DEFINISI intelektuil menurut P.A. Baran telah laku keras dalam
perbincangan mengenai intelektuil Indonesia. Di tahun 1966 Prof.
Widjojo menterjemahkannya untuk "Seminar Ekonomi KAMI" yang
diselenggarakan oleh Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Sembilan tahun kemudian Goenawan Mohamad memerlukan mengutipnya
untuk sebuah esei memperingati 25 tahun Universitas Indonesia.
Dan setahun sesudahnya, ketika Dr. Emil Salim dikukuhkan sebagai
Guru Besar UI -- 14 Pebruari 1976 seorang ekonom seperti
Soeharsono Sagir masih mengulang mengutipnya untuk memberi
komentar pidato sang Guru Besar. Nampaknya definisi P.A. Baran
betul mendapat pasaran dan hal itu seolah ditunjang oleh sebuah
iklan besar bernama Universitas Indonesia.
Bagi kita yang tidak terlibat langsung dalam
kesempatan-kesempatan tersebut, apakah hikmahnya semua itu?
Seperti burung di udara, sebuah kesan aneh selintas meluncur
dalam asosiasi. Seakan P.A. Baran telah memadai benar kebutuhan
kita akan konsepsi intelektuil dan peranannya. Seakan IJ adalah
kesempatan tunggal dengan cukup 'excellence', di mana
intelektuil Indonesia boleh diperbincangkan dengn rasa patut.
Hal pertama sepertinya belum mau diperdebathan, sementara hal
kedua seakan telah dinafikan secara terbuka.
Intelektuil, dalam penghayatan saya kurang-lebih, adalah mahluk
yang marginal. Hidupnya ditandai oleh posisi sosial yang
mengambil tempat justru pada batas-batas. Antara hormat dan
rasa-segan kepada buah fikiran serta wawasan-wawasannya yang
menembus dan ketiadaan status yang mendukungnya. Antara sikap
merdeka dan keberanian, dengan berbagai pesona ilham dan
ketakacuhan untuk bersetia kepada tuntutan praktis sebuah
birokrasi atau organisasi. Antara sikap moral yang menjulang dan
tiadanya kekuatan nyata yang bisa mendesakkan pelaksanaannya.
Maka intelektuil tidak saja akan menimbulkan keresahan bagi
golongan tertentu karena khasiat daya-kritiknya, tetapi konon
dia sendiri adalah keresahan. Perbatasan, bukankah itu daerah
yang selalu menimbulkan rusuh?
Politisi, Teknokrat
Bagaimana pun intelektuil tentulah bukan penganggur. Dia akan
tampil dengan peranannya, cepat atau lambat, diterima atau
ditarnpik, seperti juga politisi, seperti juga kaum teknokrat.
Perbedaan antara ketiganya tidak sekedar perbedaan nama. Ada
perbedaan cara, walaupun ada persamaan tujuan. Adalah tidak
klise mengulang kembali bahwa tujuan politik pada dasarnya
kesejahteraan umum. Kesejahteraan umum, supaya menjadi konkrit,
harus mempunyai suatu persyaratan dasar sebagai substratnya,
suatu yang dimungkinkan oleh efisiensi teknologis, dan
diciptakan oleh para teknokrat. Hanya kalau politik memakai
kekuasaan sebagai alatnya, maka seorang teknokrat akan memakai
keahlian dan disiplin hak sebagai aparat.
Persoalan sering timbul lantaran distorsi. Ketika kekuasaan
menjadi tujuan, ketika ilmu dan keunggulan prestasinya terlanjur
didewakan, maka keadaan menjadi tidak berimbang. Bagaimana pun
seorang yang sibuk mengelola kekuasaan atau sibuk mengelola
kemampuan ilmiah sering terserap obsesi mengenai "know how"
Maka pada saat yang sudah payai, orang tak harus menjadi ahli
untuk mengemukakan sebuah pernyataan lain. Bahwa keahlian yang
sudah pelik-rumit tidak akan menjawab seluruh kebutuhan. Bahwa
kesederhanaan hati-nurani sebaiknya jangan dibekukan, malah
jangan dibakukan oleh suatu standardisasi luar. Karena hanya
dari sana juga akan lahir pertimbangan yang sederhana. Semacam
keinginan untuk menangkap kepentingan sebenarnya: ada yang
nampak karena penting dan apa yang penting karena tampak. Entah
ada pemutarbalikan, ketika sesuatu menjadi penting hanya karena
tak terelakkan, dan bukan sesuatu menjadi tak terelakkan karena
sungguh-sungguh penting. Ringkasnya, suatu sentilan tentang
makila semua itu, pertanyaan lain tentang "know why", ketika
beban-beban teknis tersingkir sementara waktu, dan diri yang
etis menampakkan wajahnya kembali.
Saya rasa tidak berlebihan bahwa pertanyaan itu seringkali
diajukan lebih dahulu tidak kurang oleh seorang intelektuil.
Bukan karena dia mempunyai kodrat yang lebih moralis. Tetapi
kecenderungan dia menyebabkannya tidak mau terlalu berurusan
dengan hal-hal yang terlalu teknis. Karena itu juga dalam
peranannya, sang intelektuil bisa ketiban dilemma. Ketika dia
mengajukan kritik tentang suatu penyelewengan dari tujuan,
tentang tindakan yang menyangkal makna, dari dia akan dituntut
tawaran-ganti. Sedangkan suatu tawaran-ganti tak boleh tidak
berurusan dengan pilihan-pilihan teknis, terhadap apa dia tak
banyak menaruh minat, tentang apa dia tak banyak tahu-menahu dan
dari mana dia juga tidak banyak bernafsu memperebutkan
akibat-akibat baiknya. Maka seringkali dia akan terdesak lagi ke
batas. Karena peralatannya terlalu sederhana untuk cukup
meyakinkan: akal sehat biasa, harta semua kaum jelata. Karena
bagi dia, jalan ke hati nurani bisa lempang dan tidak usah
melewati kelok-kelok seribu sofistikasi. Maka adalah nasibnya
juga: ketika seorang intelektuil meminjam kekuasaan dia serentak
kehilangan 'kekuasaan'nya .
Tak berarti bagi dia dibenarkan sikap tak acuh macam mana pun.
Tetapi daripadanya dituntut lebih banyak kesabaran. Ibarat
seorang ibu yang dengan lemah-lembut menguasai arus yang tak
terbendung: rutine rumah-tangga dan waktu yang menjemukan.
Seorang intelektuil mungkin sekali tidak terlatih dalam tertib
penelitian sosial atau yang lain. Tetapi ini akan mengucapkan
sesuatu seadanya. Mungkin anpa keahlian, tanpa kerumitan, tanpa
perhitungan kekuasaan, dan tanpa dusta. Pada ketika itu, 'dia
harus kembali menegaskan dirinyau sebagai penduduk-perbatasan,
mahluk marginal: antara kebajikan yang mesti diucapkan walaupun
kedengaran konyol, dan kenyataan yang terpaksa dibiarkan terus
secara kurang terhormat. Pada saat itu, menurut atau tidak
menurut pengertian P.A Baran, dia adalah intelektuil per
definisi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini