, Ngacir, Emosi, Kopaja, MOP, Paranoid, H2C, Playboy Kabel, Mimpi Kali Yee, Katakan Cinta, setelah berhasil "mengusili", harus minta izin dulu kepada korban ketika akan menayangkan. Kalau si korban tidak mau kejadian itu ditampilkan, kejadian itu tidak boleh on air. "Kalau masih ditayangkan, korban berhak menggugat," tutur Arswendo. Francisco sepakat dengan Arswendo. "Jika orang yang dikuntit dan direkam dalam acara H2C mengatakan ini pelanggaran terhadap wilayah pribadinya, orang itu berhak menuntut." Menurut dia, adalah hak seseorang memiliki rahasia yang tidak bisa diketahui umum. Susahnya, hampir semua orang yang merasa jadi korban tidak mempersoalkan kejadian yang ditayangkan. Banyak usulan jebakan untuk korban yang ternyata datang dari kerabat atau kalangan dekatnya sendiri yang ingin jahil. Misalnya pelawak Srimulat, Bowo, yang pernah dijahili soal utang oleh sebuah acara persis pada acara perkawinan anaknya. Bowo panik. Pesta jadi agak kacau. Pasangan pengantin menangis. Tapi ternyata ini cuma kejahilan Tarzan. Bagi industri televisi, reality show adalah produksi murah meriah. Pengambilan gambar cepat, tidak memakan waktu lama. "Bayangkan, biaya paling banter cuma Rp 10 juta sampai Rp 15 juta. Yang termewah pun cuma Rp 25 juta. Dengan biaya seperti itu, masuk satu-dua iklan kan sudah balik modal," kata Arswendo. Dengan kasus MOP itu, acara-acara jenis ini mungkin agak tiarap. Namun, bukan tidak mungkin akan marak lagi. Bahkan dengan ide lebih norak, variatif, dan usil. Seno Joko Suyono, Arief Firmansyah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus