DI Jakarta ada sebuah patung: di atas platform yang setinggi kirakira dua meter, sebuah sosok gempal tegak. Raut wajahnya tembem, kukuh, kejam, berwibawa. Orang mengatakan itulah paras Gajah Mada, perdana menteri Majapahit di abad ke14 dan kita percaya. Pematungnya, Michael Wowor, juga mungkin percaya: sebuah image, sebuah citra, telah lama terbentuk tentang tokoh itutanpa orang peduli benarkah paras Gajah Mada macam itu. Di Madrid juga ada sebuah lukisan karya Velazquez yang berumur kirakira 360 tahun: sebuah sosok semampai berdiri di dekat meja. Raut wajahnya ramping. Dibawah pandang matanya yang halus cendekia, leher itu agak jenjang. Orang percaya itulah rupa Raja Filip IV dari Spanyol dalam umur 19 tahun. Tapi di tahun 1960 para peniliti menyorotkan Sinar X ke kanvas tua itu, dan tampak: wajah di permukaan itu adalah sebuah wajah versi baru. Rupanya Velazquez, sang pelukis istana Spanyol, telah mempermak paras Filip IV dengan mengubah karyanya sendiri yang lebih awal. Dalam karya awal itu (lewat Sinar X) tampak Filip IV yang lain: parasnya cembung menggembrot, pandang matanya tak halus, bibirnya lebih tebal, lehernya pandak, dan cara tegaknya ceroboh. Sejarawan pun menduga, begitulah Filip IV "menurutkenyataannya". Tapi begitu pentingkah hal-hal "menurut kenyataannya"? Toh hidup bergerak, meskipun (atau justru) hanya dengan sejumlah citra, yang kemudian menjadi kenyataan di atas kenyataan: Gajah Mada yang tembem, Filip IV yang semampai, pribumi yang katanya malas atau perlu dibantu, ajaran Konghucu yang katanya cocok untuk menjelaskan pertumbuhan ekonomi Asia Timur, kapitalisme yangmencekik, komunisme yang membunuh. Daftar ini bisa diperpanjang, dengan hal-hal yang bahkan sering muncul samar-samar di balik teori atau konsep para "ahli" yang mengadakan "penelitian". Citra(berbeda dengan prasangka) adalah sesuatu yang seperti bayangan: ia seakan-akan menyugestikan dengan bagus sebuah kenyataan, dan ia begitu memikat. Di tahun 1990 Milan Kundera menulis sebuah novel yang brilyan dan kocak yang dalam bahasa Ceko disebut Nesmrtelnost dan dalam bahasa Inggris disebut Immortality. Ia memperkenalkan sebuah istilah baru: "imagologi". Kata ini merangkum banyak hal yang sebenarnya sama: kegiatan biro iklan, manajer kampanye politik, ahli desain yang menggubah corak mobil sampai peralatan gimnastik, penata rambut, dan tentu saja para bintang showbiz yang mengimlakkan norma-norma keindahan fisik yang "dipatuhi oleh semua cabang imagologi". Suatu gerakan yang kuat menciptakan sistem tentang yang "ideal"dan yang "antiideal". Cantik berarti wajah Indo ala Sophia Latjuba. Norak berarti memakai sarung. Intelektuil berarti orang berkacamata yang mengkritikpenguasa dan pernah digocoh polisi. Saya pernah kenal seorang konsultan mode yang hidup dari memberikan saran kepada para desainer dan industri pakaian tentang corak pakaian untuk musim dan tahuntertentu. Berjuta-juta orang kemudian makmum, tanpa mempersoalkan kenapa warna blazer musim gugur 1992 harus agak kelabu sedang warna blazer musim gugur 1991mengandung merah magenta. Inilah "imagologi": sebuah kekuatan besar telah bekerja, dengan sebuah penyiasatan dan sebuah strategi. Zaman memang berubah. Orang yang menyebarkan citra tembem Gajah Mada dan wajah ramping Filip IV melakukannya mula-mula sebagai hasil imajinasi sendiri.Toh mereka berhasil memoleskan kenyataan baru, seperti Velazquez menimpa wajah rajanya yang "asli" dengan wajah lain. Para "imagolog" dewasa ini lebih efektif. "Dalam beberapa dasawarsa terakhir," tulis Milan Kundera,"imagologi telah memperoleh suatu kemenangan historis atas ideologi." Semua ideologi kalah. Yang terakhir komunisme yang bilang bahwa kapitalisme akan runtuh tapi nyatanya tidak. "Kenyataan lebih kuat ketimbang ideologi,"tulis Kundera pula, tapi dan inilah yang menarik "imagologi lebih kuat ketimbang kenyataan." Kundera tak teramat jauh menjelaskan statemen itu, tapi ini mungkin termasuk kemurungannya dalam "pascaideologi". Atau mungkin juga kehampaan (danmungkin juga keceriaan) "postmodernis". Ideologi macet, kenyataan tampak kian majemuk. Tatkala imagologi dan media massa bisa saja menentukan mana pemikiran yang sedang trendy, "kebenaran" pun, dalam bentuk sebuah konsep atau teori, akhirnya hanyalah hasil sementara dari sebuah proses persuasi dan retorika. Teori sering mengklaim kebenaran padahal itu hanya, seperti kataJean Baudrillard, sebuah "simulasi yang represif". Singkatnya, apa "yang nyata" menjadi semrawut, bahkan entah ada di mana. "Postmodernisme" konon justru merayakan punahnya ilusi tentang kenyataan itu. Saya sendiri, dalam kebingungan, tetap cemas: "kebenaran" mungkin muskil, tapi kita tohtahu bila ada distorsi dan dusta yang didorongkan dengan kefasihan dan kekuasaan. Kita umumnya tak bisa diam di bawah pengeras suara. Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini