PERTOLONGAN PERTAMA
oleh dr. Karkono Mohamad
Penerbit: P. T. Gramedia, Jakarta 1975, 160 halaman.
***
SEORANG penjala ikan di Aceh Selatan diberitakan keselak
tenggorokannya. Rupanya sudah menjadi kebiasaan di sana penduduk
menyimpan ikan tangkapannya dengan menggigit bagian kepalanya,
sementara ia membenahi ikan-ikan lainnya yang masih menyangkut
di jala. Tapi sial bagi sang nelayan itu, ikan yang digigit
melejit dan nyangkut di rongga pernapasannya. Keruan saja ia
sukar bernafas. Dan bila ia terlambat ditolong seorang dokter di
sebuah Puskesmas, maut pun telah siap merenggut nyawanya.
Kecelakaan serupa itu tak jarang terjadi dalam kehidupan kita
sehari-hari. Di restoran atau di rumah tangga misalnya.
Orang-orang yang sedang berpesta pora mendadak dikejutkan oleh
seorang tamu yang keselak sepotong bistik. Si Buyung yang
tadinya masih kelihatan asyik bermain-main dengan mobil-mobilan,
tiba-tiba saja "kemasukan" benda asing di tenggorokannya.
Peristiwa itu semua mengingatkan kita pada Pertolongan Pertama,
karya dokter Kartono Mohamad yang baru beredar.
Dalam buku itu Kartono menampilkan tak kurang dari 140 macam
pertolongan pertama dari pelbagai kecelakaan atau keadaan yang
bisa mengancam keselamatan. Dari kecelakaan ringan seperti
tersayat pisau sampai pada yang parah seperti terselak benda
asing di tenggorokan, ia mencamkan kita akan resep yang paling
"sederhana". Baik untuk sang korban, tapi terutama untuk sang
penolong: jangan panik, meski tidak berarti boleh lamban. Pada
kecelakaan lalu lintas di jalan raya misalnya seorang pengendara
sepeda motor yang terhampar pingsan karena benturan pada bagian
kepalanya, pada umumnya akan terlihat "tenang" atau
paling-paling menunjukkan gejala kejang. Yang panik justru
mereka yang berbaik hati mau menolong sang korban. Dalam
peristiwa "gegar otak" semacam itu, tindakan pertolongan pertama
(yang berlatar atau yang salah) bisa memutuskan nasib penderita
selanjutnya.
Oleh karena itu dalam Pertolongan Pertama Kartono -- seperti
pula New Essential First Ai (Pan Books, 1972) karangan Gardner
dan Roylance yang oleh The British Medical Journal dinilai
sebagai buku yang terbaik dalam hal pertolongan pertama --
didahului dengan pedoman pokok dalam menghadapi kecelakaan.
Tidak panik, mengenal kecelakaan sang korban, perhatikan
pernafasan, hentikan perdarahan, amati kalau terjadi shock dan
jangan memindahkan korban terburu-buru. Sistimatis itu penting.
Karena "pertolongan pertama ditujukan untuk menyelamatkan jiwa
korban, meringankan penderitaan mereka serta mempertahankan daya
tahan korban sampai pertolongan yang lebih mantap oleh dokter
dapat diberikan".
Dengan bahasa yang jernih dan mudah dimengerti Kartono tak lupa
mengembalikan peroalan pada safety is a common sense --
keselamatan tergantung pada akal sehat. Sehingga seorang awam
pun yang menderlta kecelakaan (yang masih segar ingatannya)
dirangsang untuk melakukan tindakan pertama menolong diri
sendiri (self-help). Tak kurang pula disugukkan : cara
pertolongan yang mutakhir. Misalnya dalam menghadapi kecelakaan
di darat dan di laut, bagaimana seorang penyelamat melakukan
pernafasan buatan untuk menyambung nafas yang mogok. Di lapangan
olah raga kecelakaan terkilir pada sendi misalnya, diperkenalkan
cara yang agak baru. Yaitu merendam bagian yang menderita di air
dingin (es) pada permulaan 24 jam pertama. Tapi bukan seperti
kebiasaan kita: memijit dan mengurut atau mengkompresnya dengan
air panas.
Teknik pertolongan seperti membalut, membuat torniket
(menyimpul) sampai memapah dan mengusung korban, diterangkan
dengan bantuan ilustrasi gambar. Meski akan terasa lebih menarik
jika ilustrasi tersebut dibikin agak humoristis. Sebagai dokter
Angkatan Laut yang kini giat menulis di Femina dan memimpin
redaksi Medika -- di samping membuka praktek umum -- Kartono
dengan Pertolongan Pertama-nya berusaha membagi ilmunya kepada
awam. Terhadap segala malapetaka yang selalu mengintai kita
sehari-hari, ia memberi juga petunjuk yang paling penting:
pengamanan dan pencegahan, meski kita tidak perlu dibuatnya
untuk selalu waswas.
Pertolongan pertama ditimba dari pengalaman. Dan pengalaman itu
Lak akan habis. Alangkah baiknya jika dalam penerbitan berikut,
diperkaya pula dengan cara-cara pertolongan pertama yang baru.
Sehingga ia benar-benar bisa mengikuti perkembangan -- lebih
praktis, lebih kena dan lebih lengkap. Misalnya "muntah darah"
(halaman 25) boleh ditambah dengan "muntah berak" yang belum
disinggung. Dalam indeks "W" yang masih absen misalnya, dalam
penerbitan berikutnya boleh juga ditambah dengan "wabah", yang
penjalarannya sangat tergantung pada pencegahan dan pengamanan
pertama. Akan lebih baik pula jika dalam keadaan darurat,
pertolongan pertama dengan "cara kampung" atau "tradisionil"
bisa diperkenalkan. Misalnya dalam kecelakaan digigit kelabang
(halaman 40) atau disengat kalajengking (halaman 104). Konon
orang kampung menggunakan "ludah ayam" sebagai penawar racun.
Itulah sebabnya Pertolongan Pertama harus dinamis. Dan itu semua
tergantung pada kesediaan awam pula untuk meneruskan hal-hal
yang baru kepada lembaga yang masih harus didirikan. Pertolongan
Perfama ini, membuat kita merasa plong.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini