Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Hospital, bukan hotel

Menanamkan modal untuk membangun rumah sakit bukan suatu hal yang murah dibanding dengan mendirikan hotel. rumah sakit juga perlu mendapat keuntungan tanpa mengesampingkan fungsi sosial.

14 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HOSPITAL bermula dari bahasa Latin hospitalis yang artinya "tempat menerima tamu." Pada abad pertengahan di Eropa, hospital memang merupakan tempat menginap para peziarah atau pendeta yang sedang dalam perjalanan. Jadi pada dasarnya hospital adalah hotel, yang pada abad-abad terakhir ini mengkhususkan diri menjadi hotel untuk orang sakit. Dapat difahami bila dalam merencanakan sebuah rumah sakit, pemilik modal akan berfikir sebagaimana orang hendak mendiikan hotel. Akan memperhitungkan soal turn over, overhead cost, break even point dan sebagainya, baru menentukan berapa kamar atau tempat tidur akan dibuatnya. Bukan didasarkan atas apa yang diperlukan oleh masyarakat sekitarnya. Jangan harapkan ada orang yang ingin mendirikan rumah sakit paru karena banyak rakyat Indonesia yang menderita penyakit itu. Atau menyediakan lebih banyak ruangan isolasi tetanus karena banyak anak yang terkena tetanus. Secara ekonomis hal itu tidak mungkin karena yang menderita penyakit semacam itu kebanyakan datang dari kalangan yang kurang mampu membayar sewa rumah sakit. Seperti kata AV Campbell, pendeta dan dosen pada Faculty of Divinity, Edinburgh, Inggeris: "Alokasi biaya pemeliharaan kesehatan dari masyarakat cenderung dipengaruhi oleh selera kelompok profesi atau daya beli sekelompok kecil orang kaya." Tetapi itupun bukan salah mereka. Menanamkan modal untuk membangun rumah sakit bukan suatu hal yang murah dibandingkan dengan mendirikan hotel. Rumah sakit memerlukan personil dan peralatan yang lebih banyak dan lebih mahal untuk setiap tamu yang harus dilayani, dibanding untuk tamu hotel. Dan sebagaimana juga hotel, personil itu harus digaji baik ada tamu ataupun tidak. TANPA DISKO Karena untuk menambah uang masuk, rumah sakit tidak dapat membuka restoran, menyewakan tempat pesta, menyediakan bar atau disko. Maka beban itu harus ditanggung oleh tamu yang dirawat. Karena itu pula sewa kamar di rumah sakit akan jauh lebih mahal daripada sewa kamar di hotel. Hal ini disadari juga oleh rumah sakit-rumah sakit terkenal di luar negeri. Mayo Clinic lebih setuju menginapkan pasien yang datang untuk keperluan diagnostik (termasuk general check up) di hotel terdekat. Bahkan Rumah Sakit Anak-anak di Boston mendirikan scbuah "Children's Inn" di dekatnya untuk keperluan yang sama. Tetapi akal rumah sakit anak di Boston itu selain untuk meringankan beban pasien, barangkali juga untuk mencari tambahan keuntungan yang lebih besar daripada sekedar mengharapkan pendapatan rumah sakit. Sebab di AS pun rumah sakit swasta tidak boleh terlalu banyak mengeruk keuntungan, meskipun untuk mencari modal mereka boleh menjual bond. Semacam saham atau lebih tepat ikatan hutang jangka panjang yang hampir tanpa bunga. Bahwa di Indonesia mendirikan rumah sakit itu masih menguntungkan dapat dilihat dari banyaknya orang ingin membuka rumah sakit, terutama rumah persalinan. Sampai-sampai di banyak wilayah di Jakarta ini dinyatakan tertutup untuk usaha semacam itu. Bila ada modal barangkali banyak juga yang ingin membuka rumah sakit yang lebih lengkap. Tetapi jangan pula berharap bahwa semakin banyak rumah sakit swasta akan semakin murah biaya perawatan, karena persaingan semakin besar. Dalam segi pelayanan kesehatan, rumus pasar seperti itu tidak berlaku. Dalam hal ini ada dalil Maxwell (dalam buku Health Care: The Growing Dilemma, McKinsey and Co, New York, 1974) yang mengatakan bahwa "kemajuan ilmu kedokteran selalu menciptakan tuntutan pelayanan medis baru. Dan setiap kemajuan, betapapun mahalnya, tidak ada yang berani menolaknya." Ini dibuktikan pula oleh sebuah studi dalam Harvard Business Review edisi Maret-April 1978, bahwa antara tahun 1965 sampai 1976 terjadi kenaikan ongkos perawatan di rumah sakit sebesar 250%. Tiga perempat dari itu diakibatkan oleh penemuan baru dalam teknik kedokteran yang mahal, antara lain Computerized Axial Tomography yang harga alatnya setengah juta dolar per buah. Atau pembedahan pembuluh koroner (coronary by pass surgery) yang masih diragukan khasiatnya tetapi harganya $ 40.000 sekali operasi. BUKAN UNTUK PEMERATAAN Kemudian, untuk mengetahui seberapa jauh sebenarnya orang memerlukan rumah sakit dapat dikutipkan hasil penelitian di Rochester, New York. Dari orang-orang yang dirawat di rumah sakit, ternyata antara 14,3% sampai 18,8% sebenarnya tidak memerlukan perawatan sama sekali. Berobat jalan pun akan sembuh. Sebesar 19,6% sampai 23,8% lainnya seharusnya tidak perlu dirawat seandainya ada fasilitas medis yang optimal di dekat tempat tinggalnya. Total jenderal kira-kira 40% dari pasien penghuni rumah sakit sebenarnya dapat dirawat di rumah. Meskipun di Indonesia mungkin belum seperti itu, kiranya kita sependapat bahwa hal-hal tadi membuktikan bahwa selain mahal, rumah sakit bukanlah tempat untuk memeratakan pelayanan kesehatan. Akan sangat tidak adil bagi sebagian besar rakyat lainnya bila pembangunan rumah sakit dijadikan beban pemerintah. Lebih baik kita mengikuti anjuran Sekjen WH0, Mahler, untuk memusatkan perhatian kepada pelayanan kesehatan yang primer. Yang menyehatkan rakyat secara lebih murah dan memperkecil kemungkinan mereka harus masuk rumah sakit. SWASTA+KEUNTUNGAN Biarlah untuk rumah sakit diserahkan kepada swasta. Kalau toh tidak boleh melalui aturan PMDN, perlu pula diatur bagaimana mereka dapat memperoleh modal. Kalau ditekankan hanya tidak boleh mencari keuntungan, mana ada di negara kita ini orang yang mau menyisihkan ratusan juta rupiah tanpa mengharapkan keuntungan. Tinggal diatur saja berapa banyak ia boleh untung, tentukan etika perumah sakitan, dan dibebani kewajiban pendidikan dan sosial. Dalam hal fungsi sosial ini boleh saja kita menetapkan sekian persen tempat tidur untuk orang tidak mampu. Tetapi ada juga yang berpendapat bahwa fungsi sosial rumah sakit juga dilihat dalam usahanya meningkatkan mutu kesehatan masyarakat di sekitarnya. Seperti John Gordon Freyman, Ketua Dewan Nasional untuk Pendidikan Kesehaan Amerika, yang menyatakan bahwa keberhasilan rumah sakit seharusnya diukur dengan: tingkat kesehatan masyarakat sekitarnya dan hasil perawatan rumah sakit terhadap pasiennya. Dengan kata lain, sebaiknya rumah sakit dititipi pula untuk meningkatkan kesehatan rakyat di wilayah ia berdiri. Seperti yang dilakukan di RRC. Di sana dokter rumah sakit bertugas melakukan pendidikan dan pengamatan kesehatan pada desa-desa yang dititipkan oleh pemerintah kepada rumah sakit itu. Tentu saja harus dicatat: tidak ada rumah sakit swasta di sana.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus