Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Satu dari lima anak di dunia terpapar iklan rokok secara online.
SAFEnet menemukan setidaknya ada 2.318 video yang mengandung iklan rokok dalam kurun waktu Agustus-Desember 2023 dan Maret-Agustus 2024.
Di Indonesia, prevalensi merokok di kalangan remaja meningkat hingga 25,5 persen pada 2020.
SELAGI seru menonton video permainan online game kegemarannya, Rafa, 11 tahun, mengernyitkan dahinya pada menit kedua. Video itu tertimpa dengan konten ulasan rokok dari seorang laki-laki muda, yang memperlihatkan sebungkus rokok bermerek. Dalam video bersponsor atau iklan itu, laki-laki tersebut membuka bungkusnya, lalu menyulut sebatang rokok.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rafa hanya salah satu dari setidaknya 76 juta anak Indonesia pengguna Internet yang sudah terbiasa beraktivitas di ruang digital, entah untuk menonton online game ataupun cuplikan film kesayangan. Laporan “Digital 2024: Indonesia” yang dirilis We Are Social menyebutkan rata-rata orang Indonesia berinternet selama 7 jam 38 menit per hari. Dari data itu, dapat kita bayangkan berapa banyak video berkaitan dengan rokok seperti yang ditonton Rafa beredar dan ditonton pengguna Internet lainnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dengan menggunakan data Centers for Disease Control and Prevention (CDC)—yang mengungkap satu dari lima anak di dunia terpapar iklan rokok secara online—kita juga dapat memperkirakan lebih dari 15 juta anak dari Generasi Z Indonesia terpapar iklan rokok lebih dari satu kali setiap hari di platform digital. Angka itu bisa jadi lebih besar karena Rafa punya dua adik yang merupakan bagian dari Generasi Alpha—generasi setelah Generasi Z yang lahir pada periode 2010-an hingga awal 2020-an.
Apalagi menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia yang dipaparkan Katadata, penetrasi Internet pada usia remaja merupakan yang tertinggi di Indonesia. Pemicunya adalah saat pandemi Covid-19 yang membuat penggunaan Internet di kelompok usia anak-anak berusia 5-12 tahun memiliki penetrasi Internet sebesar 62,43 persen dan kelompok usia 13-18 tahun mencapai 99,16 persen. Hal ini menambah lagi besaran jumlah anak-anak Generasi Z dan Alpha yang rentan terpapar konten rokok seperti Rafa.
Sekalipun perusahaan platform digital telah memiliki panduan komunitas mengenai pemuatan video yang melarang promosi barang ilegal seperti nikotin dan pemuatan konten berisi promosi produk nikotin, video yang ditonton Rafa itu hingga hari ini lolos dari teguran dan masih ditayangkan. Konten berupa promosi iklan rokok tadi dimasukkan ke video ulasan online game.
Konten rokok ini merupakan temuan terbaru SAFEnet yang merupakan bagian dari koalisi Free Net From Tobacco (FNFT). SAFEnet menemukan setidaknya ada 2.318 video yang mengandung iklan rokok dalam kurun waktu Agustus-Desember 2023 dan Maret-Agustus 2024. Temuan ini juga baru pada satu platform berbagi video saja, belum diperluas ke platform-platform digital lain yang juga berbasis berbagi konten.
Temuan terbaru ini sebenarnya tak jauh berbeda dari laporan berbagai lembaga/organisasi sejak 2018. Aneka laporan itu menyebutkan sekitar 80 persen terpaan iklan rokok pada anak-anak terjadi melalui konten YouTube, sedangkan situs-situs umum menyumbang 58 persen terpaan. Instagram menempati posisi ketiga dengan 57 persen, dan game daring berada di posisi keempat dengan 36 persen.
Perlu diingat bahwa, menurut data dari riset nasional Indonesia, prevalensi merokok di kalangan remaja meningkat hingga 25,5 persen pada 2020, sebagian besar karena iklan yang menargetkan anak muda di media digital.
Tanggung Jawab Platform Digital
Pembatasan iklan rokok pada anak-anak tak cukup hanya ditegakkan pada para pengguna platform dan perusahaan-perusahaan rokok melalui batasan regulasi. Karena kompleksitas informasi yang ada di ruang digital saat ini, perusahaan teknologi sebagai perantara yang memungkinkan terjadinya pertukaran informasi juga perlu dibebankan tanggung jawab menjaga keamanan anak-anak di dunia maya. Termasuk di dalamnya menjaga anak dari paparan iklan produk berbahaya seperti rokok yang mengandung nikotin.
Sebelum melangkah lebih jauh, yang dimaksud dengan platform digital adalah struktur tata kelola untuk pertukaran yang menentukan siapa partisipannya, peran apa yang dapat dimainkan, bagaimana mereka dapat berinteraksi, serta bagaimana perselisihan diselesaikan melalui protokol dan standar teknologi guna memfasilitasi koneksi, koordinasi, dan/atau kolaborasi antar-pelaku dalam ekosistem. Definisi dari Renaissance Numerique ini bisa kita gunakan untuk selanjutnya memaknai platform digital, tidak sebatas pada GAFAM (Google Amazon Facebook Microsoft) semata.
Dalam hukum Indonesia, platform digital dikenal sebagai penyelenggara sistem elektronik (PSE), yang didefinisikan sebagai “setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain”. Definisi ini tercantum dalam Pasal 1 angka 6 UU ITE Tahun 2024.
Di Indonesia telah banyak regulasi dan kebijakan yang melarang penayangan iklan rokok, promosi, dan sponsor rokok. Di antaranya pengendalian iklan produk tembakau yang merupakan amanat Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012; Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan yang mengatur iklan dan promosi rokok diizinkan di media elektronik, media cetak, dan media luar ruang; dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur tentang iklan rokok di Pasal 447 sampai 451. Aturan-aturan ini juga perlu ditegakkan oleh perusahaan platform digital yang ruang digitalnya diakses pengguna di Indonesia.
Khusus untuk perusahaan platform digital, tanggung jawab menghentikan iklan rokok pada anak-anak secara teknis diatur dalam Permenkominfo Nomor 5 Tahun 2020. Dalam aturan ini, perusahaan platform digital sebagai PSE terikat pada bukan saja mengoreksi panduan komunitas yang saat ini sudah melarang promosi iklan rokok mengandung nikotin, vape elektronik, dan memberitahukan para pembuat konten mengenai larangan ini. Mereka juga harus melakukan penghentian tayang terhadap konten yang dilarang tersebut.
Selain itu, platform digital didorong untuk bertanggung jawab juga pada iklan berbasis algoritma. Algoritma platform digital sering kali mengarahkan konten yang dipersonalisasi berdasarkan perilaku pengguna. Jika tidak diawasi dengan baik oleh platform digital, iklan rokok dapat ditampilkan kepada pengguna di bawah umur, yaitu anak-anak dari Generasi Z dan Generasi Alpha.
Sama seperti temuan di atas, beberapa perusahaan digital belum memiliki kebijakan yang cukup ketat untuk menghalangi penayangan iklan rokok kepada anak-anak. Kondisi ini menciptakan celah bagi anak-anak terpapar iklan rokok, misalnya disamarkan dalam video permainan online game dan lagu atau film anak-anak.
Karena itu, saya mengusulkan sejumlah bentuk tanggung jawab yang dapat dilakukan oleh platform digital, yaitu: a. Penerapan pembatasan iklan di platform digital seperti YouTube, Instagram, dan TikTok harus mengadopsi teknologi untuk memblokir semua bentuk iklan rokok kepada pengguna di bawah usia 21 tahun; b. Pengambil kebijakan di Indonesia perlu mengadopsi aturan yang melarang iklan rokok secara spesifik untuk kelompok usia di bawah 21 tahun dan perlu ada komite independen untuk memastikan kebijakan ini dijalankan; dan c. platform digital harus lebih transparan tentang bagaimana mereka memfilter konten dan iklan, serta harus menyertakan opsi pelaporan bagi pengguna yang terpapar iklan rokok.
Indonesia Juga Bisa
Pengaturan terhadap platform digital umumnya menggunakan dua pendekatan, yaitu secara horizontal yang secara khusus mengatur tanggung jawab platform digital, dan secara vertikal, dengan pembentukan regulasi sektoral yang berdampak pada pembebanan sejumlah tanggung jawab bagi platform digital.
Sejumlah negara, seperti Inggris dan Prancis, telah melarang total iklan rokok di platform digital, dengan hasil signifikan berupa penurunan jumlah perokok muda. Ini salah satu pendekatan secara vertikal yang dapat ditiru oleh Indonesia. Ada juga kebijakan iklan yang lebih ketat dari Google dan Meta, yang telah terbukti membatasi jangkauan iklan rokok ke kelompok umur di bawah 18 tahun. Hal ini yang perlu dipastikan dilakukan juga di ruang digital di Indonesia.
Platform digital, karena sifat globalnya, mungkin mengalami kesulitan dalam memahami konteks budaya dan karakter bangsa Indonesia. Karena itu, mereka dapat bekerja sama dengan komite independen dan/atau kelompok masyarakat sipil yang selama ini bekerja mengawasi konten rokok untuk mengeskalasi temuan mereka lebih cepat dan ditindaklanjuti dengan penghentian tayang. Atau merancang kebijakan yang membatasi temuan tersebut agar tidak sampai ke anak-anak.
Kalau di negara lain bisa, Indonesia sebagai negara yang mengandalkan kekuatan anak muda yang sehat tentu harus juga mampu mendorong tanggung jawab semacam ini dilakukan oleh perusahaan platform digital.
Dialektika Digital merupakan kolaborasi Tempo bersama KONDISI (Kelompok Kerja Anti Disinformasi Digital di Indonesia). KONDISI beranggotakan para akademikus, praktisi, dan jurnalis yang mendalami dan mengkaji fenomena disinformasi di Indonesia.
Redaksi menerima tulisan opini dari luar dengan syarat: panjang sekitar 5.000 karakter (termasuk spasi) atau 600 kata dan tidak sedang dikirim ke media lain. Sumber rujukan disebutkan lengkap pada tubuh tulisan. Kirim tulisan ke e-mail: [email protected] disertai dengan foto profil, nomor kontak, dan CV ringkas.