DI Indonesia sejarah kehidupan partai politik seperti pengertian
yang ada sekarang ini, belum 100 tahun. Tradisi partai dan
aturan permainannya juga belum mapan. Bahkan dalam sejarah
Republik ini eksistensi dan tindak-tanduk partai belum
dimengerti dengan tafsiran tunggal.
Dalam zaman Volksraad peranan partai yang mewakili rakyat
Indonesia, sedikit dalam jumlah. Namun dihormati kaum kolonial,
serta berakar ke bawah. Walau pada waktu itu belum ada
Undang-Undang Partai dan Permilu seperti pengertian sekarang.
Ketika UUD '45 diciptakan, ternyata posisi partai tidak begitu
jelas. Akan sebab-sebabnya, banyak variasi tafsiran dan alasan.
Namun situasi tanpa partai dirasakan kurang mantap, sampai
keluarnya Maklumat X, yang menganjurkan kehidupan partai
politik.
Zaman RIS dan UUDS sampai Pemilu 1955, kita mengenal kejayaan
banyak partai. Periode 1949 - 1959 sebelum Manipol, dianggap
masa pasang naik banyak partai, yang telah menimbulkan banyak
pergantian Kabinet. Masa ini sering ditafsir juga sebagai puncak
kegagalan partai di Indonesia.
Masa Demokrasi Terpimpin 1959 - 1965 ditafsir sebagai reaksi
akan kegagalan demokrasi dengan banyak partai. Namun terbukti
kemudian keadaan ini juga tidak langgeng, Orde Baru lahir 1966,
sebagai "koreksi atas dua periode ekstrim" sebelumnya. Ternyata
dalam aman Orde Baru kehidupan partai tetap diakui, tetapi
disesuaikan dengan tafsiran yang dianggap paling baik pada waktu
itu. Hal ini menandakan bahwa kehidupan partai tetap dianggap
perlu. Karena memanglah, sesuatu demokrasi apapun namanya, dalam
arti kata sebenarnya "Kekuasaan Rakyat" selalu memerlukan
partai. Hampir tidak mungkinlah menciptakan satu demokrasi tanpa
partai.
Mungkin these bahwa kesadaran akan kemerdekaan Indonesia sebelum
1945 telah ikut dikobarkan oleh gerakan-gerakan kemerdekaan yang
mengorganisasi diri dalam bentuk partai, dapat diterima.
Oposisi
Sesuatu hal yang agak unik dalam proses demokrasi Indonesia
ialah peranan oposisi. Kita menerirna partai yang jamak tetapi
kurang menerima peranan oposisi. Kecanggungan ini mungkin
bersumber dari salah tafsir akan arti dan peranan oposisi.
Biasanya oposisi dianggap pembuat gaduh, mau menang sendiri dan
selalu menolak usul yang datang dari pihak lain tanpa
mempertimbangkan isi usul tersebut. Namun bagaimana juga, selalu
diperlukan suasana diskusi luas di masyarakat. Itu merupakan
motor, penggerak serta tempat lahirnya ide-ide kreatif. Di
samping, selalu perlu adanya pengendali/pengawas serta pencipta
dan penyebar alternatif yang lebih baik.
Memang kebijaksanaan pemerintah yang baik, tajam, relevan, dan
tahan uji, hanya timbul apabila terdapat perimbangan yang wajar
di parlemen atau dalam masyarakat.
Demokrasi tidak dapat diukur dalam puluhan tahun saja.
Pembangunan yang berhasil mendadak sering telah membawa
kehancuran seperti pengalaman Jerman Raya, Jepang, Italia dan
negara-negara Kuno. Sementara itu demokrasi dengan kealotannya
telah terbuktl tahan lebih 200 tahun bagi AS, atau Inggeris
(sejak Magna Charta 1215), Swiss dan negara Skandinavia.
Adanya 2 partai dan satu golongan fungsionil di Indonesia
sekarang ini, boleh ditafsir sebagai suatu rahmat. Dengan
harapan fondasi ke arah perimbangan telah tercipta. Perlu juga
disadari bahwa pembinaan partai tetap perlu sesuai dengan
ketentuan hukum yang ada. Komunikasi pembangunan dan hati nurani
rakyat pasti lebih berhasil dan tertampung apabila ditampung
dalam beberapa saluran dan pihak. Seperti dalam dunia
perdagangan, monopoli tidak pernah membawa kemajuan dan
pembaharuan. Adanya sistim persaingan yang sehat dan aturan
permainan menurut hukum perlu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini