PATIH Gajahmada jangan lekas besar kepala, karena di dalam
wilayah hukum Kotamadya Bandung -- percaya atau tidak --
terdapat lebih dari cuma satu patih. Resmi, berkantor,
berstempel, berseragam, dan dengan sendirinya bergaji dan
berpensiun. Bedanya, kalau patih zaman dulu kerjanya cuma
bercekak pinggang dan memamah tembakau serta berteriak bagaikan
guntur, kini lebih terarah dan terpadu. Tak putus-putusnya
lokakarya dan seminar dan ditatar dan menatar sehingga sang
bawahan nyaris lupa roman wajah juragannya sendiri.
Salah satu dari patih-patih itu punya kelebihan dari yang lain,
paling sedikit dari satu segi. Dia tak mau dapat koran atau
majalah gratis atau yang ditarik dari gaji bulanan, melainkan
dibelinya sendiri dengan uang yang langsung dirogoh dari
koceknya. Seperti kucing melihat kepala ikan, begitulah sang
patih melihat mass-media yang tampak di ujung hidungnya. Semua
yang namanya koran harian, semua yang namanya koran mingguan,
semua yang namanya koran yang tak bisa ditentukan persis kapan
terbitnya, dibelinya belaka.
Puas? Apanya yang bisa bikin puas di dunia ini? Koran adalah
koran, dan majalah adalah majalah. Maka segala rupa majalah pun
dibelinya belaka tanpa pikir dan tanpa tawar. Yang tipis, yang
tebal, yang malang dan yang melintang, disapunya dengan gemas.
Hampir dapat dipastikan, sang patih merupakan konsumen
mass-media terakus di dunia. Tak satu pun diperbolehkan lewat
tanpa ditelannya. Penyakit macam apakah ini namanya? Bukan
penyakit. Ini apa yang disebut "koran masuk patih".
Apakah semua barang belian itu dibacanya? Di sini satu hal harus
dicamkan: membeli koran dan majalah tidak ada sangkut pautnya
dengan membaca koran dan majalah. Antara keduanya harus
dipisahkan secara tegas seperti kita memisahkan ikan kembung
dengan ikan mujair. Tidak ada aturan orang mesti beli koran dan
majalah, seperti halnya tidak ada aturan orang mesti baca koran
dan majalah yang sudah dibelinya. Dunia sudah penuh sesak dengan
aturan, karena itu tidak ada manfaat menambah-nambah.
Kalau demikian halnya, apa yang dilakukan sang patih? Adonan
segala rupa mass-media itu disusunnya rapi-rapi, seperti seorang
nyonya menata konde, koran sesama koran, mingguan sesama
mingguan, majalah sesama majalah. Tak seorang pun boleh
menyentuh, hatta mertuanya sendiri. Pernah seekor tikus
mengerikiti, diubernya perusuh itu sampai ke RW lain, dan
bagaikan gergasi makhluk itu dibantingnya hingga lenyap masuk
tanah. Semua penduduk meloloskan kepala dari jendela dan
bertepuk tangan gegap gempita karena salah satu pengganggu pers
sudah dikirim ke alam lain.
Harap jangan lekas-lekas mengira sang patih seorang pejabat
Kotamadya Bandung yang dungu. Tidak sama sekali! Sebab, seorang
patih yang dungu segera dikaryakan sebagai tukang bakso. Dia
punya radio kualitas tinggi dengan tiang antena menyentuh awan.
Tiap ada waktu luang telinganya melekat di pesawat dan
mengembaralah dia dari satu gelombang ke gelombang lain hingga
gelombang yang terpancar dari Kutub Utara. Disimaknya baik-baik
siaran berita dalam bahasa Swahili, bahasa Benggali, bahasa
Khmer, bahasa Tamil dan rupa-rupa bahasa Balkan yang ganjil.
Dari situlah sang patih tahu apa yang sebetulnya terjadi di
negerinya Indonesia bahkan apa yang terjadi di terminal
Cicaheum.
Karena itu jangan heran jika di depan pegawai-pegawai kantornya
dia dianggap semacam hantu yang tahu segala rupa kejadian yang
tak seorang pun pernah membacanya di koran dan majalah atau
lewat pemberitahuan humas. Semua mulut menganga, dan semua
kepala geleng-geleng. Tapi . . . jangan dikira sang patih tidak
menghadapi kesulitan. Berhubung tumpukan mass-media sepanjang
tahun 1980 sudah memadati seantero rumah, terpaksa dia tinggal
di hotel.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini