Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Intelektuil indonesia per definisi

Intelektual adalah hakhluk yang marginal. hidupnya di tandai posisi sosial yang mengambil tempat justru pada batas-batas seperti halnya politisi dan teknokrat intelektual cepat atau lambat, diterima/ditolak.

10 April 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DEFINISI intelektuil menurut P.A. Baran telah laku keras dalam perbincangan mengenai intelektuil Indonesia. Di tahun 1966 Prof. Widjojo menterjemahkannya untuk "Seminar Ekonomi KAMI" yang diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Sembilan tahun kemudian Goenawan Mohamad memerlukan mengutipnya untuk sebuah esei memperingati 25 tahun Universitas Indonesia. Dan setahun sesudahnya, ketika Dr. Emil Salim dikukuhkan sebagai Guru Besar UI -- 14 Pebruari 1976 seorang ekonom seperti Soeharsono Sagir masih mengulang mengutipnya untuk memberi komentar pidato sang Guru Besar. Nampaknya definisi P.A. Baran betul mendapat pasaran dan hal itu seolah ditunjang oleh sebuah iklan besar bernama Universitas Indonesia. Bagi kita yang tidak terlibat langsung dalam kesempatan-kesempatan tersebut, apakah hikmahnya semua itu? Seperti burung di udara, sebuah kesan aneh selintas meluncur dalam asosiasi. Seakan P.A. Baran telah memadai benar kebutuhan kita akan konsepsi intelektuil dan peranannya. Seakan IJ adalah kesempatan tunggal dengan cukup 'excellence', di mana intelektuil Indonesia boleh diperbincangkan dengn rasa patut. Hal pertama sepertinya belum mau diperdebathan, sementara hal kedua seakan telah dinafikan secara terbuka. Intelektuil, dalam penghayatan saya kurang-lebih, adalah mahluk yang marginal. Hidupnya ditandai oleh posisi sosial yang mengambil tempat justru pada batas-batas. Antara hormat dan rasa-segan kepada buah fikiran serta wawasan-wawasannya yang menembus dan ketiadaan status yang mendukungnya. Antara sikap merdeka dan keberanian, dengan berbagai pesona ilham dan ketakacuhan untuk bersetia kepada tuntutan praktis sebuah birokrasi atau organisasi. Antara sikap moral yang menjulang dan tiadanya kekuatan nyata yang bisa mendesakkan pelaksanaannya. Maka intelektuil tidak saja akan menimbulkan keresahan bagi golongan tertentu karena khasiat daya-kritiknya, tetapi konon dia sendiri adalah keresahan. Perbatasan, bukankah itu daerah yang selalu menimbulkan rusuh? Politisi, Teknokrat Bagaimana pun intelektuil tentulah bukan penganggur. Dia akan tampil dengan peranannya, cepat atau lambat, diterima atau ditarnpik, seperti juga politisi, seperti juga kaum teknokrat. Perbedaan antara ketiganya tidak sekedar perbedaan nama. Ada perbedaan cara, walaupun ada persamaan tujuan. Adalah tidak klise mengulang kembali bahwa tujuan politik pada dasarnya kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum, supaya menjadi konkrit, harus mempunyai suatu persyaratan dasar sebagai substratnya, suatu yang dimungkinkan oleh efisiensi teknologis, dan diciptakan oleh para teknokrat. Hanya kalau politik memakai kekuasaan sebagai alatnya, maka seorang teknokrat akan memakai keahlian dan disiplin hak sebagai aparat. Persoalan sering timbul lantaran distorsi. Ketika kekuasaan menjadi tujuan, ketika ilmu dan keunggulan prestasinya terlanjur didewakan, maka keadaan menjadi tidak berimbang. Bagaimana pun seorang yang sibuk mengelola kekuasaan atau sibuk mengelola kemampuan ilmiah sering terserap obsesi mengenai "know how" Maka pada saat yang sudah payai, orang tak harus menjadi ahli untuk mengemukakan sebuah pernyataan lain. Bahwa keahlian yang sudah pelik-rumit tidak akan menjawab seluruh kebutuhan. Bahwa kesederhanaan hati-nurani sebaiknya jangan dibekukan, malah jangan dibakukan oleh suatu standardisasi luar. Karena hanya dari sana juga akan lahir pertimbangan yang sederhana. Semacam keinginan untuk menangkap kepentingan sebenarnya: ada yang nampak karena penting dan apa yang penting karena tampak. Entah ada pemutarbalikan, ketika sesuatu menjadi penting hanya karena tak terelakkan, dan bukan sesuatu menjadi tak terelakkan karena sungguh-sungguh penting. Ringkasnya, suatu sentilan tentang makila semua itu, pertanyaan lain tentang "know why", ketika beban-beban teknis tersingkir sementara waktu, dan diri yang etis menampakkan wajahnya kembali. Saya rasa tidak berlebihan bahwa pertanyaan itu seringkali diajukan lebih dahulu tidak kurang oleh seorang intelektuil. Bukan karena dia mempunyai kodrat yang lebih moralis. Tetapi kecenderungan dia menyebabkannya tidak mau terlalu berurusan dengan hal-hal yang terlalu teknis. Karena itu juga dalam peranannya, sang intelektuil bisa ketiban dilemma. Ketika dia mengajukan kritik tentang suatu penyelewengan dari tujuan, tentang tindakan yang menyangkal makna, dari dia akan dituntut tawaran-ganti. Sedangkan suatu tawaran-ganti tak boleh tidak berurusan dengan pilihan-pilihan teknis, terhadap apa dia tak banyak menaruh minat, tentang apa dia tak banyak tahu-menahu dan dari mana dia juga tidak banyak bernafsu memperebutkan akibat-akibat baiknya. Maka seringkali dia akan terdesak lagi ke batas. Karena peralatannya terlalu sederhana untuk cukup meyakinkan: akal sehat biasa, harta semua kaum jelata. Karena bagi dia, jalan ke hati nurani bisa lempang dan tidak usah melewati kelok-kelok seribu sofistikasi. Maka adalah nasibnya juga: ketika seorang intelektuil meminjam kekuasaan dia serentak kehilangan 'kekuasaan'nya . Tak berarti bagi dia dibenarkan sikap tak acuh macam mana pun. Tetapi daripadanya dituntut lebih banyak kesabaran. Ibarat seorang ibu yang dengan lemah-lembut menguasai arus yang tak terbendung: rutine rumah-tangga dan waktu yang menjemukan. Seorang intelektuil mungkin sekali tidak terlatih dalam tertib penelitian sosial atau yang lain. Tetapi ini akan mengucapkan sesuatu seadanya. Mungkin anpa keahlian, tanpa kerumitan, tanpa perhitungan kekuasaan, dan tanpa dusta. Pada ketika itu, 'dia harus kembali menegaskan dirinyau sebagai penduduk-perbatasan, mahluk marginal: antara kebajikan yang mesti diucapkan walaupun kedengaran konyol, dan kenyataan yang terpaksa dibiarkan terus secara kurang terhormat. Pada saat itu, menurut atau tidak menurut pengertian P.A Baran, dia adalah intelektuil per definisi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus