HOSPITAL bermula dari bahasa Latin hospitalis yang artinya
"tempat menerima tamu." Pada abad pertengahan di Eropa, hospital
memang merupakan tempat menginap para peziarah atau pendeta yang
sedang dalam perjalanan. Jadi pada dasarnya hospital adalah
hotel, yang pada abad-abad terakhir ini mengkhususkan diri
menjadi hotel untuk orang sakit.
Dapat difahami bila dalam merencanakan sebuah rumah sakit,
pemilik modal akan berfikir sebagaimana orang hendak mendiikan
hotel. Akan memperhitungkan soal turn over, overhead cost, break
even point dan sebagainya, baru menentukan berapa kamar atau
tempat tidur akan dibuatnya. Bukan didasarkan atas apa yang
diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Jangan harapkan ada orang
yang ingin mendirikan rumah sakit paru karena banyak rakyat
Indonesia yang menderita penyakit itu. Atau menyediakan lebih
banyak ruangan isolasi tetanus karena banyak anak yang terkena
tetanus.
Secara ekonomis hal itu tidak mungkin karena yang menderita
penyakit semacam itu kebanyakan datang dari kalangan yang kurang
mampu membayar sewa rumah sakit. Seperti kata AV Campbell,
pendeta dan dosen pada Faculty of Divinity, Edinburgh, Inggeris:
"Alokasi biaya pemeliharaan kesehatan dari masyarakat cenderung
dipengaruhi oleh selera kelompok profesi atau daya beli
sekelompok kecil orang kaya."
Tetapi itupun bukan salah mereka. Menanamkan modal untuk
membangun rumah sakit bukan suatu hal yang murah dibandingkan
dengan mendirikan hotel. Rumah sakit memerlukan personil dan
peralatan yang lebih banyak dan lebih mahal untuk setiap tamu
yang harus dilayani, dibanding untuk tamu hotel. Dan sebagaimana
juga hotel, personil itu harus digaji baik ada tamu ataupun
tidak.
TANPA DISKO
Karena untuk menambah uang masuk, rumah sakit tidak dapat
membuka restoran, menyewakan tempat pesta, menyediakan bar atau
disko. Maka beban itu harus ditanggung oleh tamu yang dirawat.
Karena itu pula sewa kamar di rumah sakit akan jauh lebih mahal
daripada sewa kamar di hotel. Hal ini disadari juga oleh rumah
sakit-rumah sakit terkenal di luar negeri. Mayo Clinic lebih
setuju menginapkan pasien yang datang untuk keperluan diagnostik
(termasuk general check up) di hotel terdekat. Bahkan Rumah
Sakit Anak-anak di Boston mendirikan scbuah "Children's Inn" di
dekatnya untuk keperluan yang sama.
Tetapi akal rumah sakit anak di Boston itu selain untuk
meringankan beban pasien, barangkali juga untuk mencari tambahan
keuntungan yang lebih besar daripada sekedar mengharapkan
pendapatan rumah sakit. Sebab di AS pun rumah sakit swasta tidak
boleh terlalu banyak mengeruk keuntungan, meskipun untuk mencari
modal mereka boleh menjual bond. Semacam saham atau lebih tepat
ikatan hutang jangka panjang yang hampir tanpa bunga.
Bahwa di Indonesia mendirikan rumah sakit itu masih
menguntungkan dapat dilihat dari banyaknya orang ingin membuka
rumah sakit, terutama rumah persalinan. Sampai-sampai di banyak
wilayah di Jakarta ini dinyatakan tertutup untuk usaha semacam
itu. Bila ada modal barangkali banyak juga yang ingin membuka
rumah sakit yang lebih lengkap.
Tetapi jangan pula berharap bahwa semakin banyak rumah sakit
swasta akan semakin murah biaya perawatan, karena persaingan
semakin besar. Dalam segi pelayanan kesehatan, rumus pasar
seperti itu tidak berlaku. Dalam hal ini ada dalil Maxwell
(dalam buku Health Care: The Growing Dilemma, McKinsey and Co,
New York, 1974) yang mengatakan bahwa "kemajuan ilmu kedokteran
selalu menciptakan tuntutan pelayanan medis baru. Dan setiap
kemajuan, betapapun mahalnya, tidak ada yang berani menolaknya."
Ini dibuktikan pula oleh sebuah studi dalam Harvard Business
Review edisi Maret-April 1978, bahwa antara tahun 1965 sampai
1976 terjadi kenaikan ongkos perawatan di rumah sakit sebesar
250%. Tiga perempat dari itu diakibatkan oleh penemuan baru
dalam teknik kedokteran yang mahal, antara lain Computerized
Axial Tomography yang harga alatnya setengah juta dolar per
buah. Atau pembedahan pembuluh koroner (coronary by pass
surgery) yang masih diragukan khasiatnya tetapi harganya $
40.000 sekali operasi.
BUKAN UNTUK PEMERATAAN
Kemudian, untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya orang
memerlukan rumah sakit dapat dikutipkan hasil penelitian di
Rochester, New York. Dari orang-orang yang dirawat di rumah
sakit, ternyata antara 14,3% sampai 18,8% sebenarnya tidak
memerlukan perawatan sama sekali. Berobat jalan pun akan sembuh.
Sebesar 19,6% sampai 23,8% lainnya seharusnya tidak perlu
dirawat seandainya ada fasilitas medis yang optimal di dekat
tempat tinggalnya. Total jenderal kira-kira 40% dari pasien
penghuni rumah sakit sebenarnya dapat dirawat di rumah.
Meskipun di Indonesia mungkin belum seperti itu, kiranya kita
sependapat bahwa hal-hal tadi membuktikan bahwa selain mahal,
rumah sakit bukanlah tempat untuk memeratakan pelayanan
kesehatan. Akan sangat tidak adil bagi sebagian besar rakyat
lainnya bila pembangunan rumah sakit dijadikan beban pemerintah.
Lebih baik kita mengikuti anjuran Sekjen WH0, Mahler, untuk
memusatkan perhatian kepada pelayanan kesehatan yang primer.
Yang menyehatkan rakyat secara lebih murah dan memperkecil
kemungkinan mereka harus masuk rumah sakit.
SWASTA+KEUNTUNGAN
Biarlah untuk rumah sakit diserahkan kepada swasta. Kalau toh
tidak boleh melalui aturan PMDN, perlu pula diatur bagaimana
mereka dapat memperoleh modal. Kalau ditekankan hanya tidak
boleh mencari keuntungan, mana ada di negara kita ini orang yang
mau menyisihkan ratusan juta rupiah tanpa mengharapkan
keuntungan. Tinggal diatur saja berapa banyak ia boleh untung,
tentukan etika perumah sakitan, dan dibebani kewajiban
pendidikan dan sosial.
Dalam hal fungsi sosial ini boleh saja kita menetapkan sekian
persen tempat tidur untuk orang tidak mampu. Tetapi ada juga
yang berpendapat bahwa fungsi sosial rumah sakit juga dilihat
dalam usahanya meningkatkan mutu kesehatan masyarakat di
sekitarnya. Seperti John Gordon Freyman, Ketua Dewan Nasional
untuk Pendidikan Kesehaan Amerika, yang menyatakan bahwa
keberhasilan rumah sakit seharusnya diukur dengan: tingkat
kesehatan masyarakat sekitarnya dan hasil perawatan rumah sakit
terhadap pasiennya.
Dengan kata lain, sebaiknya rumah sakit dititipi pula untuk
meningkatkan kesehatan rakyat di wilayah ia berdiri. Seperti
yang dilakukan di RRC. Di sana dokter rumah sakit bertugas
melakukan pendidikan dan pengamatan kesehatan pada desa-desa
yang dititipkan oleh pemerintah kepada rumah sakit itu. Tentu
saja harus dicatat: tidak ada rumah sakit swasta di sana.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini