PERMESTA PEMBERONTAKAN SETENGAH HATI Oleh: Barbara S. Harvey Penerbit: Grafiti Pers, Jakarta, 1984, 241 halaman SUBJUDUL buku ini, yang merupakan terjemahan dari monograf terbitan Proyek Indonesia Modern dari Universitas Cornell, AS, sudah memberikan jawaban tentang hampir semua gerakan kedaerahan yang terjadi di Indonesia setelah tahun 1950 buku ini merupakan hasil samping (byproduct) penelitian disertasi Barbara Harvey tentang pemberontakan Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan. Penelitian ini membawa penulisnya pada masalah-masalah pokok yang dihadapi Indonesia bagian timur pada tahun 150-an yang penuh gejolak, yakni peralihan dari Negara Indonesia Timur ke Republik Indonesia pemberontakan Republik Maluku Selatan pembcrontakan Kahar Muzakkar, dan akhirnya, Perjuangan Semesta (Permesta). Mengapa Permesta, dan gerakan-gerakan kedaerahan lainnya di Indonesia, dapat dianggap sebagai "pemberontakan setengah hati" (pemberontakan setengah-setengah-half a rebellion)? Barbara Harvey menyebutkan beberapa sebab pokok. Yang penting sekali adalah kenyataan bahwa pemberontakan PRRI/ Permesta bukanlah gerakan yang mau memisahkan diri dari RI dan mendirikan negara alternatif, tapi menuntut perubahan kebijaksanaan nasional. Sebab, bagi mereka yang terlibat, RI adalah tetap "Republik yang mereka perjuangkan pada masa Revolusi, dan bendera tempat mereka bernaung membela bangsa melawan ancaman-ancaman lam" (halaman 204). Pimpinan militer dari Permesta umumnya pernah berjuang selama Revolusi di Jawa, sehingga dalam banyak kesempatan menghindarkan pertempuran-pertempuran dengan pasukan-pasukan TNI, yang sebagian juga dipimpin oleh temannya bergerilya dulu. Pertempuran yang terjadi boleh dikatakan sebagai usaha mengulur waktu sampai suatu penyelesaian politik yang bersifat "menyelamatkan muka" bisa dicapai. Sebab banyak pemimpin Permesta tidak menduga bahwa Pemerintah Pusat akan menjawab tuntutan mereka dengan operasi militer yang sungguh-sungguh. Lagi pula, sangatlah sukar memobilisasikan massa untuk waktu yang panjang melawan Pemerintah Pusat karena tidak adanya landasan ideologis yang kuat. Hal ini tidaklah mengabaikan kenyataan bahwa Permesta relatif lebih mampu memobilisasikan rakyat dan memberikan perlawanan bersenjata terhadap Pemerintah Pusat dibandingkan, misalnya, PRRI di Sumatera. Justru karena ke samaan ideologi dengan pimpinan TNI/AD di Jakarta pada tahun-tahun 1960- 1961 itu - yakni sama-sama antikomunis - maka penyerahan diri pasukan Permesta bisa berlangsung lancar. Tapi, tentulah harus ada penjelasan mengapa orang- orang, seperti Alex Kawilarang, Ventje Sumual, Joop Warouw, Somba, dan Saleh Lahade, meninggalkan karier militer yang masih akan cerah di depannya serta memilih gerakan Pemesta yang tentulah harus mereka ketahui sebagai ujung karier yang sudah dimulainya sejak Revolusi. Alasan utama agaknya menyangkut perimbangan kekuasaan antara Pusat dan Daerah, yang pada tahun 1950-an makin memperlihat kecenderungan sentralisasi. Inti gerakan Permesta pada hakikatnya adalah usaha menahan proses sentralisasi dan memberikan otonomi yang lebih luas kepada daerah. Hal ini menyangkut pemanfaatan hasil daerah, seperti kopra, yang dianggap terlalu banyak diambil Pusat. Karena itu, Permesta dapat dibagi dalam dua babak. Babak pertama lebih berciri gerakan regionalisme murni, yang berlangsung sepanjang tahun 1957 Unsur pendukungnya cukup luas, meliputi elite sipil dan militer yang ada di Makassar waktu itu. Tuntutannya pun cukup masuk akal, yakni otonomi daerah untuk pembangunan. Tapi Pemerintah Pusat dalam berbagai hal juga cukup tanggap, misalnya dengan mendirikan kodam-kodam dan provinsi baru, sehingga mampu memisahkan sebagian besar elite sipil dan militer dari Sulawesi Selatan untuk keluar dari Permesta, yang dipelopori oleh Andi Pangerang dan M. Jusuf. Sebenarnya, sejak itu tidak banyak lagi pilihan untuk Permesta. Pada babak kedua Permesta sudah berubah menjadi gerakan militer yang berpusat di Sulawesi Utara saja, khususnya di Minahasa. Dalam refleksi sejarah, timbul pertanyaan, mengapa tidak ada kompromi saja antara Pusat dan Permesta menjelang datangnya proklamasi PRRI 10 Februari 1958, yang merupakan point of no return itu? Kelihatan, bahwa masalah gengsi dan ngototnya dua pihak (baik Pusat maupun Permesta) dapat dianggap sebagai sebab utama. Di pihak Permesta, ada semacam "iming-iming" bahwa koalisi yang lebih besar dengan PRRI akan lebih mampu menekan Pusat. Di samping itu, persaingan pribadi pimpinan Permesta dengan pimpinan Mabad yakni Mayor Jenderal A.H. Nasution, seperti tak terdamaikan lagi. Hal yang sama juga terjadi antara para kolonel di PRRI dan Nasution. Dari pihak Pusat, penyelesaian militer yang diambil mempercepat polarisasi. Bahkan untuk orang-orang seperti Kawilarang dan Warouw yang kabarnya kecewa terhadap tindakan Pusat, pemerintah justru mengambil penyelesaian militer dengan membom Manado. APAKAH pemberontakan dan gerakan kedaerahan itu sesuatu yang tak ter- elakkan dalam sejarah negara baru seperti Indonesia? Teori-teori mutakhir tentang konsolidasi negara (khususnya aparatur negara), misalnya dari Theda Skoopol dan Charles Tilly, memang mengatakan demikian. Dapat dilihat bahwa proses sentralisasi itu sama sekali tidak identik dengan masalah sukuisme. Sikap anti-Jawa memang menjadi ciri gerakan kedaerahan 1950-an, seperti Permesta. Tapi dalam kenyataannya, proses sentralisasi TNI 1950-an justru berlangsung dibawah kepemimpinan Nasution yang berasal dari Tapanuli (non-Jawa). Ironisnya, gerakan-gerakan kedaerahan, seperti PRRI/Permesta, telah menyebabkan kurang terwakilinya orang-orang dari daerah itu (Batak Toba, Manado, Minang) dalam korps perwira AD untuk satu generasi, yakni sampai naiknya perwira-perwira muda lulusan AMN 1960-an. Mungkin pengalaman paling baik dari gerakan-gerakan kedaerahan adalah agar Pemerintah Pusat mencoba lebih dulu penyelesaian politik berupa peningkatan dana-dana pembangunan dan pemekaran wilayah. Seorang anak yang bandel janganlah dicambuki terus, tapi perlu juga dipangku. Buku Barbara Harvey ini dengan gamblang memperlihatkan masalah-masalah kita sebagai suatu bangsa yang terus-menerus dalam proses belajar hidup bersama, seperti yang sekarang kita alami lagi di Irian Jaya. Yang penting dicegah adalah timbulnya situasi yang dilematis, "maju kena, mundur kena" (yang umumnya berakhir dengan "maju saja" dan pemberontakan), melalui keluwesan kebijaksanaan Pusat serta kesadaran daerah. Pihak yang terakhir seharusnya menyadari bahwa dalam zaman modern ini tidak ada lagi kesempatan apa pun untuk menang bagi gerakan dan pemberontakan kedaerahan. Kekuatan Pusat sudah terlalu besar. Janganlah karena tersedianya kekuatan ini Pemerintah Pusat menjadi merasa paling benar dan menutupi diri pada akar masalah di daerah. Barbara Harvey, dan studi-studi serupa lainnya yang juga perlu diterjemahkan, menunjukkan bahwa penyelesaian politik selalu lebih murah, lebih langgeng, dan tidak menimbulkan luka-luka, dalam hubungan kita sebagai bangsa yang majemuk. Burhan Magenda
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini