Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

Pertamina: Antara Hukum Dan Hutang

Pertamina sering melanggar aturan, tapi terus berkembang. komisi IV yang dibentuk untuk mengusut masalah korupsi & salah urus tak menemukan korupsi. Tapi Ibnu Sutowo dicopot dari jabatannya. (hk)

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APAKAH kita meginginkan pembaguan, atau hanya menurutkan Undang-undang yang sudah ketinggalan amal?" kata Ibnu Sutowo, waktu itu Direktur Utama PN Pertamina seperti dikuti Bartlett et.al. dalam Pertamina. Indonesian National Oil (1972). Pertanyaan retorik itu tak lain merupakan tangkisan. Habis, ada yang bilang, sebagai perusahaan negara yang tunduk pada Undang-Undang tentang PN tahun 1960 (UUPN), Permina tidak dibenarkan mendirikan anak perusahaan. Ibnu waktu itu akan mendirikan Far East Oil Tradig Co. Perusahaan kongsi antara Pertamina dan Jepang itu jadi juga terwujud berkat persetujuan Presiden (waktu itu) Sukarno. Kejadian-kejadian semacam ini telah lama diketahui. Perusahaan negara ini, karena dinamisnya, tak begitu memperdulikan apakah ia melanggar aturan atau tidak. Membandingkan dengan Pertamina, Bartlett mengutip ucapan seorang tokoh minyak Indonesia: Pertamina ibarat seorang anak baik. Dia membayarkan uang tepat pada waktunya. Tapi dia dalam sekarat, bukan saja karena kurang produksi tapi juga karena kurang imajinasi. Permina sebaliknya. Dia mengerjakan apa saja, yang kadang-kadang bertentangan dengan hukum. tapi Pertamina berkembang. Resep Komisi Adanya anak-anak perusahaan di bawah Permina terus berlanjut ketika saatnya Menteri Pertambangan Sumantri Brodjonegoro menggagaskan penggabungan antara Permina dan Pertamina tahun 1968. Sampai sini perusahaan baru yang bernama PN Pertamina itu singkatan (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional) masih tetap menjadi subjek dari UJPN, yang dikatakan "kolot" itu. Sementara itu perkembangan Pertamina terus meningkat. Sampai ke setiap pelosok orang tahu Pertamina. Bersamaan dengan pembangunan proyek di pelbagai bidang oleh Pertamina, orang mulai mempergunjingkan adanya korupsi dan salah urus besar-besaran di perusahaan itu. Mahasiswa menuding, juga harian Indonesia Raya almarhum. Komisi IV segera dibentuk untuk mengusut masalah ini. Pendapat Komisi yang diketuai Wilopo tersebut tidak mendapatkan ada "korupsi" di sifu. Yang ada beberapa kekacauan antaranya disebabkan tidak dipenuhinya ketentuan undang-undang yang mengatur PN-PN tadi. Yang beken adalah bertambahnya anak-anak perusahaan yang bergerak di sektor bukan minyak. Pada lain segi tampak adanya kontradiksi. Di satu fihak, Pertamina, si anak nakal yang suka melangar aturan. Di lain fihak Pertamina berdalih, bahwa aturan itu (dibuat di zaman Soekarno) terlambat untuk dapat mengimbangi kemajuan Pertamina. Beberapa pokok pernyataan Komisi IV sebagai berikut: Bahwa Pertamina haruslah direorganisir oleh sebuah undang-undang, karena perkembangan yang pesat dari bisnis minyak. Sementara itu bentuk perusahaan negara sebagaimana diatur oleh peraturan yang ada -- tidak dapat menampung laju perkembangan itu. Pernyataan ini jelas merupakan pengakuan Komisi akan tidak cocoknya undang-undang yang dikritik Ibnu Sutowo itu dengan kenyataan perkembangan perusahaan. Tanpa PN Bagaimana bentuk baru yang cocok untuk Pertamina? Menurut Komisi: bentuk yang sejalan dengan fungsinya. Dalam hal yang berkaitan dengan kebijaksanaan ekonomi keuangan Pertamina haruslah disupervisi Departemen Keuangan. Dari sudut teknis pertambangan harus diawasi oleh Departemen Pertamhangan. Kemudian diusulkan adanya dewan komisaris, yang bertugas mengawasi pekerjaan dewan direksi serta operasi perusahaan. Komisi juga tidak merasa puas, karena Pertamina belum membayar penuh pajak ataupun kontribusinya untuk dana pembangunan. Kemudian dikatakan bahwa anggaran keuangan perusahaan tidak dipersiapkan secara sempurna. Pertamina pun telah pandai-pandai mencari pinjaman modal jangka panjang, sehingga berkompetisi dengan pemerintah yang juga cari pinjaman. Lebih parah lagi karena perusahaan itu menyimpan alat liquid (liquid assets)nya di bank yang lain dari bank yang sudah ditetapkan pemerintah, seperti yang berlaku juga untuk PN-PN lain. Kritik dan resep Komisi kemudian tertuang dalam undang-undang, yang khusus dibuat untuk Pertamina. Hebat juga Pertamina, sebuah PN sama pangkatnya dengan bank sentral. Disebut dalam pasal I UU Pertamina tahun 1971 itu, bahwa tanpa mengurangi wewenang departemen-departemen dalam bidangnya, Departemen Pertambangan mengawasi pengelolaan penambangan minyak dan gas bumi. Beda sedikit dengan bentuk lama (PN Pertamina), badan hukum milik RI ini bernama Pertamina tanpa PN. Nama itu merupakan singkatan Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (jadi bukan "Nasional" seperti pada yang lama). Ketentuan pasal 2 itu diikuti oleh pasal berikutnya yang menegaskan berlakunya hukum Indonesia terhadap perusahaan tersebut. Bidang pengusahaan minyak dan gas bumi, yang jadi monopoli perusahaan itu meliputi urusan eksplorasi, eksploitasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan serta penjualan. Begitu ketentuan pasal 6, yang kemudian mengingatkan bahwa perluasan usaha boleh saja dilakukan. Dengan catatan: asal sepanjang yang masih ada hubungannya dengan pengusahaan minyak dan gas bumi, dan harus dengan persetujuan Presiden. Jadi kalau hingga sekarang ini ada anak-anak perusahaan Pertamina yang sering dianggap tak ada kena mengenanya dengan masalah minyak, (misalnya: Elnusa di bidang elektronika) bolehlah orang mengingat-ingat aturan permainan yang tertulis jelas ini. Perkara setoran ke Kas Negara, ada diatur oleh pasal 14. Pertamina harus menyetorkan ke kas Negara, pertama 60 dari penerimaan bersih hasil operasi perusahaan sendiri. Kedua 60% dari penerimaan bersih hasil kontrak bagi hasil (production sharing), sebelum dibagi antara perusahaan dan kontraktor. Ketiga, seluruh hasil yang dipeloleh dari perjanjian karya. Dan terakhir, 60% dari penerimaan bonus perusahaan yang diterima dari kontrak bagi hasil. Adapun pasal-pasal 16 hingga 18 berbicara tentang pengelolaan perusahaan. Dikenal Dewan Komisaris Pemerintah yang bertanggung- jawab kepada Presiden, di samping adanya Direksi seperti biasa. Sejalan dengan usul Komisi Direksi -- yang bertanggungjawab kepada Dewan Komisaris Pemerintah, dan dari segi pengusahaan kepada Menteri Pertambangan -- memegang tanggungjawab kolektif. Ibnu Suowo, selaku Direktur Utama Pertamina telah diberhentikan dengan hormat oleh Presiden RI. Tidak disebutkan atas alasan apa. Menurut pasal 21 ayat 3 ada lima hal yang menyebabkan Presiden dapat bertindak demikian sekalipun masa jabatan Anggota Direksi tersebut belum habis. Diantaranya:  atas permintaan sendiri,  karena melakukan tindakan atau menunjukkan sikap yang merugikan perusahaan, akan bertentangan dengan kepentingan negara, karena menjadi anggota organisasi terlarang,  karena tak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Ada tambahan penting. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum pidana -- begitu sebut ayat 7 dari pasal yang sama -- maka pemberhentian tersebut merupakan tidak dengan hormat. Soal pidana tentulah wewenang pengadilan. Sesal Kemudian Keharusan adanya anggaran perusahaan yang bersifat baku terlihat pada pasal-pasal 26 dan 29. Direksi juga tak boleh sembarangan bertindak ke luar. Dari empat hal yang harus mendapat izin dari Dewan Komisaris Pemerintah adalah: tindakan-tindakan yang mengikat kekayaan perusahaan, melakukan pinjaman yang melebihi sesuatu jumlah, dan mendirikan anak-anak perusahaan. Lalu pasal 28 mengingatkan lagi supaya semua alat liquid pada dasarnya harus disimpan dalam bank milik negara. Tapi boleh menyimpang, asalkan mendapat persetujuan Dewan Komisaris yang diketuai Menteri Pertambangan tersebut. Dengan begitu, UU baru bagi Pertamina sudah dijahitkan. Tapi undang-undang saja rupanya tidak jadi jaminan bahwa perbaikan akan tercapai. Pada akhirnya tentu pelaksanaan UU itu sendiri -- dan kemauan untuk memberikan sanksi bila dilanggar. Lagipula, ini bisa dibilang hanya sekedar baju hangat buat bentuk tubuh yang sudah ada sekedar orang tidak rewel lagi bahwa Pertamina anak nakal tanpa aturan. Dan repotnya UU baru itu lebih lembek. beberapa prinsip dalam UU itu masih ditambahi dengan "kekecualian". Jadi bisa luwes, tapi bisa juga lepas. Ternyata kini kok besar betul akibat lepasnya Pertamina dari prinsip itu. Yah, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian pengeluaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus