APAKAH kita meginginkan pembaguan, atau hanya menurutkan
Undang-undang yang sudah ketinggalan amal?" kata Ibnu
Sutowo, waktu itu Direktur Utama PN Pertamina seperti dikuti
Bartlett et.al. dalam Pertamina. Indonesian National Oil (1972).
Pertanyaan retorik itu tak lain merupakan tangkisan. Habis, ada
yang bilang, sebagai perusahaan negara yang tunduk pada
Undang-Undang tentang PN tahun 1960 (UUPN), Permina tidak
dibenarkan mendirikan anak perusahaan. Ibnu waktu itu akan
mendirikan Far East Oil Tradig Co. Perusahaan kongsi antara
Pertamina dan Jepang itu jadi juga terwujud berkat persetujuan
Presiden (waktu itu) Sukarno.
Kejadian-kejadian semacam ini telah lama diketahui. Perusahaan
negara ini, karena dinamisnya, tak begitu memperdulikan apakah
ia melanggar aturan atau tidak. Membandingkan dengan Pertamina,
Bartlett mengutip ucapan seorang tokoh minyak Indonesia:
Pertamina ibarat seorang anak baik. Dia membayarkan uang tepat
pada waktunya. Tapi dia dalam sekarat, bukan saja karena kurang
produksi tapi juga karena kurang imajinasi. Permina sebaliknya.
Dia mengerjakan apa saja, yang kadang-kadang bertentangan dengan
hukum. tapi Pertamina berkembang.
Resep Komisi
Adanya anak-anak perusahaan di bawah Permina terus berlanjut
ketika saatnya Menteri Pertambangan Sumantri Brodjonegoro
menggagaskan penggabungan antara Permina dan Pertamina tahun
1968. Sampai sini perusahaan baru yang bernama PN Pertamina itu
singkatan (Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional) masih
tetap menjadi subjek dari UJPN, yang dikatakan "kolot" itu.
Sementara itu perkembangan Pertamina terus meningkat. Sampai ke
setiap pelosok orang tahu Pertamina. Bersamaan dengan
pembangunan proyek di pelbagai bidang oleh Pertamina, orang
mulai mempergunjingkan adanya korupsi dan salah urus
besar-besaran di perusahaan itu. Mahasiswa menuding, juga harian
Indonesia Raya almarhum. Komisi IV segera dibentuk untuk
mengusut masalah ini. Pendapat Komisi yang diketuai Wilopo
tersebut tidak mendapatkan ada "korupsi" di sifu. Yang ada
beberapa kekacauan antaranya disebabkan tidak dipenuhinya
ketentuan undang-undang yang mengatur PN-PN tadi. Yang beken
adalah bertambahnya anak-anak perusahaan yang bergerak di sektor
bukan minyak. Pada lain segi tampak adanya kontradiksi. Di satu
fihak, Pertamina, si anak nakal yang suka melangar aturan. Di
lain fihak Pertamina berdalih, bahwa aturan itu (dibuat di zaman
Soekarno) terlambat untuk dapat mengimbangi kemajuan Pertamina.
Beberapa pokok pernyataan Komisi IV sebagai berikut: Bahwa
Pertamina haruslah direorganisir oleh sebuah undang-undang,
karena perkembangan yang pesat dari bisnis minyak. Sementara
itu bentuk perusahaan negara sebagaimana diatur oleh peraturan
yang ada -- tidak dapat menampung laju perkembangan itu.
Pernyataan ini jelas merupakan pengakuan Komisi akan tidak
cocoknya undang-undang yang dikritik Ibnu Sutowo itu dengan
kenyataan perkembangan perusahaan.
Tanpa PN
Bagaimana bentuk baru yang cocok untuk Pertamina? Menurut
Komisi: bentuk yang sejalan dengan fungsinya. Dalam hal yang
berkaitan dengan kebijaksanaan ekonomi keuangan Pertamina
haruslah disupervisi Departemen Keuangan. Dari sudut teknis
pertambangan harus diawasi oleh Departemen Pertamhangan.
Kemudian diusulkan adanya dewan komisaris, yang bertugas
mengawasi pekerjaan dewan direksi serta operasi perusahaan.
Komisi juga tidak merasa puas, karena Pertamina belum membayar
penuh pajak ataupun kontribusinya untuk dana pembangunan.
Kemudian dikatakan bahwa anggaran keuangan perusahaan tidak
dipersiapkan secara sempurna. Pertamina pun telah pandai-pandai
mencari pinjaman modal jangka panjang, sehingga berkompetisi
dengan pemerintah yang juga cari pinjaman. Lebih parah lagi
karena perusahaan itu menyimpan alat liquid (liquid assets)nya
di bank yang lain dari bank yang sudah ditetapkan pemerintah,
seperti yang berlaku juga untuk PN-PN lain.
Kritik dan resep Komisi kemudian tertuang dalam undang-undang,
yang khusus dibuat untuk Pertamina. Hebat juga Pertamina, sebuah
PN sama pangkatnya dengan bank sentral. Disebut dalam pasal I UU
Pertamina tahun 1971 itu, bahwa tanpa mengurangi wewenang
departemen-departemen dalam bidangnya, Departemen Pertambangan
mengawasi pengelolaan penambangan minyak dan gas bumi. Beda
sedikit dengan bentuk lama (PN Pertamina), badan hukum milik RI
ini bernama Pertamina tanpa PN. Nama itu merupakan singkatan
Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Negara (jadi bukan
"Nasional" seperti pada yang lama). Ketentuan pasal 2 itu
diikuti oleh pasal berikutnya yang menegaskan berlakunya hukum
Indonesia terhadap perusahaan tersebut.
Bidang pengusahaan minyak dan gas bumi, yang jadi monopoli
perusahaan itu meliputi urusan eksplorasi, eksploitasi,
pemurnian dan pengolahan, pengangkutan serta penjualan. Begitu
ketentuan pasal 6, yang kemudian mengingatkan bahwa perluasan
usaha boleh saja dilakukan. Dengan catatan: asal sepanjang yang
masih ada hubungannya dengan pengusahaan minyak dan gas bumi,
dan harus dengan persetujuan Presiden. Jadi kalau hingga
sekarang ini ada anak-anak perusahaan Pertamina yang sering
dianggap tak ada kena mengenanya dengan masalah minyak,
(misalnya: Elnusa di bidang elektronika) bolehlah orang
mengingat-ingat aturan permainan yang tertulis jelas ini.
Perkara setoran ke Kas Negara, ada diatur oleh pasal 14.
Pertamina harus menyetorkan ke kas Negara, pertama 60 dari
penerimaan bersih hasil operasi perusahaan sendiri. Kedua 60%
dari penerimaan bersih hasil kontrak bagi hasil (production
sharing), sebelum dibagi antara perusahaan dan kontraktor.
Ketiga, seluruh hasil yang dipeloleh dari perjanjian karya. Dan
terakhir, 60% dari penerimaan bonus perusahaan yang diterima
dari kontrak bagi hasil.
Adapun pasal-pasal 16 hingga 18 berbicara tentang pengelolaan
perusahaan. Dikenal Dewan Komisaris Pemerintah yang bertanggung-
jawab kepada Presiden, di samping adanya Direksi seperti biasa.
Sejalan dengan usul Komisi Direksi -- yang bertanggungjawab
kepada Dewan Komisaris Pemerintah, dan dari segi pengusahaan
kepada Menteri Pertambangan -- memegang tanggungjawab
kolektif.
Ibnu Suowo, selaku Direktur Utama Pertamina telah diberhentikan
dengan hormat oleh Presiden RI. Tidak disebutkan atas alasan
apa. Menurut pasal 21 ayat 3 ada lima hal yang menyebabkan
Presiden dapat bertindak demikian sekalipun masa jabatan Anggota
Direksi tersebut belum habis. Diantaranya:
atas permintaan sendiri, karena melakukan tindakan atau
menunjukkan sikap yang merugikan perusahaan, akan bertentangan
dengan kepentingan negara, karena menjadi anggota organisasi
terlarang, karena tak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik.
Ada tambahan penting. Apabila terjadi suatu pelanggaran hukum
pidana -- begitu sebut ayat 7 dari pasal yang sama -- maka
pemberhentian tersebut merupakan tidak dengan hormat. Soal
pidana tentulah wewenang pengadilan.
Sesal Kemudian
Keharusan adanya anggaran perusahaan yang bersifat baku
terlihat pada pasal-pasal 26 dan 29. Direksi juga tak boleh
sembarangan bertindak ke luar. Dari empat hal yang harus
mendapat izin dari Dewan Komisaris Pemerintah adalah:
tindakan-tindakan yang mengikat kekayaan perusahaan, melakukan
pinjaman yang melebihi sesuatu jumlah, dan mendirikan anak-anak
perusahaan. Lalu pasal 28 mengingatkan lagi supaya semua alat
liquid pada dasarnya harus disimpan dalam bank milik negara.
Tapi boleh menyimpang, asalkan mendapat persetujuan Dewan
Komisaris yang diketuai Menteri Pertambangan tersebut.
Dengan begitu, UU baru bagi Pertamina sudah dijahitkan. Tapi
undang-undang saja rupanya tidak jadi jaminan bahwa perbaikan
akan tercapai. Pada akhirnya tentu pelaksanaan UU itu sendiri --
dan kemauan untuk memberikan sanksi bila dilanggar. Lagipula,
ini bisa dibilang hanya sekedar baju hangat buat bentuk tubuh
yang sudah ada sekedar orang tidak rewel lagi bahwa Pertamina
anak nakal tanpa aturan. Dan repotnya UU baru itu lebih lembek.
beberapa prinsip dalam UU itu masih ditambahi dengan
"kekecualian". Jadi bisa luwes, tapi bisa juga lepas.
Ternyata kini kok besar betul akibat lepasnya Pertamina dari
prinsip itu. Yah, sesal dahulu pendapatan, sesal kemudian
pengeluaran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini