Asap Munas Golkar masih mengepul. Belum lama ini sebuah harian di Semarang memuat berita dari K.H. Sahal Mahfudz dan Abdurrahman Wahid. Intinya, kedua tokoh Nahdlatul Ulama (NU) itu mengatakan, DPP Golkar pimpinan Harmoko didominasi neo- Masyumi. Dengan begitu, Kiai Sahal dan Gus Dur secara nyata menunjuk Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), salah satu unsur di Golkar, sebagai neo-Masyumi. Benarkah? Menjawab persoalan ini sama susahnya dengan menjawab pertanyaan, misalnya, apakah Gus Dur atau Kiai Sahal itu neo-PSI. ICMI adalah organisasi massa yang lahir dari haribaan Orde Baru. Bahkan, Pak Harto sendiri ikut membidaninya. Dilihat dari tokoh dan anggota yang mendukungnya sampai ke pelosok tanah air, ICMI praktis merupakan muara tempat bertemunya eks aktivis HMI, GMNI, PMII, PII, dan banyak lagi kelompok independen lainnya. Dengan demikian, apakah masih relevan kita berbicara tentang neo-Masyumi? Pemrakarsa, tokoh, dan anggota dari berbagai akar bertemu dalam ICMI. Sekurangnya, adanya pertemuan itu disebabkan oleh tumbuhnya empat kesadaran: keislaman, orientasi pro-aktif dalam pembangunan, integrasi kebangsaan, dan komitmen masa depan. Kesadaran inilah agaknya yang menyebabkan tak sedikit anggota ABRI senior dan perwira muda mendukung atau setidaknya bersimpati terhadap ICMI. Kesadaran keislaman tampaknya telah menjadi faktor penting bagi tumbuhnya cross-cutting loyalities. Yaitu, meskipun berasal dari akar yang berbeda, mereka bisa bertemu dalam kebersamaan di ICMI. Faktor orientasi pembangunan yang menarik orang masuk ICMI adalah tumbuhnya kesadaran perlunya melakukan kultivasi untuk mendewasakan pembangunan. Itu diwujudkan dalam sikap pro-aktif dalam pembangunan apa adanya. Sikap ini, pada tahap usia dini ICMI, diwujudkan dalam keseimbangan antara tut wuri handayani dan tut wuri hangiseni dalam proses pembangunan. Dalam kerangka sikap pro-aktif ini, yang relevan dipikirkan bukan lagi masalah pertumbuhan dan pemerataan pembangunan, melainkan integrasi pembangunan. Tampaknya, dalam implementasinya, ICMI memanfaatkan endowment-nya, yakni berupa kelekatan dengan umat yang akan menjangkar masalah pemerataan. Kini persoalannya tinggal bagaimana merengkuh developmentalism secara dewasa. Faktor integrasi kebangsaan yang mendorong orang masuk ICMI adalah fungsi dari learning process selama ini: mempertajam pertentangan antarskala, antarkelas, dan antarsegmen sosial- ekonomi-politik-budaya adalah lebih besar mudaratnya ketimbang manfaatnya. Komitmen masa depan ICMI memang khas, yakni iptek dan nilai tambah sumber daya, yang dikerangkakan dalam orientasi mondial dan kosmopolitan. Orientasi ini jelas cocok untuk ''segmen pasar'' ICMI: para intelektual dan profesional. Pilihan ini sungguh berani, sekurangnya, karena itu ICMI harus menghadapi berbagai mantra retorika tentang kerakyatan dan pemerataan. ICMI tetap tegar menghayati tanggung jawab masa depannya dalam pembangunan karena adanya kelekatan pada umat. Dalam perkembangan selanjutnya, ICMI ternyata tumbuh menjadi semacam clearing house bagi banyak ormas, termasuk NU. Siapa saja, orang atau lembaga, secara kolektif dapat menjadi anggota ICMI. Namun, mereka tetap menjadi anggota kelompok di kelompok lamanya. Dengan demikian, ICMI bukan faktor pesaing, baik bagi ormas maupun orpol.ALI MUSTAFA TRAJUTISNA Pusat Peranserta Masyarakat(PPM) Jalan Kalibata Timur 31 A Pasar Minggu, Jakarta 12510
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini